Sunday 17 October 2010

Kisah Sariputta Thera (Dhammapada 7 : 95)

VII. Arahanta Vagga - Arahat 

(95) Bagaikan tanah, demikian pula orang suci.
Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila),
bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur.
Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu akhir masa vassa, Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan menfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya.

Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan: apakah hal itu benar?

Sariputta menjawab, "Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang teguh menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa meminta maaf setelah melakukan kesalahan terhadap sesama bhikkhu ? Saya seperti tanah yang tidak merasa suka ketika dijatuhi bunga dan tidak merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan yang tanduknya patah, saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu."

Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat sedih dan menangis tersedu-sedu. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu dan kepalanya bisa pecah. Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf. Sariputta thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah.

Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh, seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Paṭhavīsamo no virujjhati
indakhīlūpamo tādi subbato
rahado va apetakaddamo
saṃsārā na bhavanti tādino."

Bagaikan tanah, demikian pula orang suci.
Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila),
bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur.
Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi kelahiran kembali.