Saturday, 30 October 2010

Kisah Mahakappina Thera (Dhammapada 6 : 79)

VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(79) Ia yang mengenal Dhamma
akan hidup berbahagia dengan pikiran yang tenang.
Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mahakappina adalah raja dari Kukkutavati. Ia mempunyai seorang permaisuri bernama Anoja. Ia juga memiliki seribu orang menteri yang membantu kelangsungan pemerintahan.

Suatu hari, Raja bersama seribu menterinya pergi ke taman. Di sana mereka bertemu dengan beberapa pedagang dari Savatthi. Mendengar tentang Buddha, Dhamma, dan Sangha dari para pedagang, Raja dan menteri-menterinya segera pergi ke Savatthi.

Pada hari itu, ketika Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Beliau melihat bahwa Mahakappina dan para menterinya sedang dalam perjalanan menuju Savatthi. Beliau juga mengetahui bahwa mereka dapat mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha pergi ke suatu tempat yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi intuk menemui mereka. Di sana, di bawah pohon banyan di tepi sungai Candabhaga, Sang Buddha menunggu mereka.

Raja Mahakappina dan para menterinya sampai di tempat dimana Sang Buddha menunggu. Ketika mereka melihat Sang Buddha dengan enam warna terpancar dari tubuhnya, mereka mendekati Sang Buddha dan menghormat kepada beliau. Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah mendengarkan khotbah itu, raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Sang Buddha melihat masa lalu (kehidupan lalu) mereka, dan mengetahui bahwa mereka sudah pernah mempersembahkan jubah kuning pada kehidupan lampau. Beliau lalu berkata kepada mereka, "Ehi bhikkhu", dan mereka semua menjadi bhikkhu.

Sementara itu, Permaisuri Anoja, mendengar tentang kepergian raja ke Savatthi, memanggil istri dari seribu orang menterinya dan bersama-sama mereka mengikuti jalan yang dilalui raja. Mereka juga sampai ke tempat dimana Sang Buddha sebelumnya menemui raja Kukkutavati. Mereka menemui Sang Buddha yang memancarkan enam warna dan kemudian menghormat Beliau. Pada saat itu Sang Buddha dengan kemampuan batin-Nya, membuat raja dan para menterinya tidak dapat dilihat, sehingga istri-istri mereka tidak dapat melihat mereka. Oleh karena itu, ratu bertanya dimana raja dan para menterinya berada. Sang Buddha berkata kepada ratu dan rombongannya untuk menunggu beberapa saat dan menyatakan tak lama lagi raja akan datang bersama para menterinya. Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah lain kepada mereka. Pada saat khotbah berakhir, raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian arahat. Ratu dan para istri menteri mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah itu ratu dan rombongannya melihat bhikkhu yang baru saja ditahbiskan dan mengenali mereka bahwa mereka sebelumnya adalah suaminya.

Wanita-wanita itu kemudian memohon izin kepada sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhuni; mereka langsung pergi ke Savatthi. Di sana mereka diterima menjadi bhikkhuni, dan tak lama kemudian mereka juga mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana bersama seribu bhikkhu.

Di Vihara Jetavana, Mahakappina ketika beristirahat sepanjang malam atau pada siang hari sering berkata, "Oh, bahagia!" (Aho Sukham). Para bhikkhu yang mendengarkan beliau mengucapkan kata-kata itu beberapa kali dalam sehari, melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha. Kepada mereka sang Buddha menjawab "Anakku Kappina telah merasakan bahagianya kehidupan dalam Dhamma dengan pikiran yang tenang, ia mengucapkan kata-kata itu sebagai ungkapan kegembiraan yang meluap-luap berkenaan dengan nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Dhammapīti sukhaṃ seti vippasannena cetasā
ariyappavedite dhamme sadā ramati paṇḍdito."

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia
dengan pikiran yang tenang.
Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran
yang dibabarkan oleh para Ariya.
------------

Notes :
Dari beberapa sumber lain, disebutkan bahwa Maha Kappina berasal dari daerah utara, Kukkutavati diperkirakan adalah daerah sekitar Kabul, atau Kamboja. Ia juga disebutkan memiliki kulit yang pucat, lebih putih dari orang India kebanyakan.

Dari tempat asalnya menuju Savatthi adalah perjalanan yang sangat jauh, dan harus menyeberangi 3 sungai besar. Karena itulah Sang Buddha menunggu mereka 120 yojana dari Savatthi di tepi sungai yang terakhir.
Satu yojana kira-kira berkisar antara 6-15 km, jadi 120 yojana kira-kira 720 - 1800 km. Kira kira seperti jarak Jakarta – Surabaya 781 km, tetapi kalau dilihat di peta, kira-kira jarak dari daerah sekitar New Delhi-sungai Gangga ke daerah dekat Lahore, yaitu sekitar 500-600 km. Sangat jauh... tapi tentu saja ini hal yang mudah untuk Sang Buddha ;)

Friday, 29 October 2010

Kisah Samanera Pandita (Dhammapada 6 : 80)

VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(80) Pembuat saluran air mengalirkan air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu melengkungkan kayu,
orang bijaksana mengendalikan dirinya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Pandita adalah seorang putra orang kaya di Savatthi. Ia menjadi seorang samanera pada saat berusia tujuh tahun. Pada hari ke delapan setelah menjadi samanera, ia pergi mengikuti Sariputta Thera berpindapatta, ia melihat beberapa petani mengairi ladangnya dan bertanya kepada Y.A. Sariputta thera "Dapatkah air yang tanpa kesadaran dibimbing ke tempat yang seseorang kehendaki?" Sang Thera menjawab, "Ya, air dapat dibimbing kemanapun yang dikehendaki seseorang."

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan, samanera melihat beberapa pembuat anak panah memanasi panah mereka dengan api dan meluruskannya. Selanjutnya ia melewati beberapa tukang kayu sedang memotong, menggergaji, dan menghaluskan kayu untuk dibuat roda kereta.

Kemudian ia merenung "Jika air yang tidak memiliki kesadaran dapat diarahkan kemanapun yang seseorang inginkan, jika bambu bengkok yang tanpa kesadaran dapat diluruskan, dan jika kayu yang tanpa kesadaran dapat dibuat sesuatu yang berguna, mengapa saya, yang punya kesadaran, tidak dapat menjinakkan pikiranku dan melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang?"

Saat itu juga ia memohon izin kepada Y.A. Sariputta untuk kembali ke kamarnya di vihara. Di sana ia bersemangat dan rajin bermeditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai objek perenungan. Sakka dan para dewa membantu pelaksanaan meditasinya dengan cara menjaga kesunyian suasana vihara dan sekitarnya. Sebelum waktu makan tiba, samanera Pandita mencapai tingkat kesucian anagami.

Waktu itu, Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk samanera. Sang Buddha melihat dengan kemampuan batin luar biasa-Nya bahwa Samanera Pandita telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan jika ia meneruskan melaksanakan meditasi, maka tidak lama lagi mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha memutuskan untuk mencegah Sariputta memasuki kamar samanera. Sang Buddha berdiri di muka pintu kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sariputta Thera. Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, samanera mencapai tingkat kesucian arahat. Jadi, samanera mencapai tingkat kesucian arahat pada hari ke delapan setelah ia menjadi samanera.

Berkenaan dengan hal itu, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu di vihara, "Ketika seseorang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Dhamma, Sakka dan para dewa akan melindunginya dan menjadi pelindung. Saya sendiri mencegah Sariputta masuk di muka pintu kamar, sehingga samanera Pandita tidak terganggu. Samanera setelah melihat petani mengairi ladangnya, pembuat anak panah meluruskan panah-panah mereka, dan tukang kayu membuat roda kereta, menjinakkan pikirannya dan melaksanakan Dhamma, ia sekarang telah menjadi seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Udakaṃ hi nayanti nettikā
usukārā namayanti tejanaṃ
dāruṃ namayanti tacchakā
attānaṃ damayanti paṇḍitā."

Pembuat saluran air mengalirkan air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu melengkungkan kayu,
orang bijaksana mengendalikan dirinya.

Thursday, 28 October 2010

Kisah Lakundaka Bhaddiya Thera (Dhammapada 6 : 81)

 VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(81) Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai,
demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.
------------------------------------------------------------------------------------------------

Bhaddiya adalah salah satu bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana. Karena tubuhnya pendek maka ia dikenal dengan sebutan Lakundaka (pendek) oleh para bhikkhu lainnya. Lakundaka Bhaddiya mempunyai sifat yang sangat baik, meskipun bhikkhu-bhikkhu muda sering menggodanya dengan menarik hidungnya atau telinganya atau menepuk kepalanya. Sangat sering mereka bercanda dan berkata "Paman, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu berbahagia, atau, apakah kamu bosan dengan kehidupan sebagai seorang bhikkhu di sini?" dan lain sebagainya. Lakundaka Bhaddiya tidak pernah membalas dengan kemarahan atau mencaci maki mereka, bahkan dalam hati kecilnya pun ia tidak marah terhadap mereka.

Ketika diceritakan tentang kesabaran Lakundaka Bhaddiya, Sang Buddha bersabda, "Seorang arahat tidak pernah marah maupun kehilangan kesabaran, ia tidak punya keinginan untuk berkata kasar atau berpikir menyakiti orang lain. Ia laksana batu karang yang tak tergoyahkan, seorang arahat tidak tergoyahkan karena celaan ataupun pujian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

“Selo yathā ekaghano vātena na samīrati
evaṃ nindāpasaṃsāsu na samiñjanti paṇḍitā”

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai,
demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.

Wednesday, 27 October 2010

Kisah Kanamata (Dhammapada 6 : 82)

VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(82) Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang.
Demikian pula batin para orang bijaksana, menjadi tentram
karena mendengarkan Dhamma.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kanamata (bhs Pali; mata = ibu, Kanamata = ibunya Kana) adalah umat awam berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan seorang pemuda dari desa lain. Suatu ketika Kana menjenguk ibunya untuk beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang ke rumah. Ibunya berkata kepadanya untuk menunggu beberapa hari sebab ia ingin membuatkan daging manis (dendeng) untuk suami Kana. Esoknya Kanamata membuat sejumlah dendeng, tetapi ketika empat bhikkhu berpindapatta di rumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Empat bhikkhu tersebut berkata kepada bhikkhu lainnya tentang persembahan dana makanan dari rumah Kanamata, mereka juga melakukan pindapatta di rumah Kanamata. Kanamata sebagai pengikut dan murid Sang Buddha mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu yang datang satu persatu. Pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk Kana dan ia tidak dapat pulang ke rumahnya pada hari itu.

Hal yang sama terjadi pada dua hari berikutnya, ibunya membuat sejumlah dendeng, para bhikkhu datang berpindapatta di rumahnya, ia mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu, sehingga tidak ada tersisa untuk dibawa pulang anaknya, dan anaknya tidak dapat pulang ke rumahnya.

Pada hari ketiga, suaminya mengirimkan pesan untuknya. Pesan yang merupakan suatu peringatan keras, jika ia tidak pulang ke rumah esok hari, maka suaminya akan menikah dengan wanita lain.

Tetapi pada esok harinya, Kana tetap tidak dapat pulang ke rumahnya, sebab ibunya mempersembahkan semua dendengnya untuk para bhikkhu. Peringatan keras tadi menjadi kenyataan, suami Kana menikah dengan wanita lain.

Kana menjadi tidak senang terhadap para bhikkhu. Ia beranggapan bahwa mereka yang menjadi gara-gara suaminya menikah lagi. Seringkali ia mencaci maki para bhikkhu, sehingga para bhikkhu akhirnya menjauh dari rumah Kanamata.

Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi ke rumah Kanamata. Di sana Kanamata mempersembahkan sejumlah bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha menemui Kana dan bertanya kepadanya, "Apakah para bhikkhu menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka?" Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang diberikan kepada mereka, dan menambahkan bahwa "Mereka tidak bersalah, saya yang salah." Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi hormat kepada Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. setelah mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Pada perjalanan pulang ke vihara, Sang Buddha bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala. Beliau mengatakan perihal Kana dan sikapnya yang tidak baik terhadap para bhikkhu. Raja Pasenadi bertanya apakah Sang Buddha telah dapat mengajarkan kebenaran (Dhamma) kepadanya dan membuatnya melihat Dhamma? Sang Buddha menjawab "Ya, Tathagata telah mengajarkan Dhamma kepadanya, dan Tathagatha juga telah membuatnya menjadi kaya dalam kehidupan mendatang." Kemudian Raja Pasenadi berjanji kepada Sang Buddha untuk membuatnya kaya dalam kehidupan sekarang.

Raja mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput Kana dengan tandu. Ketika Kana tiba di istana, raja mengumumkan kepada para menterinya “Siapa yang dapat memberi kenyamanan hidup kepada anakku Kana, silahkan merawatnya." Salah seorang menteri dengan sukarela mengadopsi Kana sebagai anaknya, memberinya kekayaan dan berkata kepadanya, "Kamu boleh memberikan dana sebanyak yang kamu suka." Setiap hari Kana memberikan persembahan dana kepada para bhikkhu di empat gerbang kota.

Ketika diberitahukan tentang Kana dan kemurahan hatinya dalam memberikan dana, Sang Buddha bersabda, "Para bhikkhu pikiran Kana sebelumnya diselimuti kabut dan lumpur, sekarang telah menjadi jernih dan tenang oleh kata-kata-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Yathāpi rahado gambhīro vippasanno anāvilo
evaṃ dhammāni sutvāna vippasīdanti paṇḍitā."

Bagaikan danau yang dalam,
airnya jernih dan tenang.
Demikian pula batin para orang bijaksana,
menjadi tentram karena mendengarkan Dhamma.

Tuesday, 26 October 2010

Kisah Lima Ratus Bhikkhu (Dhammapada 6 : 83)

 VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(83) Orang bajik membuang kemelekatan terhadap sesuatu,
orang suci tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nafsu keinginan.
Dalam menghadapi kebahagiaan atau kemalangan,
orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Atas permintaan seorang brahmana dari Veranja, Sang Buddha pada suatu saat tinggal di Veranja bersama lima ratus orang bhikkhu. Ketika berada di Veranja sang brahmana lalai untuk memperhatikan kebutuhan hidup mereka. Penduduk Veranja yang kemudian menghadapi kelaparan, hanya dapat mempersembahkan sangat sedikit dana pada saat bhikkhu berpindapatta. Kendatipun mengalami penderitaan para bhikkhu tidak berputus asa. Mereka hanya cukup mendapatkan makanan berupa padi-padian yang dipersembahkan para penjual kuda setiap hari. Saat akhir masa vassa tiba, setelah memberitahu sang brahmana, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana beserta lima ratus bhikkhu. Masyarakat Savatthi menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam pilihan makanan.

Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu, memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu. Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun tidur, mereka berteriak, bernyanyi dan menari, mereka membuat suatu keributan.

Ketika Sang Buddha datang sore hari di tengah-tengah para bhikkhu, para bhikkhu melaporkan hal itu kepada beliau, perilaku orang-orang yang tidak dapat dikendalikan, dan berkata "Orang-orang ini hidup dari sisa makanan, mereka bersikap layak dan berperilaku baik ketika kita semua menghadapi penderitaan dan kelaparan di Veranja. Sekarang mereka cukup mendapat makanan yang baik, mereka berteriak, menyanyi, dan menari, serta membuat keributan di antara mereka sendiri. Berbeda dengan para bhikkhu. Para bhikkhu bagaimanapun keadaannya memiliki perilaku yang sama, baik di sini maupun di Veranja."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab "Itu merupakan sifat alamiah dari orang bodoh, penuh dengan duka cita dan merasa tertekan ketika mereka dalam kesulitan, tetapi penuh dengan suka cita dan merasa gembira ketika sesuatu berjalan lancar. Orang bijaksana bagaimanapun keadaannya dapat bertahan dalam gelombang kehidupan baik naik maupun turun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Sabbattha ve sappurisā vajanti,
na kāmakāmā lapayanti santo,
sukhena phuṭṭhā athavā dukhena
na uccāvacaṃ paṇḍitā dassayanti."

Orang bajik membuang kemelekatan terhadap sesuatu,
orang suci tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nafsu keinginan.
Dalam menghadapi kebahagiaan atau kemalangan,
orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa.

Monday, 25 October 2010

Kisah Bhikkhu Dhammika (Dhammapada 6 : 84)

VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(84) Seseorang yang arif tidak berbuat jahat
demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain,
demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat
atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar.
Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dhammika tinggal di Savatthi bersama istrinya. Suatu hari, ia berkata kepada istrinya yang sedang hamil bahwa ia berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai kelahiran anak mereka. Ketika anak tersebut lahir, ia kembali meminta kepada istrinya untuk memperbolehkannya pergi. Sekali lagi istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai anak tersebut dapat berjalan.

Kemudian Dhammika berkata kepada dirinya sendiri, "Tidak ada gunanya bagiku meminta persetujuan dari istriku untuk menjadi bhikkhu, saya harus berjuang untuk kebebasanku sendiri!" Setelah membuat keputusan teguh, ia meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha memberikan objek meditasi kepadanya, dan ia mempraktekkan meditasi dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang arahat.

Beberapa tahun setelah itu, beliau menengok rumahnya dengan maksud untuk mengajarkan Dhamma kepada istri dan anaknya. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian mencapai tingkat kesucian arahat. Sang istri kemudian berkata, "Sekarang suami dan anakku telah meninggalkan rumah, saya lebih baik pergi juga." Dengan pikiran ini, ia juga meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni, dan akhirnya ia juga mencapai tingkat kesucian arahat.

Dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha diberitahukan bagaimana Dhammika menjadi seorang bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat, dan karena melalui Dhammika, anak dan istrinya juga menjadi arahat.
Kepada mereka Sang Buddha bersabda, "Para bhikkhu, orang bijaksana tidak menginginkan kekayaan dan kemakmuran yang diperoleh dengan cara tidak benar. Apakah hal itu dilakukan demi dirinya sendiri atau demi orang lain. Ia berjuang hanya untuk pembebasan dirinya dari roda tumimbal lahir (samsara) dengan cara memahami Dhamma dan hidup sesuai dengan Dhamma."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Na attahetu na parassa hetu
na puttam icche na dhanaṃ na raṭṭhaṃ
na iccheyya adhammena samiddhim attano
sa sīlavā paññavā dhammiko siyā."

Seseorang yang arif tidak berbuat jahat
demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain,
demikian pula ia tidak menginginkan anak, atau kekayaan, atau kerajaan
dengan berbuat jahat maupun kesuksesan dengan cara yang tidak benar.
Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.

Sunday, 24 October 2010

Kisah Pendengar-pendengar Dhamma (Dhammapada 6 : 85-86)

VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(85) Di antara umat manusia
hanya sedikit yang dapat mencapai pantai seberang,
sebagian besar hanya berjalan hilir mudik di tepi sebelah sini.

(86) Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma
yang telah diterangkan dengan baik,
akan mencapai Pantai Seberang,
menyeberangi alam kematian yang sangat sukar diseberangi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu kesempatan, sekumpulan orang dari Savatthi bersama-sama membuat persembahan khusus kepada para bhikkhu, dan mereka meminta para bhikkhu memberikan khotbah Dhamma sepanjang malam di tempat mereka. Pada saat itu, banyak di antara para pendengar tidak dapat duduk sepanjang malam dan pulang lebih cepat; beberapa orang duduk disana sepanjang malam, tetapi sebagian besar waktunya dihabiskan dengan mengantuk dan setengah tidur. Hanya sedikit orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah Dhamma itu.

Pagi hari para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha tentang apa yang terjadi pada malam hari sebelumnya, Beliau menjawab, "Kebanyakan orang terikat pada dunia ini, hanya sedikit orang yang dapat mencapai pantai seberang (nibbana)".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Appakā te manussesu ye janā pāragāmino
athāyaṃ itarā pajā tiram evānudhāvati

Ye ca kho sammadakkhāte
dhamme dhammānuvattino
te janā pāram essanti
maccudheyyaṃ suduttaraṃ."

Di antara umat manusia
hanya sedikit yang dapat mencapai pantai seberang,
sebagian besar hanya berjalan hilir mudik di tepi sebelah sini.

Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma
yang telah diterangkan dengan baik,
akan mencapai Pantai Seberang,
menyeberangi alam kematian yang sangat sukar diseberangi.

Saturday, 23 October 2010

Kisah Kunjungan Lima Ratus Bhikkhu (Dhammapada 6 : 87-89)

VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(87) Meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan tanpa rumah,
demikian hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap (kebodohan),
dan mengembangkan keadaan terang (kebijaksanaan).
Hendaknya ia mencari kebahagiaan pada ketidakmelekatan yang sulit didapat.

(88) Dengan meninggalkan semua kesenangan indria dan kemelekatan,
demikian hendaknya orang bijaksana membersihkan dirinya
dari noda-noda pikiran.

(89) Mereka yang telah menyempurnakan pikirannya
dalam Tujuh Faktor Penerangan,
yang tanpa ikatan, yang bergembira dengan batin yang bebas,
yang telah bebas dari kekotoran batin, yang bersinar,
maka sesungguhnya mereka telah mencapai Nibbana
dalam kehidupan sekarang ini juga.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lima ratus bhikkhu yang menjalani masa vassa di Kosala, datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana pada akhir masa vassa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini sesuai dengan berbagai perangai mereka:

"Kaṇhaṃ dhammaṃ vippahāya
sukkaṃ bhāvetha paṇḍito,
okā anokaṃ āgamma
viveke yattha dūramaṃ.

Tatrābhiratim iccheyya, hitvā kāme akiñcano
pariyodapeyya attānaṃ cittaklesehi paṇḍito.

Yesaṃ sambodhi-aṅgesu sammā cittaṃ subhāvitaṃ
ādānapaṭinissagge anupādāya ye ratā
khīṇāsavā jutīmanto te loke parinibbutā."

Meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan tanpa rumah,
demikian hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap (kebodohan),
dan mengembangkan keadaan terang (kebijaksanaan).
Hendaknya ia mencari kebahagiaan pada ketidakmelekatan yang sulit didapat.

Dengan meninggalkan semua kesenangan indria dan kemelekatan,
demikian hendaknya orang bijaksana membersihkan dirinya
dari noda-noda pikiran.

Mereka yang telah menyempurnakan pikirannya
dalam Tujuh Faktor Penerangan,
yang tanpa ikatan, yang bergembira dengan batin yang bebas,
yang telah bebas dari kekotoran batin, yang bersinar,
maka sesungguhnya mereka telah mencapai Nibbana
dalam kehidupan sekarang ini juga.

Friday, 22 October 2010

Kisah Pertanyaan Jivaka (Dhammapada 7 : 90)

VII. Arahanta Vagga - Arahat

(90) Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya
yang telah terbebas dari segala hal,
Yang telah menghancurkan semua ikatan,
maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Devadatta, pada suatu kesempatan, mencoba untuk membunuh Sang Buddha dengan mendorong batu besar dari puncak bukit Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar). Batu tersebut jatuh membentur sisi bukit dan sepotong serpihannya melukai ibu jari kaki Sang Buddha. Kemudian Beliau dibawa ke Vihara Hutan Mangga milik Jivaka. Di sana Jivaka yang dikenal sebagai seorang tabib, mengobati ibu jari kaki sang Buddha dan membalutnya. Jivaka kemudian pergi ke kota untuk mengobati pasien lainnya, tetapi berjanji untuk kembali dan membuka balutan tersebut pada malam harinya. Ketika Jivaka kembali malam hari, gerbang kota telah ditutup dan ia tidak dapat menemui Sang Buddha. Ia sangat bingung sebab apabila pembalut tidak dibuka pada waktunya, seluruh badan Sang Buddha akan demam dan Sang Buddha akan sangat menderita.

Pada saat yang sama, Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa Jivaka tidak dapat datang pada waktunya berkata kepada Ananda untuk membuka balutan dari ibu jarinya dan ternyata luka tersebut telah sembuh.

Jivaka datang pada fajar keesokkan harinya dan menanyakan kepada Sang Buddha apakah Beliau merasakan kesakitan pada malam sebelumnya. Sang Buddha menjawab, "Jivaka! Sejak Tathagatha mencapai Ke-Buddha-an, tidak terdapat kesakitan dan penderitaan lagi baginya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Gataddhino visokassa vippamuttassa sabbadhi
Sabbaganthappahīnassa pariḷāho na vijjati."

Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya
yang telah terbebas dari segala hal,
Yang telah menghancurkan semua ikatan,
maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.

Thursday, 21 October 2010

Kisah Mahakassapa Thera (Dhammapada 7 : 91)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(91) Orang yang telah telah sadar dan meninggalkan kehidupan rumah tangga,
tidak lagi terikat pada tempat kediaman.
Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam,
demikianlah mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu saat, Sang Buddha menjalani masa vassa di Rajagaha bersama sejumlah bhikkhu. Sekitar dua minggu sebelum akhir masa vassa, Sang Buddha memberitahu para bhikkhu bahwa tidak lama lagi ia akan meninggalkan Rajagaha dan mengatakan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk keberangkatan tersebut.

Sebagian bhikkhu menjahit dan mewarnai jubah baru mereka dan sebagian lagi mencuci jubah lama. Ketika beberapa bhikkhu melihat Mahakassapa mencuci jubahnya, mereka berpikir, "Terdapat banyak umat awam di dalam maupun di luar kota Rajagaha yang mencintai dan menghormati Mahakassapa Thera dan secara terus-menerus memenuhi semua kebutuhannya. Apakah mungkin Mahakassapa Thera meninggalkan umat awam di Rajagaha, dan mengikuti Sang Buddha pergi?"

Pada akhir hari kelima belas, pada malam sebelum keberangkatan, Sang Buddha mengatakan bahwa di sini akan banyak upacara seperti upacara persembahan dana makanan, pentahbisan samanera, pembakaran jenazah, dan lain sebagainya. Maka tidaklah tepat jika semua bhikkhu meninggalkan Rajagaha. Jadi Beliau memutuskan sejumlah bhikkhu tetap tinggal di Vihara Veluvana dan orang yang paling cocok adalah Mahakassapa Thera. Oleh karena itu, Mahakassapa Thera dan beberapa bhikkhu muda tetap tinggal di Rajagaha.

Kemudian beberapa bhikkhu lainnya berkata, "Mahakassapa tidak menyertai Sang Buddha, seperti yang kita perkirakan!"

Sang Buddha yang mendengar ucapan mereka, berkata: "Para bhikkhu! Apakah kamu bermaksud mengatakan bahwa Mahakassapa Thera melekat kepada murid umat awam di Rajagaha dan pada semua hal yang mereka persembahkan kepadanya? Kamu semua keliru. Anak-Ku Mahakassapa tinggal disini karena perintah-Ku, ia tidak terikat kepada segala hal yang ada disini."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Uyyuñjanti satīmanto na nikete ramanti te
haṃsā va pallalam hitvā okamokaṃ jahanti te."

Orang yang telah telah sadar dan meninggalkan kehidupan rumah tangga,
tidak lagi terikat pada tempat kediaman.
Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam,
demikianlah mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.

Wednesday, 20 October 2010

Kisah Belatthasisa Thera (Dhammapada 7 : 92)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(92) Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi,
yang sederhana dalam makanan, yang telah mencapai "Kebebasan Mutlak",
maka jejak mereka tidak dapat dilacak, bagaikan burung-burung di angkasa.
------------------------------------------------------------------------------------------------

Belatthasisa Thera, setelah pergi berpindapatta di suatu desa, berhenti di tepi jalan dan memakan makanannya. Setelah makan, ia meneruskan berpindapatta untuk memperoleh dana makanan lagi. Ketika telah merasa cukup, ia kembali ke vihara, mengeringkan nasi dan menyimpannya. Jadi ia tidak perlu berpindapatta setiap hari, sehingga ia dapat bermeditasi Jhana selama dua atau tiga hari. Begitu selesai meditasi, ia memakan nasi kering yang telah disimpannya, setelah merendamnya terlebih dahulu dalam air, Bhikkhu-bhikkhu lain berpikiran buruk terhadap kelakuan thera itu. Mereka melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha.

Sang Buddha berpikir, jika hal itu ditiru oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya, ada kemungkinan menjadi disalahgunakan. Oleh karena itu, Beliau melarang para bhikkhu untuk menyimpan makanan. Beliau juga menganjurkan para bhikkhu agar berusaha mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian hidupnya dengan tidak memiliki barang-barang selain keperluan bhikkhu.

Sedangkan untuk Belatthasisa, ia menyimpan nasi sebelum peraturan ditetapkan, lagi pula ia tidak serakah terhadap makanan, tetapi hanya menghemat waktu untuk keperluan bermeditasi. Sang Buddha menetapkan bahwa ia tidak bersalah dan tidak tercela.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Yesaṃ sannicayo n’atthi ye pariññatabhojanā
suññato animitto ca vimokho yesaṃ gocaro
ākase va sakuntānaṃ gati tesaṃ durannayā."

Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi,
yang sederhana dalam makanan, yang telah mencapai "Kebebasan Mutlak",
maka jejak mereka tidak dapat dilacak, bagaikan burung-burung di angkasa.

Tuesday, 19 October 2010

Kisah Anuruddha Thera (Dhammapada 7 : 93)

VII. Arahanta Vagga - Arahat

(93) Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin,
yang tidak lagi terikat pada makanan,
yang telah menyadari Kebebasan Mutlak,
maka jejaknya tidak dapat dilacak,
bagaikan burung-burung di angkasa.
------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu hari Anuruddha Thera mencari beberapa kain bekas di dalam timbunan sampah untuk dibuat jubah, sebab jubah lamanya telah kotor dan koyak. Jalini, istrinya pada kehidupan yang lampau dan sekarang berada di alam dewa, melihatnya. Mengetahui bahwa sang thera sedang mencari beberapa kain bekas, ia mengambil tiga lembar kain dari alam dewa dan menaruhnya ke dalam timbunan sampah, serta membuatnya terlihat. Anuruddha Thera menemukan kain tersebut dan membawanya ke vihara.

Ketika beliau sedang membuat jubah, Sang Buddha datang beserta murid-murid utama dan beberapa murid senior Beliau. Mereka menolong menjahit jubah.

Sementara itu, Jalini, dalam ujud gadis muda datang ke desa dan memperhatikan kedatangan Sang Buddha beserta murid Beliau dan juga bagaimana mereka menolong Anuruddha Thera. Ia menganjurkan penduduk desa untuk mengirimkan makanan yang lezat ke vihara dan sebagai akibatnya terjadi kelebihan makanan. Bhikkhu yang lain melihat terlalu banyak makanan tersisa, mencela Anuruddha Thera.

"Anuruddha Thera seharusnya berkata kepada keluarga dan murid-muridnya agar mengirim makanan secukupnya, mungkin ia ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak pengikut."

Kepada para bhikkhu itu, Sang Buddha berkata, "Bhikkhu, janganlah berpikir bahwa anakKu Anuruddha telah meminta keluarga dan murid-muridnya untuk mengirimkan bubur nasi dan makanan lainnya, anakKu tidak meminta apapun, seorang arahat tidak membicarakan perihal seperti makanan dan pakaian. Jumlah makanan berlebihan yang dikirimkan ke vihara pagi hari ini berasal dari dorongan makhluk alam lain dan bukan dari manusia."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Yassāsavā parikkhīṇā āhāre ca anissito
suññato animitto ca vimokho yassa gocaro
ākāse va sakuntānaṃ padaṃ tassa durannayaṃ."

Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin,
yang tidak lagi terikat pada makanan,
yang telah menyadari Kebebasan Mutlak,
maka jejaknya tidak dapat dilacak,
bagaikan burung-burung di angkasa.

Monday, 18 October 2010

Kisah Mahakaccayana Thera (Dhammapada 7 : 94)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(94) Ia yang telah menaklukkan dirinya,
bagaikan seorang kusir mengendalikan kudanya,
yang telah bebas dari kesombongan dan kekotoran batin,
maka para dewa pun akan mengasihi orang suci seperti ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada saat bulan purnama, yang juga merupakan akhir masa vassa, Sakka bersama sejumlah besar dewa datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, yang pada saat itu tinggal di Pubbarama, sebuah vihara yang dibangun oleh Visakha. Waktu itu Sang Buddha disertai oleh murid-murid utama dan semua bhikkhu senior.

Mahakaccayana Thera yang bervassa di Avanti, belum tiba dan tempat duduk untuk beliau masih kosong. Sakka memberi hormat kepada Sang Buddha dengan bunga, dupa, dan wangi-wangian. Pada saat Sakka melihat tempat duduk yang masih kosong, ia menyatakan bahwa ia berharap Mahakaccayana Thera segera datang agar ia dapat memberi hormat juga kepadanya. Seketika Mahakaccayana Thera datang, Sakka sangat senang dan dengan bersemangat mempersembahkan bunga, dupa, dan wangi-wangian.

Para bhikkhu terpesona oleh Sakka yang menunjukkan kesetiaannya kepada Mahakaccayana, tetapi beberapa bhikkhu berpikir bahwa Sakka hanya menyukai Mahakaccayana.

Kepada mereka sang Buddha berkata "Seseorang yang terkendali indrianya dicintai oleh para dewa dan manusia."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Yass’ indriyāni samathaṃ gatāni
assā yathā sārathinā sudantā
pahīnamānassa anāsavassa
devāpi tassa pihayanti tādino."

Ia yang telah menaklukkan dirinya,
bagaikan seorang kusir mengendalikan kudanya,
yang telah bebas dari kesombongan dan kekotoran batin,
maka para dewa pun akan mengasihi orang suci seperti ini.

Sunday, 17 October 2010

Kisah Sariputta Thera (Dhammapada 7 : 95)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(95) Bagaikan tanah, demikian pula orang suci.
Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila),
bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur.
Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu akhir masa vassa, Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan menfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya.

Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan: apakah hal itu benar?

Sariputta menjawab, "Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang teguh menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa meminta maaf setelah melakukan kesalahan terhadap sesama bhikkhu ? Saya seperti tanah yang tidak merasa suka ketika dijatuhi bunga dan tidak merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan yang tanduknya patah, saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu."

Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat sedih dan menangis tersedu-sedu. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu dan kepalanya bisa pecah. Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf. Sariputta thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah.

Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh, seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Paṭhavīsamo no virujjhati
indakhīlūpamo tādi subbato
rahado va apetakaddamo
saṃsārā na bhavanti tādino."

Bagaikan tanah, demikian pula orang suci.
Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila),
bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur.
Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi kelahiran kembali.

Saturday, 16 October 2010

Kisah Seorang Samanera dari Kosambi (Dhammapada 7 : 96)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(96) Orang suci yang memiliki pengetahuan sejati,
yang telah terbebas,
damai dan seimbang batinnya,
maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi samanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah objek meditasi. Ketika kepalanya sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada objek meditasi, dan ia mencapai tingkat kesucian arahat ketika mereka selesai mencukur rambut kepalanya.

Beberapa waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah vihara desa. Tissa thera tidur, tetapi samanera muda duduk sepanjang malam di samping kasur Tissa thera. Pada waktu fajar menyingsing, Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak.

Samanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksanakan tugasnya mempersiapkan air pencuci muka dan mulut Tissa Thera, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika samanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada Tissa Thera, Tissa Thera mencelanya dan berkata bahwa ia seharusnya mempersembahkan dengan dua tangan.

Waktu itulah Tissa Thera baru mengetahui bagaimana samanera itu rusak matanya. Seketika itu juga ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah, ia memohon maaf kepada samanera.

Tetapi samanera berkata bahwa itu bukan kesalahan Tissa Thera, juga bukan kesalahannya sendiri, tapi merupakan buah/akibat perbuatan (karma) lampau, dan Tissa Thera tidak usah merasa terlalu sedih mengenai hal tersebut. Tetapi Tissa Thera tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalahan yang tak dikehendakinya.

Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Savatthi dan sampai di Vihara Jetavana dimana Sang Buddha menetap. Tissa Thera berkata kepada Sang Buddha bahwa samanera muda yang datang bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.

Sang Buddha lalu menjawab: "Anakku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun. ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Santaṃ tassa manaṃ hoti santā vācā ca kamma ca
sammadaññāvimuttassa upasantassa tādino."

Orang suci yang memiliki pengetahuan sejati,
yang telah terbebas,
damai dan seimbang batinnya,
maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang

Friday, 15 October 2010

Kisah Sariputta Thera (Dhammapada 7 : 97)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(97) Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan
tak tercipta(nibbana), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir)
yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan
semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhu-bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhu-bhikkhu itu, Beliau bertanya, "Anakku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima fakta bahwa dengan bermeditasi berobyek indera, seseorang dapat merealisasi nibbana?"

Sariputta menjawab, "Bhante, berkaitan dengan perealisasian nibbana dengan meditasi berobyek indera, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya kepada-Mu; hanya mereka yang belum merealisasikan nibbana secara pribadi, yang menerima fakta dari orang lain."

Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat oleh para bhikkhu. Mereka berpikir: "Sariputta belum melenyapkan pandangan salah, bahkan sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha."

Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka makna sebenarnya dari jawaban Sariputta.

"Para bhikkhu, jawaban Sariputa dapat disederhanakan menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai dengan meditasi, tetapi ia menerima hal itu berdasarkan hasil pengalamannya sendiri, dan bukan karena saya telah mengatakan hal itu atau orang lain mengatakan hal itu. Sariputta mempunyai keyakinan kepada Tathagatha. Ia juga yakin terhadap akibat-akibat dari perbuatan baik dan jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Assaddho akataññū ca sandhicchedo ca yo naro
hatāvakāso vantāso sa ve uttamaporiso."

Orang yang telah bebas dari ketahyulan,
yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana),
yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir)
yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat),
yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.

Thursday, 14 October 2010

Kisah Samanera Revata (Dhammapada 7 : 98)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(98) Di desa atau di hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit,
di mana pun para arahat menetap, tempat itu sungguh menyenangkan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Revata adalah saudara laki-laki termuda dari murid utama Sariputta. Ia satu-satunya saudara Sariputta yang tidak meninggalkan rumah untuk menjadi bhikkhu. Ayahnya sangat menginginkan agar ia menikah. Revata baru berumur tujuh tahun ketika ayahnya mempersiapkan sebuah pernikahan baginya dengan seorang gadis kecil.

Pada jamuan pernikahan, ia bertemu dengan wanita tua yang berumur 120 tahun. Melihat wanita tua itu, Revata kecil merenung. Ia menyadari bahwa segala sesuatu merupakan subjek dari ketuaan dan kelapukan, sehingga ia berlari meninggalkan rumah dan pergi ke vihara. Di sana terdapat tiga puluh bhikkhu. Sebelumnya, bhikkhu-bhikkhu itu telah diminta oleh Sariputta Thera agar menjadikan adiknya seorang samanera, jika adiknya datang kepada mereka.
Kemudian Revata menjadi seorang samanera dan Sariputta Thera diberitahu hal itu oleh para bhikkhu.

Samanera Revata menerima sebuah objek meditasi dari para bhikkhu dan pergi ke hutan akasia, tiga puluh yojana jauhnya dari vihara. Pada akhir masa vassa ia mencapai tingkat kesucian arahat.

Suatu ketika, Sariputta Thera memohon izin kepada Sang Buddha untuk mengunjungi saudaranya, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa Beliau sendiri juga akan pergi ke sana.Jadi, Sang Buddha disertai Sariputta Thera, Sivali Thera, dan lima ratus bhikkhu pergi mengunjungi Samanera Revata.

Perjalanan itu sangat jauh, jalannya buruk dan daerah tersebut tidak ditinggali manusia, tetapi para dewa memenuhi setiap kebutuhan Sang Buddha dan para bhikkhu selama di perjalanan. Setiap satu yojana, sebuah vihara dan makanan disediakan, dan perjalanan mereka rata-rata satu yojana per hari.

Revata, mengetahui perihal kunjungan Sang Buddha, membuat persiapan untuk menyambutNya. Dengan kekuatan batin luar biasanya ia menciptakan vihara khusus untuk Sang Buddha dan lima ratus vihara untuk bhikkhu lainnya, dan membuat mereka merasa nyaman ketika mereka tinggal disana.

Pada perjalanan pulang, mereka berjalan dengan waktu yang sama seperti sebelumnya, dan sampai di Vihara Pubbarama di sebelah timur kota Savatthi pada akhir bulan. Dari sana mereka pergi ke rumah Visakha, yang mempersembahkan makanan kepada mereka. Setelah makan, Visakha bertanya kepada Sang Buddha: apakah tempat Revata di hutan Akasia menyenangkan?

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Gāme vā yadi vāraññe
ninne vā yadi vā thale
yatth’ arahanto viharanti
taṃ bhūmiṃ rāmaṇeyyakaṃ."

Di desa atau di hutan,
di tempat yang rendah atau di atas bukit,
di mana pun para arahat menetap,
tempat itu sungguh menyenangkan.

Wednesday, 13 October 2010

Kisah Seorang Wanita (Dhammapada 7 : 99)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(99) Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi,
namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu bergembira,
karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Seorang bhikkhu setelah menerima sebuah objek meditasi dari Sang Buddha, mempraktekkan meditasi di sebuah taman tua. Seorang wanita yang tidak dikenal datang ke taman dan melihat bhikkhu itu. Ia mencoba untuk menarik perhatiannya dan merayunya. Sang bhikkhu menjadi terkejut; pada saat yang sama, seluruh tubuhnya diliputi semacam perasaan kepuasan yang menyenangkan.

Sang Buddha melihatnya dari vihara Beliau, dan dengan kemampuan batin luar biasa, Beliau mengirim seberkas sinar kepadanya dan bhikkhu tersebut menerima pesan yang berbunyi: "Anak-Ku, tempat dimana orang mencari kesenangan duniawi adalah bukan tempat untuk seorang bhikkhu. Para bhikkhu seharusnya senang tinggal di hutan dimana orang-orang duniawi tidak menemukan kesenangan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

“Ramaṇīyāni araññāni, yattha na ramatī jano
vītarāgā ramissanti na te kāmagavesino.”

Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi,
namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu bergembira,
karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.

Tuesday, 12 October 2010

Kisah Tambadathika (Dhammapada 8 : 100)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(100) Daripada seribu kata yang tak berarti,
adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh lima tahun, dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelah mempersiapkan bubur nasi di rumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai.

Pada waktu Tambadathika mengambil bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhana Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat melihat Sariputta Thera, Tambadathika berpikir, "Selama hidupku, saya telah menghukum mati para pencuri, sekarang saya seharusnya mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu." Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan nasi tersebut.

Setelah bersantap, Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tapi Tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelisah mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal. Ketika Sariputta Thera mengetahui hal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri atas kehendaknya atau diperintahkan untuk melakukan hal itu. Tambadathika menjawab bahwa ia diperintah raja untuk membunuh mereka dan ia tidak berniat untuk membunuh. Kemudian Sariputta Thera bertanya, "Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak?" Tambadathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah.

Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia mencapai anulomaññana. Setelah khotbah Dhamma berakhir, Tambadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya.

Pada perjalanan pulang, seekor sapi (sebenarnya yakkhini yang menyamar sebagai seekor sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia.

Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikkhu memberitahu beliau perihal kematian Tambadathika. Ketika ditanyakan di mana Tambadathika dilahirkan kembali, Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun Tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarnya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita.

Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin seseorang yang melakukan perbuatan jahat seperti itu dapat memperoleh pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Sahassam api ce vācā anatthapadasaṃhitā
ekaṃ atthapadaṃ seyyo yaṃ sutvā upasammati."

Daripada seribu kata yang tak berarti,
adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Monday, 11 October 2010

Kisah Bahiyadaruciriya (Dhammapada 8 : 101)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(101) Daripada seribu bait syair yang tak berguna,
adalah lebih baik sebait syair yang berguna,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekumpulan pedagang pergi melaut dengan sebuah kapal. Badai mengganas dan kapal mereka hancur di tengah laut. Dari semua penumpang hanya satu orang yang hidup. Orang yang selamat dengan memeluk sebuah potongan kayu itu terdampar di pelabuhan Supparaka.

Karena pakaian hilang, ia mengikat sepotang kulit kayu di tubuhnya. Dengan memegang sebuah mangkok, ia duduk di tempat dimana orang-orang dapat melihatnya.

Orang-orang yang lewat memberinya nasi dan bubur; beberapa orang menganggapnya seorang arahat dan memujanya. Beberapa orang lain membawakannya pakaian tetapi ia menolaknya, ia kuatir kalau-kalau dengan memakai pakaian akan menyebabkan orang-orang hanya memberi sedikit. Selain itu, karena beberapa orang telah mengatakan bahwa ia seorang arahat, akhirnya ia secara keliru berpikir bahwa ia adalah arahat sungguhan.

Oleh karena ia adalah seorang yang berpandangan keliru dan menggunakan sepotang kulit kayu sebagai pakaiannya, maka ia dikenal dengan nama Bahiyadaruciriya.

Suatu ketika, Mahabrahma yang pernah menjadi temannya dalam kehidupan lampau, melihat bahwa ia telah melakukan kekeliruan. Ia berpikir bahwa menjadi tugasnya untuk mengembalikan Bahiya ke jalan yang benar.

Mahabrahma datang kepadanya pada malam hari. Ia berkata kepadanya: "Bahiya, kamu bukan arahat, dan lebih dari itu kamu belum memiliki kualitas yang dimiliki seorang arahat."

Bahiya memandang Mahabrahma dengan terkejut. Kemudian ia berkata: "Ya, saya mengakui bahwa saya bukan seorang arahat, seperti yang telah kamu katakan. Sekarang saya menyadari bahwa saya telah melakukan kesalahan besar. Tetapi adakah di dalam kehidupan sekarang ini seorang arahat?"

Mahabrahma kemudian berkata bahwa sekarang ini di Savatthi ada seorang arahat. Buddha Gotama, yang telah mencapai Penerangan Sempurna dengan kemampuan-Nya sendiri.

Bahiya menyadari demikian besar kesalahannya. Ia merasa sangat menderita, dan berlari di sepanjang jalan menuju ke Savatthi. Mahabrahma menolong Bahiya dengan kekuatan batinnya, sehingga jarak sepanjang 120 yojana dapat ditempuh dalam satu malam.

Bahiya bertemu Sang Buddha ketika Beliau sedang menerima dana makanan bersama para bhikkhu. Ia dengan penuh hormat mengikuti-Nya. Kemudian ia memohon kepada Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma.

Sang Buddha menjawab bahwa saat menerima dana makanan, bukan waktu yang tepat untuk berkhotbah.

Sekali lagi, Bahiya memohon: "Bhante, seseorang tak akan tahu bahaya yang akan menimpa kehidupanmu dan kehidupanku, sehingga kabarkanlah kepadaku perihal Dhamma."

Sang Buddha mengetahui bahwa Bahiya telah melakukan perjalanan 120 yojana dalam waktu semalam, dan juga diliputi perasaan gembira yang meluap-luap pada saat bertemu Sang Buddha. Oleh karena itu Sang Buddha tidak segera berbicara Dhamma kepadanya, tetapi menunggu sampai ia tenang dan memungkinkan untuk menerima Dhamma dengan baik.

Bahiya terus-menerus memohon. Sehingga, ketika berdiri di tepi jalan, Sang Buddha berkata kepada Bahiya, "Bahiya, ketika kamu melihat suatu objek, hendaknya sadarlah bahwa hal itu hanya objek yang dilihat; ketika kamu mendengar satu suara, sadarlah bahwa hal itu hanya suara; ketika kamu mencium, atau merasa, atau menyentuh sesuatu, sadarlah bahwa hal itu hanya bau, rasa, sentuhan, dan ketika kamu berpikir tentang sesuatu, sadarlah bahwa hal itu hanya objek pikiran."

Setelah mendengar khotbah di atas, Bahiya mencapai tingkat kesucian arahat dan memohon izin Sang Buddha untuk menjadi bhikkhu.

Sang Buddha berkata kepadanya untuk membawa jubah, mangkuk, dan kebutuhan bhikkhu lainnya. Dalam perjalanan untuk mendapatkan barang-barang tersebut, ia diseruduk oleh seekor sapi (sebenarnya yakkhini* yang menyamar menjadi seekor sapi) sehingga ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu berjalan keluar setelah makan, mereka menemukan Bahiya telah tergeletak meninggal dunia pada tumpukan sampah.

Atas perintah Sang Buddha, para bhikkhu mengkremasikan tubuh Bahiya dan sisa jasmaninya disimpan dalam sebuah stupa.

Setelah kembali ke Vihara Jetavana, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu bahwa Bahiya telah merealisasi nibbana. Beliau juga berkata kepada mereka berkaitan dengan pencapaian "Pandangan Terang Magga" (Abhiñña) Bahiya adalah yang tercepat dan terbaik.

Para bhikkhu bingung dengan pernyataan yang diucapkan Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau mengapa dan kapan Bahiya menjadi seorang arahat.

Sang Buddha menjawab "Bahiya telah mencapai tingkat kesucian arahat pada saat ia mendengarkan penjelasan Dhamma yang diberikan kepadanya ketika kita menerima dana makanan."

Para bhikkhu heran bagaiman seseorang mencapai arahat setelah mendengarkan hanya sedikit kalimat Dhamma. Kemudian Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa banyaknya kata-kata atau panjangnya khotbah tidaklah menjadi masalah jika hal itu bermanfaat bagi seseorang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Sahassam api ce gāthā anatthapadasaṃhitā
ekaṃ gāthāpadaṃ seyyo yaṃ sutvā upasammati."

Daripada seribu bait syair yang tak berguna,
adalah lebih baik sebait syair yang berguna,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.
--------------

Notes :

* Lihat penjelasan mengenai yakkhini di notes kemarin.
Dalam komentar, disebutkan bahwa yakkhini ini adalah yakkhini yang sama yang membunuh Tambadathika dalam kisah terdahulu (101), Suppabuddha dalam kisah no.66, dan Pukkusati.

Bahiya, Tambadathika, Suppabuddha, dan Pukkusati adalah anak dari orang kaya dalam kehidupan terdahulu, sementara yakkhini itu adalah seorang pelacur. Keempat pemuda itu bersenang-senang dengan pelacur itu sebelum akhirnya membunuh pelacur tsb dan mengambil perhiasan dan uang yang mereka berikan kepadanya. Pada saat kematiannya pelacur tersebut bersumpah untuk membalas dendam dan telah membunuh mereka dalam 100 kehidupan.

Sunday, 10 October 2010

Kisah Kundalakesi Theri (Dhammapada 8 : 102-103)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(102) Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat,
adalah lebih baik satu kata Dhamma,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

(103) Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh
dalam ribuan kali pertempuran,
namun sesungguhnya penakluk terbesar
adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh, dan ia secara tiba-tiba jatuh cinta padanya. Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya menolak. Tetapi Kundalakesi tak mau mundur setapakpun. Akhirnya orang tuanya mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan pencuri tersebut.

Mereka berdua segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi mencintai suaminya dengan sangat, suaminya tetaplah seorang pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan permatanya.

Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung. Katanya: "Adinda, aku ingin melakukan persembahan kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong hidupku ketika akan dibunuh."

Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya. Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata: "Sekarang kita berdua telah sampai di tujuan. Maka engkau akan kubunuh untuk mendapatkan semua permatamu itu!"

Dengan ketakutan Kundalakesi memohon: "Jangan! Aku jangan kau bunuh, Ambilah semua hartaku, tetapi selamatkanlah nyawaku!"

"Membiarkanmu hidup?" ejek suaminya. "Jangan-jangan nanti engkau malahan melaporkan bahwa permatamu itu kurampas. Tidak bisa! Kau harus kulenyapkan untuk menghilangkan saksi!"

Dalam keputusannya Kundalakesi menyadari bahwa mereka sekarang sedang berada di tepi jurang. Ia berpikir bahwa ia seharusnya berhati-hati dan cerdik. Jika ia mendorong suaminya ke jurang, mungkin merupakan satu kesempatan untuk dapat hidup lebih lama lagi.

Kemudian dengan menghiba ia berkata kepada suaminya: "Kakanda, kita berkumpul bersama-sama ini hanya tinggal beberapa saat lagi. Bagaimanapun juga, engkau adalah suamiku dan orang yang sangat kucintai. Maka, ijinkanlah aku memberikan penghormatan kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Hanya itu saja permintaan terakhirku. Semoga kakanda mau mengabulkan permintaan terakhir isterimu ini."

Setelah berkata seperti itu, Kundalakesi mengitari laki-laki itu dengan penuh hormat, sampai tiga kali.

Pada kali terakhir, ketika ia berada di belakang suaminya, dengan sepenuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh ke tebing batu yang terjal.

Setelah kejadian itu, ia tidak berkeinginan lagi untuk kembali ke rumah. Ia meninggalkan semua permata-permatanya dengan menggantungnya di sebuah pohon, dan pergi, tanpa tahu kemana ia akan pergi.

Secara kebetulan ia sampai di tempat para pertapa pengembara wanita (paribbajika) dan ia sendiri menjadi seorang pertapa pengembara wanita. Para paribbajika lalu mengajarinya seribu problem pandangan menyesatkan.

Dengan kepandaiannya ia menguasai apa yang diajarkan mereka dalam waktu singkat. Kemudian gurunya berkata kepadanya untuk pergi berkelana dan jika ia menemukan seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, jadilah kamu muridnya.

Kundalakesi berkelana ke seluruh Jambudipa, menantang siapa saja untuk berdebat dengannya. Oleh karena itu ia dikenal sebagai "Jambukaparibbajika".

Pada suatu hari, ia tiba di Savatthi. Sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan, ia membuat sebuah gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia di atasnya. Suatu tanda yang biasa ia lakukan untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya.

Sariputta Thera menerima tantangannya.

Kundalakesi menanyakan kepadanya seribu pertanyaan dan Sariputta Thera berhasil menjawab semuanya. Ketika giliran Sariputta Thera bertanya kepadanya, Sariputta Thera hanya bertanya seperti ini: "Apa yang satu itu? (Ekam namakim)."

Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawab. Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar ia dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta berkata bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang bhikkhuni.

Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktekkan apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang arahat.

Tak lama setelah kejadian tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: "Apakah masuk akal Bhikkhuni Kundalakesi menjadi seorang arahat setelah hanya sedikit mendengar Dhamma?" Mereka juga menambahkan bahwa wanita tersebut telah berkelahi dan memperoleh kemenangan melawan suaminya, seorang pencuri, sebelum ia menjadi paribbajika.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Yo ca gāthāsataṃ bhāse anatthapadasaṃhitā
ekaṃ dhammapadaṃ seyyo yaṃ sutvā upasammati.

Yo sahassaṃ sahassena saṅgāme mānuse jine
ekañ ca jeyya-m-attānaṃ sa ve saṅgāmajuttamo."

Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat,
adalah lebih baik satu kata Dhamma,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh
dalam ribuan kali pertempuran,
namun sesungguhnya penakluk terbesar
adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.

Saturday, 9 October 2010

Kisah Brahmana Anatthapucchaka (Dhammapada 8 : 104-105)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(104) Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik
daripada menaklukkan makhluk lain;
Bagi orang yg menguasai dirinya sendiri,
yang selalu hidup terkendali

(105) Tidak ada Dewa, Mara, Gandhabba, ataupun Brahmana,
yang dapat menghancurkan kemenangan dari orang tersebut.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika, seorang brahmana bernama Anatthapucchaka mengunjungi Sang Buddha dan berkata, "Bhante, saya berpikir bahwa Anda hanya mengetahui praktek-praktek yang bermanfaat dan tidak mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat."

Sang Buddha menjawab bahwa Beliau juga mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat dan merugikan. Kemudian Sang Buddha menyebutkan satu per satu enam praktek yang dapat memboroskan kekayaan, sebagai berikut:

1. Tidur sampai matahari terbit.
2. Kebiasaan bermalas-malasan.
3. Bertindak kejam.
4. Gemar minum-minum keras yang menyebabkan mabuk dan lemahnya kesadaran.
5. Berkeliaran sendiri di jalan pada waktu yang tidak tepat, dan
6. Perilaku seks yang salah.

Setelah itu, Sang Buddha bertanya kepada brahmana tersebut bagaimana ia menghidupi dirinya.

Brahmana itu menjawab bahwa ia menghidupi dirinya dengan berjudi, sebagai contoh: bermain dadu.

Selanjutnya Sang Buddha bertanya kepadanya apakah ia menang atau kalah. Ketika sang brahmana menjawab bahwa ia kadangkala menang dan kadangkala kalah, Sang Buddha berkata kepadanya, "Menang dalam permainan dadu tiada artinya dibandingkan dengan kemenangan melawan kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Attā have jitaṃ seyyo yā cāyaṃ itarā pajā
attadantassa posassa niccaṃ saññatacārino.

N’eva devo na gandhabbo na Māro saha Brahmunā
jitaṃ apajitaṃ kayirā tathārūpassa jantuno."

Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik
daripada menaklukkan makhluk lain;
Bagi orang yg menguasai dirinya sendiri,
yang selalu hidup terkendali

Tidak ada Dewa, Mara, Gandhabba, ataupun Brahmana,
yang dapat menghancurkan kemenangan dari orang tersebut.

Friday, 8 October 2010

Kisah Paman Sariputta Thera (Dhammapada 8 : 106)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(106) Meskipun bulan demi bulan selama seratus tahun,
seseorang memberikan ribuan persembahan (kepada orang biasa)
Namun apabila sekejap saja dia menghormati orang
yang telah menyempurnakan dirinya
Maka penghormatan tersebut lebih baik daripada persembahan seratus tahun itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika, Sariputta Thera bertanya kepada pamannya (dari pihak ibu) seorang brahmana apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik.

Sang brahmana menjawab bahwa ia telah membuat persembahan senilai seribu kahapana* setiap bulan untuk pertapa-pertapa Nigantha, dan berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta Thera membawa pamannya menghadap Sang Buddha, dan memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan Dhamma, yang dengan pasti akan membawa seseorang ke alam brahma.

Sang Buddha berkata: "Brahmana, persembahan sesendok dana makanan kepada seorang bhikkhu akan lebih baik daripada persembahan seribu kahapana kepada guru-gurumu."**

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Māse māse sahassena yo vajetha sataṃsamaṃ
ekañ ca bhāvitattānaṃ muhuttam api pūjaye
sā yeva pūjanā seyyo yañ ce vassasataṃ hutaṃ."

Meskipun bulan demi bulan selama seratus tahun,
seseorang memberikan ribuan persembahan (kepada orang biasa)
Namun apabila sekejap saja dia menghormati orang
yang telah menyempurnakan dirinya
Maka penghormatan tersebut lebih baik daripada persembahan seratus tahun itu.

Paman Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------

Notes :

* sahassa = seribu; dalam konteks ini, seribu kahapana. Koin kahapana bisa berupa tembaga, perak ataupun emas.

**perlu dipahami konteksnya dalam kalimat ini, yaitu persembahan mana yang lebih baik.

Hal ini tidak berarti bahwa seseorang tidak boleh memberi persembahan kepada gurunya yang lama. Dalam Upali Sutta (Majjhima Nikaya 56), Upali adalah murid dan penyokong utama Nighanta Nataputta, setelah berdebat dengan Sang Buddha, Upali menyatakan ingin menjadi murid Sang Buddha. Sang Buddha menyuruhnya untuk mempertimbangkannya baik-baik keputusannya itu. Selain itu, mengingat bahwa Upali dan keluarganya sudah lama menjadi penyokong utama Nighanta, Beliau meminta supaya Upali tetap memberi dana makanan kepada Nighanta walaupun telah menjadi pengikut Beliau.

Mengenai bhikkhunya, dalam hal ini tentunya adalah bhikkhu sungguhan yang teguh dalam sila, dan bukan penipu (berjubah bhikkhu tapi telah melakukan Parajika). Juga pertimbangan bahwa pada jaman Sang Buddha, hampir semua bhikkhu statusnya minimal sotapanna :)

Thursday, 7 October 2010

Kisah Keponakan Sariputta Thera (Dhammapada 8 : 107)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(107) Biarpun selama seratus tahun
seseorang menyalakan api pemujaan di hutan,
namun sesungguhnya lebih baik jika ia,
walaupun hanya sesaat saja,
menghormati orang yang telah memiliki pengendalian diri.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada lain kesempatan, Sariputta Thera bertanya kepada keponakannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Keponakannya menjawab bahwa ia telah mengorbankan seekor kambing ke dalam api pemujaan setiap bulan, dan ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma pada kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.

Kemudian Sariputta Thera membawa keponakannya, seorang brahmana muda, menghadap Sang Buddha. Di sana, Sang Buddha mengajarkan Dhamma yang dapat menuntun seseorang menuju ke alam brahma, dan berkata kepada sang brahmana: "Brahmana muda, memberikan penghormatan kepada bhikkhu untuk sesaat saja akan jauh lebih baik daripada memberikan pengorbanan untuk api pemujaan selama seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca vassasataṃ jantu aggiṃ paricare vane
ekañ ca bhāvitattānaṃ muhuttam api pūjaye
sā yeva pūjanā seyyo yañ ce vassasataṃ hutaṃ."

Biarpun selama seratus tahun
seseorang menyalakan api pemujaan di hutan,
namun sesungguhnya lebih baik jika ia,
walaupun hanya sesaat saja,
menghormati orang yang telah memiliki pengendalian diri.

Keponakan Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Wednesday, 6 October 2010

Kisah Teman Sariputta Thera (Dhammapada 8 : 108)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(108) Dalam dunia ini, pengorbanan dan persembahan apapun
yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun,
untuk memperoleh pahala dari perbuatannya itu,
semuanya tidak berharga seperempat bagian pun,
daripada penghormatan yang diberikan kepada orang yang hidupnya lurus.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada kesempatan lain lagi, Sariputta Thera bertanya kepada temannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Temannya menjawab bahwa ia telah melakukan persembahan pengorbanan dalam skala besar. Ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.

Kemudian Sariputta Thera membawa temannya menghadap Sang Buddha, yang menunjukkannya jalan menuju ke alam brahma*. Kepada teman Sariputta Thera, Sang Buddha berkata, "Brahmana, memberikan penghormatan kepada para orang suci (ariya) untuk sesaat saja akan lebih baik daripada melakukan persembahan pengorbanan besar dan kecil sepanjang tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yaṃ kiñci yiṭṭhañ ca hutañ ca loke
saṃvaccharaṃ yajetha puññapekkho
sabbam pi taṃ na catubhāgam eti
abhivādanā ujjugatesu seyyo."

Dalam dunia ini, seseorang dapat mempersembahkan korban, 
besar atau kecil, sepanjang tahun, demi memperoleh pahala;
Tetapi semua ini tidak berharga seperempat bagianpun 
dari penghormatan kepada orang yang hidupnya lurus.

Brahmana teman Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
--------

Notes :

Alam Brahma / Brahmaloka.

Dalam kitab Pali, ada 31 alam kehidupan.
Secara garis besarnya 31 alam kehidupan ini terdiri dari :

I. 4 macam Arupa Loka (alam tanpa bentuk; dihuni oleh makhluk2 yg telah mempunyai Arupa Jhana),
II. 16 macam Rupa Loka (alam berbentuk; termasuk didalam kategori ini adalah bbrp jenis alam Brahma, lalu alam2 dimana para meditator yg telah berhasil mencapai Jhanna 1 s/d Jhanna 4 terlahir kembali, dan alam Suddhavasa dimana para Anagami terlahir kembali.)
III. 11 macam Kama Loka (alam kehidupan dimana makhluk-makhluknya masih senang dengan nafsu-nafsu indera dan terikat dengan panca indera). Kama dengan 1 huruf ‘m’ artinya = nafsu, beda dengan Kamma/Karma (hukum karma).

Dalam notes kisah-kisah sebelumnya telah diuraikan mengenai 6 jenis surga dalam kategori no.III di atas.
Alam Brahma, lebih tinggi dari 6 jenis surga itu.
Penghuni alam Brahma, disebut brahma, tetapi kadang disebut sebagai dewa/dewa brahma.

Secara umum, istilah Brahma digunakan untuk penghuni alam-alam yang lebih tinggi dari alam dewa / 6 alam surga, yaitu 4 arupa loka dan 16 rupa loka. Agak khusus, ‘brahma’ merujuk ke penghuni dari 9 alam paling rendah di rupaloka, dan paling khusus digunakan untuk merujuk kepada 3 alam terendah di rupaloka.

Alam Brahma terdiri dari point I & II di atas, yaitu ;

4 ARUPALOKA / Arupadhatu :

Penghuni 4 alam ini hanya memiliki batin (nama khanda) dan tidak memiliki Rupa khanda/bentuk/jasmani, dan karenanya tidak dapat mendengarkan Dhamma. Penghuni alam ini, mereka telah mencapai Arupa Jhana dalam kehidupan sebelumnya.
1. Nevasannanasannayatana Bhumi (bukan persepsi/pencerapan maupun non-persepsi), rentang umur 84.000 MK (maha kappa). Mereka telah melampaui persepsi maupun non persepsi, dan tidak lagi terlibat dalam pencerapan. Uddaka Ramaputta, guru kedua pangeran Siddharta, terlahir di alam ini. Uddaka Ramaputta berpikir bahwa ia telah mencapai penerangan.
2. Akincannayatana Bhumi (ketiadaan/kekosongan), rentang umur 60.000 MK. Di alam ini, mereka mengkontemplasikan pikiran ‘tidak ada sesuatupun / kekosongan’. Masih termasuk bentuk dari persepsi, walaupun sangat halus. Alara Kalama, guru pertama pangeran Siddharta, terlahir di alam ini, dan juga berpikir bahwa ia telah mencapai penerangan.
3. Vinnanancayatana Bhumi (kesadaran tanpa batas), rentang umur 40.000 MK. Di sini mereka bermeditasi atas kesadarannya / vijnana sebagai tanpa batas
4. Akasanancayatana Bhumi (ruangan tanpa batas), rentang umur 20.000 MK. Disini mereka bermeditasi mengenai ruangan sebagai tanpa batas.
Penghuni alam2 ini belum tentu buddhist. Asalkan ia dapat mencapai Arupa Jhana dalam meditasinya, ia dapat lahir di alam ini.

16 RUPA LOKA terdiri dari :

Alam Jhana Empat :
1. Akanittha / Kediaman murni tertinggi, rentang umur 16.000 MK
2. Sudassi / Kediaman pandangan terang, 8.000 MK
3. Sudassa / Kediaman Indah, 4.000 MK
4. Atappa / Kediaman Suci, 2.000 MK
5. Aviha / Kediaman Tak-Bergerak, 1.000 MK
Lima alam diatas disebut Kediaman Murni / Suddhavasa. Berbeda dari Rupaloka lainnya dimana kelahiran dapat dicapai melalui kebajikan dan atau pencapaian meditasi, Suddhavasa hanya dapat dicapai jika telah mencapai tingkat kesucian Anagami.
Salah satu penghuni alam Suddhavasa ini adalah Brahma Sahampati (yang memohon kepada Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma). Beliau mencapai Anagami sejak jaman Buddha sebelum Gotama. Dengan demikian, semua penghuni Suddhavasa adalah pelindung Dharma.
6. Asannasatta / Tanpa kesadaran, 500 MK
7. Vehapphala / Pahala Besar, 500 MK

Alam Jhana Tiga :
8. Subhakinna / Keagungan yg memancar, rentang umur 64 MK
9. Appamanasubha / Keagungan Tak-terukur, 32 MK
10. Appamanasubha / Keagungan Terbatas, 16 MK

Alam Jhana Dua :
11. Abhassara / Cahaya gemerlap, rentang umur 8 MK. Dalam Aganna Sutta yang menceritakan terjadinya bumi kita, dikatakan bahwa makhluk-makhluk yang lahir di bumi bertumimbal lahir dari alam Abhassara ini.
12. Appamanabha / Cahaya Tak-Terukur, 4 MK
13. Parittabha / Cahaya Terbatas, 2 MK

Alam Jhana Satu :
14. Mahabrahma, rentang umur 1 AK. Penghuni alam ini yang paling terkenal adalah Maha Brahma, juga dikenal dengan beberapa nama lain. Karena pandangannya yang salah, berpikir bahwa dirinya makhluk paling berkuasa, maha tahu dan pencipta.
15. Brahmapurohita / Menteri-menteri Brahma, 0,5 AK
16. Brahmaparisajja / Pengikut-pengikut Brahma, 0.3 AK

MK = maha kappa. AK = Asankheyya Kappa. 1 MK = 4 AK.
Berapa lama satu kappa ? Buddha memberi perumpaan sebagai berikut.
Bayangkan sebuah kotak kosong pada awal mula kalpa, 1 yojana (kira-kira 6 mil) pada setiap sisinya. Setiap 100 tahun, kita memasukan biji mustard kecil di dalam tabung tersebut. Menurut Sang Buddha, tabung yang besar tersebut akan penuh sebelum 1 masa kalpa berakhir.
Bayangkan sebuah batu yang sangat besar/raksasa pada awal mula kalpa kurang lebih 6 x 6 x 6 mil. Kita mengambil sebuah batu kecil dan menyapu gunung tersebut sekali dalam 100 tahun. Menurut Sang Buddha, gunung yang besar tersebut akan habis sebelum 1 masa kalpa berakhir.

Dalam tradisi Mahayana dan dalam tradisi Tibetan penggolongan alam kehidupan agak berbeda tapi kira-kira intinya masih seputar itu, hanya beda pengkategoriannya saja, jadi jangan bingung kalau lain kali anda baca ada 6 alam atau berapalah…

Dalam tradisi Mahayana ada pula yang disebut Buddha-ksetra / alam Buddha. Misalnya alam Sukhavati/Si Fang/Dewachen adalah Buddha-ksetranya Buddha Amitabha, ini diluar lingkup dari 31 alam kehidupan di atas, dan alam tersebut terbentuk karena ikrar beliau.
31 alam kehidupan yang dijelaskan di atas boleh dikata adalah Buddha-ksetra Buddha Sakyamuni.

Tuesday, 5 October 2010

Kisah Ayuvaddhanakumara (Dhammapada 8 : 109)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(109) Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua,
empat hal akan bertambah, yaitu umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu waktu terdapat dua orang pertapa yang tinggal bersama, mempraktekkan pertapaan yang keras (tapacaranam) selama 48 tahun lamanya. Kemudian, satu di antara dua pertapa itu meninggalkan kehidupan bertapa dan menikah. Setelah seorang anak laki-lakinya lahir, keluarga tersebut mengunjungi pertapa tua temannya dan memberi hormat kepadanya. Kepada kedua orang tua anak itu, sang pertapa berkata "Semoga kalian panjang umur", tetapi dia tidak berkata apa-apa kepada si anak.

Kedua orang tua tersebut bingung dan menanyakan kepada pertapa, apakah alasannya ia tidak berkata apa-apa kepada anak itu. Sang pertapa berkata kepada mereka bahwa anak tersebut hanya akan hidup tujuh hari lagi dan ia tidak tahu bagaimana untuk mencegah kematiannya, tetapi Buddha Gotama mungkin tahu bagaimana cara mencegahnya.
Kemudian orang tua tersebut membawa anaknya menghadap Sang Buddha, ketika mereka memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau juga berkata "Semoga kalian panjang umur" hanya kepada kedua orang tua itu dan tidak kepada anaknya. Sang Buddha juga memperkirakan kematian akan datang pada anak itu. Untuk mencegah kematiannya, Sang Buddha berkata kepada orang tua itu agar mereka membangun paviliun di depan pintu masuk rumahnya dan meletakkan anak tersebut pada dipan di dalam paviliun. Kemudian beberapa bhikkhu diundang ke sana untuk membaca paritta selama tujuh hari. Pada hari ketujuh Sang Buddha sendiri datang ke paviliun itu. Para dewa dari seluruh alam semesta juga datang. Pada waktu itu raksasa Avaruddhaka berada di pintu masuk, menunggu kesempatan membawa anak itu pergi. Tetapi kedatangan para dewa menyebabkan raksasa tersebut hanya dapat menunggu di suatu tempat yang jauhnya 2 yojana dari anak tersebut. Sepanjang malam, pembacaan paritta dilaksanakan tanpa henti, sehingga melindungi anak tersebut. Hari berikutnya, anak tersebut diambil dari dipan dan melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Kali ini, Sang Buddha berkata "Semoga kamu panjang umur" kepada anak tersebut. Ketika ditanya berapa lama anak tersebut akan hidup, Sang Buddha menjawab bahwa ia akan hidup selama seratus dua puluh tahun. Kemudian anak itu diberi nama Ayuvaddhana.

Ketika anak tersebut remaja, ia pergi berkeliling negeri dengan disertai lima ratus orang pengikut. Suatu hari mereka datang ke Vihara Jetavana, para bhikkhu mengenalinya, dan bertanya kepada Sang Buddha, "Dengan melaksanakan apa seseorang bisa berumur panjang?" Sang Buddha menjawab, "Dengan menghormati dan menghargai yang lebih tua, yang memiliki kebijaksanaan serta kesucian, niscaya seseorang akan memperoleh tidak hanya umur panjang, tetapi juga keindahan, kebahagiaan, dan kekuatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Abhivādanasīlissa
niccaṃ vaddhāpacāyino
cattāro dhammā vaḍḍhanti
āyu vaṇṇo sukhaṃ balaṃ."

Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua,
empat hal akan bertambah, yaitu umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.

Setelah khotbah berakhir, Ayuvaddhana dan 500 pengikutnya mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Monday, 4 October 2010

Kisah Samanera Samkicca (Dhammapada 8 : 110)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(110) Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari
dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu ketika, tiga puluh bhikkhu setelah menerima pelajaran objek meditasi yang diberikan Sang Buddha, pergi menuju sebuah desa besar, yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi. Pada waktu itu, lima ratus orang perampok tinggal di tengah-tengah hutan dan mereka hendak membuat persembahan dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga hutan. Kemudian mereka datang ke vihara desa dan meminta salah seorang bhikkhu diserahkan kepada mereka untuk dikorbankan kepada makhluk halus penjaga hutan. Semua bhikkhu, dari yang tertua sampai yang termuda, bersedia secara sukarela untuk pergi. Di antara para bhikkhu tersebut, terdapat juga seorang samanera muda yang bernama Samkicca. Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera. Samanera ini baru berumur tujuh tahun, tetapi telah mencapai tingkat kesucian arahat. Samkicca berkata bahwa Sariputta Thera gurunya, mengetahui bahaya yang akan datang menghadang mereka, dengan sengaja menyuruhnya untuk menyertai perjalanan para bhikkhu, dan ia telah siap menjadi orang yang pergi memenuhi keinginan perampok. Kemudian Samkicca pergi bersama perampok. Para bhikkhu merasa sangat sedih telah membiarkan samanera muda pergi. Para perampok membuat persiapan untuk upacara pengorbanan. Ketika semuanya sudah siap, pimpinan mereka mendekati samanera, yang sedang duduk, dengan pikiran terpusat pada konsentrasi terserap (jhana). Sang pimpinan perampok mengangkat pedangnya dan menebaskannya kepada samanera muda, tetapi mata pedang tersebut bengkok tanpa memotong daging samanera. Ia meluruskan mata pedangnya dan menebaskannya lagi, kali ini, pedang tersebut bengkok sampai ke pangkalnya tanpa melukai samanera. Melihat hal aneh ini, pemimpin perampok menjatuhkan pedangnya, berlutut di kaki samanera dan memohon ampun. Semua perampok itu terheran-heran dan merasa sangat ngeri, mereka menyesali perbuatannya, dan meminta untuk diterima menjadi bhikkhu.

Samanera muda disertai lima ratus pengikutnya berangkat kembali ke vihara desa dan ketigapuluh bhikkhu yang tinggal di vihara merasa lega dan gembira melihatnya. Kemudian Samkicca dan lima ratus pengikutnya meneruskan perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sariputta Thera. Setelah bertemu Sariputta Thera, mereka pergi untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika menceritakan apa yang telah terjadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, jika kamu merampok atau mencuri dan melakukan berbagai bentuk perbuatan jahat, hidupmu akan menjadi tidak berguna, meskipun kamu hidup seratus tahun. Menjalani hidup dengan hidup suci meskipun satu hari lebih baik daripada seratus tahun hidup dengan kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca vassasataṃ jīve dussīlo asamāhito
ekāhaṃ jīvitaṃ seyyo sīlavantassa jhāyino."

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

Pada akhir khotbah, lima ratus bhikkhus tersebut mencapai arahat.

Sunday, 3 October 2010

Kisah Khanu-Kondanna (Dhammapada 8 : 111)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(111) Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari
dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah menerima pelajaran objek meditasi dari Sang Buddha, Kondanna pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi dan di sana Kondanna mencapai tingkat kesucian arahat. Dalam perjalanan pulang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Kondanna sangat lelah dan berhenti di perjalanan. Kondanna duduk di atas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam jhana. Pada saat itu, lima ratus orang perampok setelah merampok sebuah desa besar, datang ke tempat Kondanna berada. Mereka mengira bhikkhu itu bagaikan tunggul pohon sehingga mereka menaruh tumpukkan barang rampokan di sekitar tubuh beliau. Ketika hari mulai siang, mereka menyadari bahwa apa yang mereka kira sebagai tunggul pohon, pada kenyataannya adalah makhluk hidup. Kemudian mereka berpikir bahwa makhluk itu merupakan raksasa sehingga mereka lari dengan ketakutan.

Kondanna menyatakan kepada mereka bahwa ia hanya seorang bhikkhu, bukan raksasa, dan berkata kepada mereka agar jangan takut. Perampok-perampok tersebut terpesona oleh kata-katanya, dan memohon maaf atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Tak lama kemudian, semua perampok memohon kepada Kondanna agar berkenan menerima mereka dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondanna dikenal dengan nama "Khanu Kondanna" (Kondanna tunggul pohon).

Kondanna beserta bhikkhu-bhikkhu baru menemui Sang Buddha dan menyampaikan kepada Beliau apa yang telah terjadi. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Hidup seratus tahun dengan ketidaktahuan, melakukan hal-hal yang bodoh, adalah tidak bermanfaat, sekarang kamu telah melihat kebenaran dan telah menjadi bijaksana, kehidupanmu sehari sebagai orang yang bijaksana, sangat bermanfaat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca vassasataṃ jīve duppañño asamāhito
ekāhaṃ jīvitaṃ seyyo paññavantassa jhāyino."

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari
dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.

Saturday, 2 October 2010

Kisah Sappadasa Thera (Dhammapada 8 : 112)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(112) Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang berjuang dengan penuh semangat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu, tetapi juga ia merasa tidak tepat dan memalukan baginya untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia mati saja. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak mau menggigitnya. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini, bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera.

Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya. Pada saat ia menempelkan pisau di tenggorokannya, ia merenungkan kesucian dari praktek silanya sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya kemana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau bersaanya. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak jadi melakukannya.

Ia menjawab, "Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang." Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat pada saat ia menaruh pisau di tenggorokkannya untuk bunuh diri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dalam waktu demikian singkat?" Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dalam meditasi, ia dapat mencapai tingkat kearahatan meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca vassasataṃ jīve kusīto hīnavīriyo
ekāhaṃ jīvitaṃ seyyo viriyam ārabhato daḷhaṃ."

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang berjuang dengan penuh semangat.

Friday, 1 October 2010

Kisah Patacara Theri (Dhammapada 8 : 113)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(113) Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari, ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama, ia hamil, dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia berangkat menuju rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menyusulnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya, ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menyusulnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai untuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi harinya, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai menggendong kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari. Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua.

Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar terbang berputar-putar di atas bayinya, mengiranya sebagai sepotong daging besar. Dia berteriak-teriak untuk menakuti-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia; anak bayi itu dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai menuju ke tempat ibunya berada, dan terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan kedua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan keras, "Seorang anak dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!" Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan sambil menangis menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab, badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, meneriakkan kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan, "Jangan biarkan wanita gila itu masuk." Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Budha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.

Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra." Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci "Anamatagga Sutta", yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir terlalu banyak mengenai mereka yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasikan nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran air itu dan menghilangnya air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasaNya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan menampakkan diriNya. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, "Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak ketidak-kekalan, tidak-memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha, adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca vassasataṃ jīve apassaṃ udayavyayaṃ
ekāhaṃ jīvitaṃ seyyo passato udayavyayaṃ."

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
-------------

Notes :

Patacara dinyatakan sebagai murid yang terunggul dalam Vinaya (A.i.25).
Pada masa Buddha Padumuttara, ia mendengar Sang Buddha menyatakan seorang bhikkhuni sebagai yang terunggul dalam Vinaya (peraturan para anggota Sangha), dan bertekad untuk mencapainya juga.
Pada masa Buddha Kassapa, ia lahir sebagai puteri ketiga dari 7 puteri raja Kiki, Raja Benares.
Ketujuh puteri ini bernama Samanī, Samanā, Guttā, Bhikkhudāsikā, Dhammā, Sudhammā and Sanghadāsī. Mereka ini, pada jaman Buddha Gotama, lahir sebagai Khema, Uppalavana, Patacara, Gotama, Dhammadina, Ratu Mahamaya, dan Visakha. (J.iv.481)
Ia membangun tempat meditasi untuk Sangha dan hidup selibat selama 20 ribu tahun.