Saturday 2 October 2010

Kisah Sappadasa Thera (Dhammapada 8 : 112)

VIII. Sahassa Vagga - Ribuan

(112) Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang berjuang dengan penuh semangat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu, tetapi juga ia merasa tidak tepat dan memalukan baginya untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia mati saja. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak mau menggigitnya. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini, bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera.

Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya. Pada saat ia menempelkan pisau di tenggorokannya, ia merenungkan kesucian dari praktek silanya sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya kemana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau bersaanya. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak jadi melakukannya.

Ia menjawab, "Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang." Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat pada saat ia menaruh pisau di tenggorokkannya untuk bunuh diri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dalam waktu demikian singkat?" Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dalam meditasi, ia dapat mencapai tingkat kearahatan meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca vassasataṃ jīve kusīto hīnavīriyo
ekāhaṃ jīvitaṃ seyyo viriyam ārabhato daḷhaṃ."

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang berjuang dengan penuh semangat.