Monday 25 October 2010

Kisah Bhikkhu Dhammika (Dhammapada 6 : 84)

VI. Pandita Vagga - Orang Bijaksana

(84) Seseorang yang arif tidak berbuat jahat
demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain,
demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat
atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar.
Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dhammika tinggal di Savatthi bersama istrinya. Suatu hari, ia berkata kepada istrinya yang sedang hamil bahwa ia berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai kelahiran anak mereka. Ketika anak tersebut lahir, ia kembali meminta kepada istrinya untuk memperbolehkannya pergi. Sekali lagi istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai anak tersebut dapat berjalan.

Kemudian Dhammika berkata kepada dirinya sendiri, "Tidak ada gunanya bagiku meminta persetujuan dari istriku untuk menjadi bhikkhu, saya harus berjuang untuk kebebasanku sendiri!" Setelah membuat keputusan teguh, ia meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha memberikan objek meditasi kepadanya, dan ia mempraktekkan meditasi dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang arahat.

Beberapa tahun setelah itu, beliau menengok rumahnya dengan maksud untuk mengajarkan Dhamma kepada istri dan anaknya. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian mencapai tingkat kesucian arahat. Sang istri kemudian berkata, "Sekarang suami dan anakku telah meninggalkan rumah, saya lebih baik pergi juga." Dengan pikiran ini, ia juga meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni, dan akhirnya ia juga mencapai tingkat kesucian arahat.

Dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha diberitahukan bagaimana Dhammika menjadi seorang bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat, dan karena melalui Dhammika, anak dan istrinya juga menjadi arahat.
Kepada mereka Sang Buddha bersabda, "Para bhikkhu, orang bijaksana tidak menginginkan kekayaan dan kemakmuran yang diperoleh dengan cara tidak benar. Apakah hal itu dilakukan demi dirinya sendiri atau demi orang lain. Ia berjuang hanya untuk pembebasan dirinya dari roda tumimbal lahir (samsara) dengan cara memahami Dhamma dan hidup sesuai dengan Dhamma."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Na attahetu na parassa hetu
na puttam icche na dhanaṃ na raṭṭhaṃ
na iccheyya adhammena samiddhim attano
sa sīlavā paññavā dhammiko siyā."

Seseorang yang arif tidak berbuat jahat
demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain,
demikian pula ia tidak menginginkan anak, atau kekayaan, atau kerajaan
dengan berbuat jahat maupun kesuksesan dengan cara yang tidak benar.
Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.