Friday, 1 October 2010

Kisah Patacara Theri (Dhammapada 8 : 113)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(113) Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari, ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama, ia hamil, dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia berangkat menuju rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menyusulnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya, ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menyusulnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai untuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi harinya, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai menggendong kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari. Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua.

Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar terbang berputar-putar di atas bayinya, mengiranya sebagai sepotong daging besar. Dia berteriak-teriak untuk menakuti-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia; anak bayi itu dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai menuju ke tempat ibunya berada, dan terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan kedua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan keras, "Seorang anak dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!" Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan sambil menangis menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab, badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, meneriakkan kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan, "Jangan biarkan wanita gila itu masuk." Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Budha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.

Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra." Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci "Anamatagga Sutta", yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir terlalu banyak mengenai mereka yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasikan nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran air itu dan menghilangnya air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasaNya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan menampakkan diriNya. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, "Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak ketidak-kekalan, tidak-memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha, adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca vassasataṃ jīve apassaṃ udayavyayaṃ
ekāhaṃ jīvitaṃ seyyo passato udayavyayaṃ."

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
-------------

Notes :

Patacara dinyatakan sebagai murid yang terunggul dalam Vinaya (A.i.25).
Pada masa Buddha Padumuttara, ia mendengar Sang Buddha menyatakan seorang bhikkhuni sebagai yang terunggul dalam Vinaya (peraturan para anggota Sangha), dan bertekad untuk mencapainya juga.
Pada masa Buddha Kassapa, ia lahir sebagai puteri ketiga dari 7 puteri raja Kiki, Raja Benares.
Ketujuh puteri ini bernama Samanī, Samanā, Guttā, Bhikkhudāsikā, Dhammā, Sudhammā and Sanghadāsī. Mereka ini, pada jaman Buddha Gotama, lahir sebagai Khema, Uppalavana, Patacara, Gotama, Dhammadina, Ratu Mahamaya, dan Visakha. (J.iv.481)
Ia membangun tempat meditasi untuk Sangha dan hidup selibat selama 20 ribu tahun.