XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(344) Setelah bebas dari hutan keinginan (kehidupan rumah tangga),
ia menemukan hutan kesucian (kehidupan pertapa).
Tapi, walaupun telah bebas dari keinginan (akan kehidupan rumah tangga) ia kembali ke rumah lagi.
Lihatlah orang seperti itu! Setelah bebas ia kembali pada ikatan itu lagi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai seorang murid Y.A.Mahakassapa, bhikkhu ini telah mencapai empat tingkat pencerapan mental (jhana). Suatu hari ketika ia pergi untuk menerima dana makanan di rumah pamannya, ia melihat seorang wanita dan merasa keinginan yang sangat kuat untuk memilikinya. Kemudian ia meninggalkan Pasamuan Bhikkhu (Sangha).
Sebagai seorang umat awam, ia mengalami kegagalan karena ia tidak bekerja keras. Pamannya mengusir mantan bhikkhu itu dari rumahnya. Kemudian ia berkawan dengan beberapa pencuri. Dalam salah satu aksinya, mereka semua ditangkap oleh yang berwajib dan dibawa ke makam untuk di hukum mati.
Y.A. Mahakassapa, melihat mantan muridnya ketika sedang dibawa keluar, dan berkata padanya, "Muridku, jagalah pikiranmu teguh pada satu objek meditasi." Seperti diperintahkan, ia berkonsentrasi dan membiarkan dirinya masuk ke dalam keadaan pencerapan mental yang dalam. Di makam, saat para algojo sedang membuat persiapan untuk membunuhnya, mantan bhikkhu tersebut sangat tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau kegelisahan. Para algojo serta para penonton terpesona dan sangat terkesan dengan keberanian dan ketenangan orang itu. Kemudian mereka melaporkan tentang orang itu kepada Raja dan kepada Sang Buddha.
Raja memberi perintah untuk melepaskan orang itu. Sang Buddha ketika mendengar tentang kejadian tersebut mengirimkan sinar Beliau dan muncul di hadapan pencuri itu sehingga ia seperti berhadapan langsung dengan Sang Buddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Yo nibbanatho vanādhimutto
vanamutto vanam eva dhāvati
taṃ puggalam eva passatha:
mutto bandhanam eva dhāvati."
Setelah bebas dari hutan keinginan (kehidupan rumah tangga),
ia menemukan hutan kesucian (kehidupan pertapa).
Tapi, walaupun telah bebas dari keinginan (akan kehidupan rumah tangga)
ia kembali ke rumah lagi.
Lihatlah orang seperti itu! Setelah bebas ia kembali pada ikatan itu lagi.
Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, pencuri yang teguh menjaga pikirannya pada timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi menyadari sifat ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan tanpa inti dari segala sesuatu yang berkondisi. Ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana, dan ia sekali lagi diterima masuk ke dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) oleh Sang Buddha, dan ia dengan cepat mencapai tingkat kesucian arahat.
Friday, 30 April 2010
Thursday, 29 April 2010
Kisah Hukuman Penjara (Dhammapada 24 : 345-346)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(345) Orang bijaksana menyatakan
bahwa belenggu yang terbuat dari besi, kayu, ataupun rami tidaklah begitu kuat.
Tetapi ikatan terhadap anak-anak, istri, dan harta benda,
sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.
(346) Orang bijaksana menyatakan
bahwa belenggu seperti itu amat kuat,
dapat melemparkan orang ke bawah, halus dan sukar untuk dilepaskan.
walaupun demikian, para bijaksana akan dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang ke Savatthi untuk berpindapatta. Ketika mereka sedang mengumpulkan dana makanan, mereka melihat beberapa tawanan sedang diangkut dengan kaki dan tangan terikat rantai. Ketika tiba kembali di vihara, setelah mengingat apa yang telah dilihat dipagi hari, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakan ada ikatan lain yang lebih kuat dari pada itu.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab. "Para bhikkhu! Ikatan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan nafsu keinginan akan makanan dan pakaian, akan kekayaan, serta akan keluarga. Nafsu keinginan ribuan, ratusan ribu lebih kuat daripada rantai itu, borgol, dan kurungan. Itulah sebabnya mengapa orang bijaksana memotong nafsu dan meninggalkan keduniawian, serta memasuki pasamuan para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Na taṃ daḷhaṃ bandhanam āhu dhīrā
yad āyasaṃ dārujaṃ pabbajañ ca
sārattarattā maṇikuṇḍalesu
puttesu dāresu ca yā apekhā,
Etaṃ daḷhaṃ bandhanam āhu dhīrā
ohārinaṃ sithilaṃ duppamuñcaṃ
etam pi chetvāna paribbajanti
anapekhino kāmasukhaṃ pahāya."
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu yang terbuat dari besi, kayu, ataupun rami
tidaklah begitu kuat.
Tetapi ikatan terhadap anak-anak, istri, dan harta benda,
sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu seperti itu amat kuat,
dapat melemparkan orang ke bawah (ke alam rendah), halus dan sukar untuk dilepaskan.
walaupun demikian, para bijaksana akan dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
(345) Orang bijaksana menyatakan
bahwa belenggu yang terbuat dari besi, kayu, ataupun rami tidaklah begitu kuat.
Tetapi ikatan terhadap anak-anak, istri, dan harta benda,
sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.
(346) Orang bijaksana menyatakan
bahwa belenggu seperti itu amat kuat,
dapat melemparkan orang ke bawah, halus dan sukar untuk dilepaskan.
walaupun demikian, para bijaksana akan dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang ke Savatthi untuk berpindapatta. Ketika mereka sedang mengumpulkan dana makanan, mereka melihat beberapa tawanan sedang diangkut dengan kaki dan tangan terikat rantai. Ketika tiba kembali di vihara, setelah mengingat apa yang telah dilihat dipagi hari, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakan ada ikatan lain yang lebih kuat dari pada itu.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab. "Para bhikkhu! Ikatan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan nafsu keinginan akan makanan dan pakaian, akan kekayaan, serta akan keluarga. Nafsu keinginan ribuan, ratusan ribu lebih kuat daripada rantai itu, borgol, dan kurungan. Itulah sebabnya mengapa orang bijaksana memotong nafsu dan meninggalkan keduniawian, serta memasuki pasamuan para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Na taṃ daḷhaṃ bandhanam āhu dhīrā
yad āyasaṃ dārujaṃ pabbajañ ca
sārattarattā maṇikuṇḍalesu
puttesu dāresu ca yā apekhā,
Etaṃ daḷhaṃ bandhanam āhu dhīrā
ohārinaṃ sithilaṃ duppamuñcaṃ
etam pi chetvāna paribbajanti
anapekhino kāmasukhaṃ pahāya."
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu yang terbuat dari besi, kayu, ataupun rami
tidaklah begitu kuat.
Tetapi ikatan terhadap anak-anak, istri, dan harta benda,
sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu seperti itu amat kuat,
dapat melemparkan orang ke bawah (ke alam rendah), halus dan sukar untuk dilepaskan.
walaupun demikian, para bijaksana akan dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
Labels:
24. Tanha Vagga
Wednesday, 28 April 2010
Kisah Khema Theri (Dhammapada 24 : 347)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(347) Mereka yang bergembira dengan nafsu indria,
akan jatuh ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri.
Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Ratu Khema merupakan istri utama dari Raja Bimbisara. Ia sangat cantik dan sangat bangga akan kecantikannya. Raja menginginkannya untuk pergi ke Vihara Veluvana dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha selalu berbicara meremehkan kecantikan, dan karenanya ia mencoba untuk menghindari berjumpa dengan Sang Buddha. Raja mengerti sikapnya terhadap Sang Buddha, ia juga tahu betapa bangganya ratu pada kecantikannya. Kemudian raja memerintahkan grup musiknya untuk menyanyikan lagu pujian tentang Vihara Veluvana, tentang tempatnya yang menyenangkan dan suasananya yang damai, dan sebagainya. Mendengar hal itu, Ratu Khema menjadi tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Vihara Veluvana.
Ketika Ratu Khema tiba di vihara, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada para pendengar. Dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, Sang Buddha membuat penampakan seorang gadis muda yang sangat cantik muncul, duduk tidak jauh dari Beliau, dan sedang mengipasi Sang Buddha. Ketika Ratu Khema datang di ruang pertemuan, hanya ia sendiri yang melihat gadis cantik tersebut. Membandingkan kecantikannya yang luar biasa dari gadis tersebut dengan kecantikannya, Khema menyadari bahwa kecantikannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan gadis tersebut. Ketika Ratu memperhatikan dengan seksama gadis tersebut, tiba-tiba kecantikan gadis itu mulai memudar sedikit demi sedikit. Akhirnya Ratu melihat seorang wanita tua jompo, yang kemudian berubah menjadi mayat, tubuhnya yang berbau busuk diserang belatung. Segera pada saat itu, ratu Khema menyadari ketidak-kekalan dan ketidak-berhargaan kecantikannya.
Sang Buddha mengetahui keadaan pikiran Ratu Khema, kemudian Beliau berkata, "O Khema! Lihatlah baik-baik pada tubuh lapuk ini yang terbalut di sekitar kerangka tulang, dan merupakan sasaran penyakit dan kelapukan. Lihatlah baik-baik tubuh ini yang dihargai sedemikian tinggi oleh orang bodoh. Lihatlah pada ketidak-berhargaan kecantikan gadis muda ini." Setelah mendengar hal itu, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Ye rāgarattānupatanti sotaṃ
sayaṃkataṃ makkaṭako va jālaṃ
etam pi chetvāna vajanti dhīrā
anapekhino sabbadukkhaṃ pahāya."
Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri.
Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meniggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Raja, “Oh Raja, Khema harus meninggalkan keduniawian, atau memasuki Nibbana”. Raja menjawab, “Bhante, terimalah ia dalam Sangha; sedangkan Nibbana, jangan!”.
Khema kemudian masuk dalam pasamuan bhikkhuni serta menjadi Siswa Utama wanita Sang Buddha.
--------
Notes :
* Bhikkhu Siswa Utama adalah Moggalana & Sariputta, dan bhikkhuni siswa utama adalah Khema & Uppalavana.
Diatas, dikatakan jika telah mencapai arahat, harus meninggalkan kehidupan duniawi atau merealisasi Nibbana (maksudnya meninggal dunia). Hal ini dikarenakan tidak mungkin lagi seorang arahat menjalani kehidupan duniawi. Sudah tidak cocok lagi, cara pandang, sikap dll. Coba perhatikan cerita-cerita lainnya, semua yang mencapai arahat kalau tidak menjadi bhikkhu/ni, maka ia akan meninggal tidak lama kemudian. Misalnya menteri Santati (kisah no. 142), Bahiya (kisah no.101), Brahmana dan isterinya (dua orang) di kisah no.225, dan juga Raja Suddhodana ayah pangeran Siddhartha yang meninggal segera setelah mencapai arahat (ThigA.141). Tidak ada yang hidup terus sebagai umat perumah tangga. Yang tercatat masih tetap hidup berumah tangga, maksimum hanya anagami.
Biasanya kalau bukan anggota Sangha tetapi mencapai arahat setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka segera masuk dalam persamuan Sangha. Contohnya Jambuka (kisah 70), Uggasena (kisah 348), Khema (kisah 347), Samanera dari Kosambi (kisah 96), Aggidatta dan semua pengikutnya (kisah 188-192)
Dalam hal ini karena Khema adalah seorang ratu dan masih memiliki suami, tentunya dia tidak leluasa memutuskan sendiri, hingga Buddha menanyakannya kepada Raja.
Pada masa Buddha Padumuttara, Khema adalah seorang budak. Ia menjual rambutnya untuk memberi dana makanan kepada Buddha Padumuttara, dan melihat murid utama wanita Sujata, ia bertekad untuk menjadi murid utama wanita Buddha yang akan datang. Sejak saat itu ia bekerja keras untuk memenuhi tekad itu.
Pada masa Buddha Kassapa, ia bernama Samani, putri tertua dari Kiki, Raja Benares. Bersama dengan saudari-saudarinya ia menjalani hidup selibat selama 20 ribu tahun dan membangun vihara untuk Buddha. Ia mempelajari Mahanidana Sutta setelah mendengar Buddha membabarkannya.
Pada masa Buddha Vipassi ia menjadi seorang bhikkhuni pembabar Dhamma yang terkenal. Dan pada masa Buddha Kakusandha dan Konagamana, ia juga membangun vihara untuk Buddha dan para bhikkhu.
Demikian sejarah kehidupan-kehidupan Ratu Khema di masa lalu, beliau telah banyak memupuk kebajikan dan juga terpelajar dalam Dhamma, karena inilah maka hanya dengan satu khotbah bahkan masih dalam status umat awam, beliau dapat mencapai tingkat kesucian arahat.
Raja Bimbisara adalah Raja di kerajaan Magadha, memiliki beberapa orang ratu/istri yaitu
- Ratu Khema, tidak disebutkan ia memiliki anak.
- Padumavati dari Ujjeni, dengannya mempunyai putra bernama Abhayakumara
- Ratu Kosaladevi / Ratu Vaidehi, saudari Raja Pasenadi dari Kosala.
Dengan ratu Vaidehi, Raja Bimbisara memiliki anak, yaitu Ajatasattu. Ketika Ajatasattu dewasa, ia dihasut oleh Devadatta untuk menggulingkan Raja Bimbisara. Raja Bimbisara ditangkap, disiksa dan akhirnya mati. Dengan latar belakang kejadian ini, Ratu Vaidehi memohon Sang Buddha untuk mengutus murid Beliau untuk mengajarkan Dharma. Ketika Sang Buddha datang menampakkan diri, Ratu Vaidehi bertanya, dimanakah terdapat alam yang tiada kejahatan dan bagaimana dapat ke sana. Kemudian Sang Buddha menjelaskan panjang lebar metode meditasi yang digunakan. Kejadian ini terdapat di dalam Amitayur Dhyana Sutra. Di sutra ini dijelaskan bagaimana meditasi untuk lahir di alam Buddha Amitabha). (Sutra ini termasuk aliran Mahayana)
Selain itu Raja Bimbisara juga memiliki anak bersama pelacur Ambapali dari Vesali, anaknya bernama Vimala Kondanna yang menjadi bhikkhu setelah kunjungan Buddha ke Vesali dan mencapai kearahatan segera sesudahnya. Mendengar khotbah Vimala Kondanna, Ambapali memasuki sangha bhikkhuni dan kemudian mencapai arahat juga.
(347) Mereka yang bergembira dengan nafsu indria,
akan jatuh ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri.
Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Ratu Khema merupakan istri utama dari Raja Bimbisara. Ia sangat cantik dan sangat bangga akan kecantikannya. Raja menginginkannya untuk pergi ke Vihara Veluvana dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha selalu berbicara meremehkan kecantikan, dan karenanya ia mencoba untuk menghindari berjumpa dengan Sang Buddha. Raja mengerti sikapnya terhadap Sang Buddha, ia juga tahu betapa bangganya ratu pada kecantikannya. Kemudian raja memerintahkan grup musiknya untuk menyanyikan lagu pujian tentang Vihara Veluvana, tentang tempatnya yang menyenangkan dan suasananya yang damai, dan sebagainya. Mendengar hal itu, Ratu Khema menjadi tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Vihara Veluvana.
Ketika Ratu Khema tiba di vihara, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada para pendengar. Dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, Sang Buddha membuat penampakan seorang gadis muda yang sangat cantik muncul, duduk tidak jauh dari Beliau, dan sedang mengipasi Sang Buddha. Ketika Ratu Khema datang di ruang pertemuan, hanya ia sendiri yang melihat gadis cantik tersebut. Membandingkan kecantikannya yang luar biasa dari gadis tersebut dengan kecantikannya, Khema menyadari bahwa kecantikannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan gadis tersebut. Ketika Ratu memperhatikan dengan seksama gadis tersebut, tiba-tiba kecantikan gadis itu mulai memudar sedikit demi sedikit. Akhirnya Ratu melihat seorang wanita tua jompo, yang kemudian berubah menjadi mayat, tubuhnya yang berbau busuk diserang belatung. Segera pada saat itu, ratu Khema menyadari ketidak-kekalan dan ketidak-berhargaan kecantikannya.
Sang Buddha mengetahui keadaan pikiran Ratu Khema, kemudian Beliau berkata, "O Khema! Lihatlah baik-baik pada tubuh lapuk ini yang terbalut di sekitar kerangka tulang, dan merupakan sasaran penyakit dan kelapukan. Lihatlah baik-baik tubuh ini yang dihargai sedemikian tinggi oleh orang bodoh. Lihatlah pada ketidak-berhargaan kecantikan gadis muda ini." Setelah mendengar hal itu, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Ye rāgarattānupatanti sotaṃ
sayaṃkataṃ makkaṭako va jālaṃ
etam pi chetvāna vajanti dhīrā
anapekhino sabbadukkhaṃ pahāya."
Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri.
Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meniggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Raja, “Oh Raja, Khema harus meninggalkan keduniawian, atau memasuki Nibbana”. Raja menjawab, “Bhante, terimalah ia dalam Sangha; sedangkan Nibbana, jangan!”.
Khema kemudian masuk dalam pasamuan bhikkhuni serta menjadi Siswa Utama wanita Sang Buddha.
--------
Notes :
* Bhikkhu Siswa Utama adalah Moggalana & Sariputta, dan bhikkhuni siswa utama adalah Khema & Uppalavana.
Diatas, dikatakan jika telah mencapai arahat, harus meninggalkan kehidupan duniawi atau merealisasi Nibbana (maksudnya meninggal dunia). Hal ini dikarenakan tidak mungkin lagi seorang arahat menjalani kehidupan duniawi. Sudah tidak cocok lagi, cara pandang, sikap dll. Coba perhatikan cerita-cerita lainnya, semua yang mencapai arahat kalau tidak menjadi bhikkhu/ni, maka ia akan meninggal tidak lama kemudian. Misalnya menteri Santati (kisah no. 142), Bahiya (kisah no.101), Brahmana dan isterinya (dua orang) di kisah no.225, dan juga Raja Suddhodana ayah pangeran Siddhartha yang meninggal segera setelah mencapai arahat (ThigA.141). Tidak ada yang hidup terus sebagai umat perumah tangga. Yang tercatat masih tetap hidup berumah tangga, maksimum hanya anagami.
Biasanya kalau bukan anggota Sangha tetapi mencapai arahat setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka segera masuk dalam persamuan Sangha. Contohnya Jambuka (kisah 70), Uggasena (kisah 348), Khema (kisah 347), Samanera dari Kosambi (kisah 96), Aggidatta dan semua pengikutnya (kisah 188-192)
Dalam hal ini karena Khema adalah seorang ratu dan masih memiliki suami, tentunya dia tidak leluasa memutuskan sendiri, hingga Buddha menanyakannya kepada Raja.
Pada masa Buddha Padumuttara, Khema adalah seorang budak. Ia menjual rambutnya untuk memberi dana makanan kepada Buddha Padumuttara, dan melihat murid utama wanita Sujata, ia bertekad untuk menjadi murid utama wanita Buddha yang akan datang. Sejak saat itu ia bekerja keras untuk memenuhi tekad itu.
Pada masa Buddha Kassapa, ia bernama Samani, putri tertua dari Kiki, Raja Benares. Bersama dengan saudari-saudarinya ia menjalani hidup selibat selama 20 ribu tahun dan membangun vihara untuk Buddha. Ia mempelajari Mahanidana Sutta setelah mendengar Buddha membabarkannya.
Pada masa Buddha Vipassi ia menjadi seorang bhikkhuni pembabar Dhamma yang terkenal. Dan pada masa Buddha Kakusandha dan Konagamana, ia juga membangun vihara untuk Buddha dan para bhikkhu.
Demikian sejarah kehidupan-kehidupan Ratu Khema di masa lalu, beliau telah banyak memupuk kebajikan dan juga terpelajar dalam Dhamma, karena inilah maka hanya dengan satu khotbah bahkan masih dalam status umat awam, beliau dapat mencapai tingkat kesucian arahat.
Raja Bimbisara adalah Raja di kerajaan Magadha, memiliki beberapa orang ratu/istri yaitu
- Ratu Khema, tidak disebutkan ia memiliki anak.
- Padumavati dari Ujjeni, dengannya mempunyai putra bernama Abhayakumara
- Ratu Kosaladevi / Ratu Vaidehi, saudari Raja Pasenadi dari Kosala.
Dengan ratu Vaidehi, Raja Bimbisara memiliki anak, yaitu Ajatasattu. Ketika Ajatasattu dewasa, ia dihasut oleh Devadatta untuk menggulingkan Raja Bimbisara. Raja Bimbisara ditangkap, disiksa dan akhirnya mati. Dengan latar belakang kejadian ini, Ratu Vaidehi memohon Sang Buddha untuk mengutus murid Beliau untuk mengajarkan Dharma. Ketika Sang Buddha datang menampakkan diri, Ratu Vaidehi bertanya, dimanakah terdapat alam yang tiada kejahatan dan bagaimana dapat ke sana. Kemudian Sang Buddha menjelaskan panjang lebar metode meditasi yang digunakan. Kejadian ini terdapat di dalam Amitayur Dhyana Sutra. Di sutra ini dijelaskan bagaimana meditasi untuk lahir di alam Buddha Amitabha). (Sutra ini termasuk aliran Mahayana)
Selain itu Raja Bimbisara juga memiliki anak bersama pelacur Ambapali dari Vesali, anaknya bernama Vimala Kondanna yang menjadi bhikkhu setelah kunjungan Buddha ke Vesali dan mencapai kearahatan segera sesudahnya. Mendengar khotbah Vimala Kondanna, Ambapali memasuki sangha bhikkhuni dan kemudian mencapai arahat juga.
Labels:
24. Tanha Vagga
Tuesday, 27 April 2010
Kisah Uggasena (Dhammapada 24 : 348)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(348) Tinggalkan apa yang telah lalu,
yang akan datang maupun sekarang
(kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan)
dan capailah "Pantai Seberang" (nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu,
maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.
Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat maka ia tidak begitu berguna bagi rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.
Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini : "O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!" Uggasena mendengar lagu itu, ia mengetahui bahwa istrinya membicarakan tentang dirinya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.
Kemudian, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum tujuh hari yang akan datang. Pada hari ketujuh, sebatang galah yang panjang dipasang, dan Uggasena berdiri di atasnya. Setelah diberi aba-aba, ia pun berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu.
Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha memasuki kota Rajagaha, beliau meniatkan agar para penonton mengalihkan perhatiannya kepada Beliau dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.
Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Muñca pure muñca pacchato
majjhe muñca bhavassa pāragū,
sabbattha vimuttamānaso
na punañ jātijaraṃ upehisi."
Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun sekarang
(kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan)
dan capailah "Pantai Seberang" (nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu,
maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.
(348) Tinggalkan apa yang telah lalu,
yang akan datang maupun sekarang
(kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan)
dan capailah "Pantai Seberang" (nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu,
maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.
Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat maka ia tidak begitu berguna bagi rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.
Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini : "O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!" Uggasena mendengar lagu itu, ia mengetahui bahwa istrinya membicarakan tentang dirinya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.
Kemudian, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum tujuh hari yang akan datang. Pada hari ketujuh, sebatang galah yang panjang dipasang, dan Uggasena berdiri di atasnya. Setelah diberi aba-aba, ia pun berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu.
Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha memasuki kota Rajagaha, beliau meniatkan agar para penonton mengalihkan perhatiannya kepada Beliau dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.
Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Muñca pure muñca pacchato
majjhe muñca bhavassa pāragū,
sabbattha vimuttamānaso
na punañ jātijaraṃ upehisi."
Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun sekarang
(kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan)
dan capailah "Pantai Seberang" (nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu,
maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.
Labels:
24. Tanha Vagga
Monday, 26 April 2010
Kisah Culadhanuggaha, Pemanah yang Trampil (Dhammapada 24 : 349-350)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(349) Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu,
dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja,
maka nafsu keinginannya akan terus bertambah.
Sesungguhnya orang seperti itu memperkuat ikatan belenggunya sendiri .
(350) Orang yang bergembira dalam menenangkan pikirannya, dan selalu sadar
tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai objek perenungan dalam samadhi)
maka ia akan mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya
dan menghancurkan belenggu Mara.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika seorang bhikkhu muda menerima dana makanan pada salah satu tempat berteduh yang khusus dibuat untuk para bhikkhu di dalam kota. Setelah makan ia merasa ingin minum. Ia pergi ke suatu rumah dan meminta air minum, seorang gadis keluar untuk memberinya air minum. Begitu melihat bhikkhu muda tersebut, gadis itu jatuh cinta kepadanya. “Bhante,” kata gadis itu, “jika lain kali membutuhkan air minum, datanglah kemari, jangan pergi ke tempat lain.”.
Setelah itu, setiap kali bhikkhu itu tidak mendapat air minum, ia pergi ke rumah gadis itu. Gadis itu akan mengambil mangkuknya dan memberinya air minum. Sejalan dengan waktu lama kelamaan gadis itu juga memberinya bubur nasi. Dan suatu hari gadis itu menyediakan tempat duduk untuk bhikkhu itu dan memberinya nasi. Kemudian gadis itu duduk di sebelah bhikkhu itu dan mulai mengajak berbicara, ia berkata, “Bhante, sangat sepi sekali di rumah ini; kami jarang sekali melihat orang, bahkan melihat pengembara”.
Setelah mendengarkan obrolan gadis itu selama beberapa hari, bhikkhu muda itu menjadi tidak puas akan kehidupannya sebagai bhikkhu. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain mengunjunginya, dan menanyakan keadaannya, ia mengatakan bahwa ia tidak puas. Maka merekapun membawanya kepada Sang Buddha dan melaporkan masalahnya.
Sang Buddha memanggil bhikkhu muda tersebut, dan berkata padanya, "Anak-Ku, dengarkan Aku. Gadis muda ini akan menyebabkan keruntuhanmu seperti yang telah dia lakukan padamu dalam kehidupanmu yang lampau.
Dalam salah satu kehidupanmu yang lampau, kamu adalah seorang pemanah yang sangat trampil dan ia adalah istrimu. Pada suatu kesempatan, ketika kamu berdua sedang dalam perjalanan, kamu bertemu dengan sekelompok bandit. Istrimu jatuh cinta dengan pemimpin kelompok itu. Ketika kamu dan pemimpin kelompok itu sedang terlibat dalam satu perkelahian, kamu berteriak pada istrimu agar memberikan pedangmu. Tetapi istrimu memberikan pedang itu pada pemimpin kelompok yang segera membunuhmu. Jadi, ia adalah penyebab kematianmu. Sekarang juga, ia akan menjadi penyebab kehancuranmu jika kamu mengikutinya dan meninggalkan pasamuan bhikkhu demi dirinya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Vitakkapamathitassa jantuno
tibbarāgassa subbhānupassino
bhiyyo taṇhā pavaḍḍhati
esa kho daḷhaṃ karoti bandhanaṃ.
Vitakkūpasame ca yo rato
asubhaṃ bhāvayatī sadā sato
esa kho vyantikāhiti
esa-ccheecchati mārabandhanaṃ."
Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu,
dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja,
maka nafsu keinginannya akan terus bertambah.
Sesungguhnya orang seperti itu memperkuat ikatan belenggunya sendiri .
Orang yang bergembira dalam menenangkan pikirannya, dan selalu sadar
tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai objek perenungan dalam samadhi)
maka ia akan mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya
dan menghancurkan belenggu Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
--------
Notes :
Kisah di masa lalu : Pemanah Muda Yang Bijaksana – Culla Dhanuggaha
Dalam kehidupan sebelumnya, bhikkhu diatas adalah seorang awam bernama Culla Dhanuggaha. Ia belajar seni dan kerajinan di Takkasila dibawah bimbingan guru terkenal. Gurunya sangat puas dengan kemajuan yang diperoleh oleh Dhanuggaha, ia menikahkan puterinya dengan Dhanuggaha. Si pemanah muda kemudian membawa isterinya menuju ke Benares.
Di dekat jalan masuk menuju hutan, ia bertemu dengan sekelompok penyamun, dan membunuh 50 penyamun dengan 50 anak panahnya. Ketika semua anak panahnya telah habis, ia menangkap pemimpin kelompok itu dan melemparnya ke tanah. “Istriku, ambilkan pedangku!” teriaknya. Tetapi, ketika istrinya melihat penyamun itu, timbul keinginan untuk memiliki penyamun itu, istrinya memberikan pegangan pedang itu ke tangan si penyamun. Penyamun itu segera membunuh si pemanah muda. Kemudian ia pergi membawa wanita itu bersamanya.
Dalam perjalanan, si penyamun berpikir, “Andai perempuan ini bertemu dengan laki-laki lain, ia akan membunuhku juga seperti yang dilakukannya terhadap suaminya itu. Apa gunanya perempuan seperti ini.” Ketika melihat sebuah sungai, si penyamun meninggalkan wanita itu di tepi sungai, mengambil semua perhiasan wanita itu, dan berkata, “Tunggu disini, sampai aku membawa perhiasanmu menyeberangi sungai.” Dan si penyamun itupun pergi menyeberang meninggalkan wanita itu disana.
Ketika wanita itu menyadari bahwa si penyamun telah meninggalkannya, ia berkata “Brahmana, engkau telah mengambil perhiasanku dan menyeberang ke sana. Kembalilah cepat, segera; sekarang bawalah aku juga ke seberang.” Penyamun itu menjawab, “Perempuan, kamu telah menukar suami yang telah kamu kenal lama dengan aku, suami yang engkau tidak kenal; engkau telah menukar suami yang telah kau ujicoba dengan suami yang belum kau ujicoba. Oh perempuan, kamu akan menukar aku dengan laki-laki lain. Karenanya aku akan pergi jauh-jauh darimu.”
Dewa Sakka, mengetahui kejadian itu, dan berkeingingan memberi pelajaran, menuju ke sungai itu bersama kusir dan pemusik pengiringnya. Sakka mengubah bentuk menjadi serigala, kusirnya menjadi ikan, dan pemusiknya menjadi burung. Serigala itu menggigit daging di mulutnya berdiri di depan perempuan itu. Kemudian ikan jelmaan si kusir meloncat di udara keluar dari air, dan serigala itu meloncat kemuka mencoba menerkam ikan itu, sambil menjatuhkan potongan daging di mulutnya. Burung jelmaan si pemusik menyambar potongan daging dan terbang ke udara. Sementara si ikan selamat kembali ke dalam air. Serigala itu kehilangan keduanya, ikan dan potongan daging.
Perempuan itu tertawa keras melihat kejadian itu, menertawakan si serigala yang kini kehilangan ikan dan daging. Serigala itu kemudian berkata, “Sangat mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi sulit melihat kebodohan diri sendiri. Kamu telah kehilangan suami dan juga kekasih. Aku yakin engkaupun merana.”
Wanita itu berkata, “Engkau berkata benar, mulai sekarang aku akan mematuhi suami”.
Serigala itu mengucapkan syair, “Ia yang mencuri pot tanah liat juga akan mencuri pot dari tembaga. Kamu telah melakukan kejahatan, kamu akan melakukannya lagi”.
Setelah menceritakan Culla Dhanuggaha Jataka ini, Sang Buddha berkata kepada bhikkhu muda tersebut, “Pada waktu itu, engkaulah Dhanuggaha si pemanah muda, isteri Dhanuggaha adalah si gadis muda itu, dan Dewa Sakka itu adalah aku.
(349) Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu,
dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja,
maka nafsu keinginannya akan terus bertambah.
Sesungguhnya orang seperti itu memperkuat ikatan belenggunya sendiri .
(350) Orang yang bergembira dalam menenangkan pikirannya, dan selalu sadar
tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai objek perenungan dalam samadhi)
maka ia akan mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya
dan menghancurkan belenggu Mara.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika seorang bhikkhu muda menerima dana makanan pada salah satu tempat berteduh yang khusus dibuat untuk para bhikkhu di dalam kota. Setelah makan ia merasa ingin minum. Ia pergi ke suatu rumah dan meminta air minum, seorang gadis keluar untuk memberinya air minum. Begitu melihat bhikkhu muda tersebut, gadis itu jatuh cinta kepadanya. “Bhante,” kata gadis itu, “jika lain kali membutuhkan air minum, datanglah kemari, jangan pergi ke tempat lain.”.
Setelah itu, setiap kali bhikkhu itu tidak mendapat air minum, ia pergi ke rumah gadis itu. Gadis itu akan mengambil mangkuknya dan memberinya air minum. Sejalan dengan waktu lama kelamaan gadis itu juga memberinya bubur nasi. Dan suatu hari gadis itu menyediakan tempat duduk untuk bhikkhu itu dan memberinya nasi. Kemudian gadis itu duduk di sebelah bhikkhu itu dan mulai mengajak berbicara, ia berkata, “Bhante, sangat sepi sekali di rumah ini; kami jarang sekali melihat orang, bahkan melihat pengembara”.
Setelah mendengarkan obrolan gadis itu selama beberapa hari, bhikkhu muda itu menjadi tidak puas akan kehidupannya sebagai bhikkhu. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain mengunjunginya, dan menanyakan keadaannya, ia mengatakan bahwa ia tidak puas. Maka merekapun membawanya kepada Sang Buddha dan melaporkan masalahnya.
Sang Buddha memanggil bhikkhu muda tersebut, dan berkata padanya, "Anak-Ku, dengarkan Aku. Gadis muda ini akan menyebabkan keruntuhanmu seperti yang telah dia lakukan padamu dalam kehidupanmu yang lampau.
Dalam salah satu kehidupanmu yang lampau, kamu adalah seorang pemanah yang sangat trampil dan ia adalah istrimu. Pada suatu kesempatan, ketika kamu berdua sedang dalam perjalanan, kamu bertemu dengan sekelompok bandit. Istrimu jatuh cinta dengan pemimpin kelompok itu. Ketika kamu dan pemimpin kelompok itu sedang terlibat dalam satu perkelahian, kamu berteriak pada istrimu agar memberikan pedangmu. Tetapi istrimu memberikan pedang itu pada pemimpin kelompok yang segera membunuhmu. Jadi, ia adalah penyebab kematianmu. Sekarang juga, ia akan menjadi penyebab kehancuranmu jika kamu mengikutinya dan meninggalkan pasamuan bhikkhu demi dirinya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Vitakkapamathitassa jantuno
tibbarāgassa subbhānupassino
bhiyyo taṇhā pavaḍḍhati
esa kho daḷhaṃ karoti bandhanaṃ.
Vitakkūpasame ca yo rato
asubhaṃ bhāvayatī sadā sato
esa kho vyantikāhiti
esa-ccheecchati mārabandhanaṃ."
Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu,
dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja,
maka nafsu keinginannya akan terus bertambah.
Sesungguhnya orang seperti itu memperkuat ikatan belenggunya sendiri .
Orang yang bergembira dalam menenangkan pikirannya, dan selalu sadar
tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai objek perenungan dalam samadhi)
maka ia akan mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya
dan menghancurkan belenggu Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
--------
Notes :
Kisah di masa lalu : Pemanah Muda Yang Bijaksana – Culla Dhanuggaha
Dalam kehidupan sebelumnya, bhikkhu diatas adalah seorang awam bernama Culla Dhanuggaha. Ia belajar seni dan kerajinan di Takkasila dibawah bimbingan guru terkenal. Gurunya sangat puas dengan kemajuan yang diperoleh oleh Dhanuggaha, ia menikahkan puterinya dengan Dhanuggaha. Si pemanah muda kemudian membawa isterinya menuju ke Benares.
Di dekat jalan masuk menuju hutan, ia bertemu dengan sekelompok penyamun, dan membunuh 50 penyamun dengan 50 anak panahnya. Ketika semua anak panahnya telah habis, ia menangkap pemimpin kelompok itu dan melemparnya ke tanah. “Istriku, ambilkan pedangku!” teriaknya. Tetapi, ketika istrinya melihat penyamun itu, timbul keinginan untuk memiliki penyamun itu, istrinya memberikan pegangan pedang itu ke tangan si penyamun. Penyamun itu segera membunuh si pemanah muda. Kemudian ia pergi membawa wanita itu bersamanya.
Dalam perjalanan, si penyamun berpikir, “Andai perempuan ini bertemu dengan laki-laki lain, ia akan membunuhku juga seperti yang dilakukannya terhadap suaminya itu. Apa gunanya perempuan seperti ini.” Ketika melihat sebuah sungai, si penyamun meninggalkan wanita itu di tepi sungai, mengambil semua perhiasan wanita itu, dan berkata, “Tunggu disini, sampai aku membawa perhiasanmu menyeberangi sungai.” Dan si penyamun itupun pergi menyeberang meninggalkan wanita itu disana.
Ketika wanita itu menyadari bahwa si penyamun telah meninggalkannya, ia berkata “Brahmana, engkau telah mengambil perhiasanku dan menyeberang ke sana. Kembalilah cepat, segera; sekarang bawalah aku juga ke seberang.” Penyamun itu menjawab, “Perempuan, kamu telah menukar suami yang telah kamu kenal lama dengan aku, suami yang engkau tidak kenal; engkau telah menukar suami yang telah kau ujicoba dengan suami yang belum kau ujicoba. Oh perempuan, kamu akan menukar aku dengan laki-laki lain. Karenanya aku akan pergi jauh-jauh darimu.”
Dewa Sakka, mengetahui kejadian itu, dan berkeingingan memberi pelajaran, menuju ke sungai itu bersama kusir dan pemusik pengiringnya. Sakka mengubah bentuk menjadi serigala, kusirnya menjadi ikan, dan pemusiknya menjadi burung. Serigala itu menggigit daging di mulutnya berdiri di depan perempuan itu. Kemudian ikan jelmaan si kusir meloncat di udara keluar dari air, dan serigala itu meloncat kemuka mencoba menerkam ikan itu, sambil menjatuhkan potongan daging di mulutnya. Burung jelmaan si pemusik menyambar potongan daging dan terbang ke udara. Sementara si ikan selamat kembali ke dalam air. Serigala itu kehilangan keduanya, ikan dan potongan daging.
Perempuan itu tertawa keras melihat kejadian itu, menertawakan si serigala yang kini kehilangan ikan dan daging. Serigala itu kemudian berkata, “Sangat mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi sulit melihat kebodohan diri sendiri. Kamu telah kehilangan suami dan juga kekasih. Aku yakin engkaupun merana.”
Wanita itu berkata, “Engkau berkata benar, mulai sekarang aku akan mematuhi suami”.
Serigala itu mengucapkan syair, “Ia yang mencuri pot tanah liat juga akan mencuri pot dari tembaga. Kamu telah melakukan kejahatan, kamu akan melakukannya lagi”.
Setelah menceritakan Culla Dhanuggaha Jataka ini, Sang Buddha berkata kepada bhikkhu muda tersebut, “Pada waktu itu, engkaulah Dhanuggaha si pemanah muda, isteri Dhanuggaha adalah si gadis muda itu, dan Dewa Sakka itu adalah aku.
Labels:
24. Tanha Vagga
Sunday, 25 April 2010
Kisah Mara (Dhammapada 24: 351-352)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(351) Orang yang telah mencapai tujuan akhir,
tidak lagi mempunyai rasa takut, noda batin serta nafsu keinginan,
sesungguhnyalah ia telah mematahkan ruji-ruji kehidupan.
Bagi orang suci seperti itu, tubuhnya merupakan tubuh yang terakhir.
(352) Orang yang telah bebas dari nafsu keinginan dan kemelekatan,
pandai dalam menganalisa serta memahami `Ajaran` beserta pasangan-pasangannya,
maka ia patut disebut seorang `Pemilik Tubuh Terakhir` (arahat),
orang yang memiliki `Kebijaksanaan Agung`, seorang manusia agung.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Pada suatu waktu, sejumlah besar bhikkhu tiba di Vihara Jetavana. Untuk memberi tempat menginap bagi para bhikkhu tamu, Samanera Rahula harus pergi dan tidur dekat pintu, tepat di luar kamar Sang Buddha. Mara ingin mengganggu Sang Buddha melalui putranya, ia mengubah badan menjadi gajah, dan membelit kepala samanera itu dengan belalainya serta membuat suara keras dengan harapan untuk menakut-nakutinya. Tetapi Rahula tidak bergerak. Sang Buddha dari kamar-Nya mengetahui apa yang sedang terjadi dan berkata, "O, Mara licik! Bahkan seratus sepertimu tidak akan mampu menakut-nakuti anakKu. AnakKu tidak takut, ia bebas dari nafsu, ia waspada, dan ia bijaksana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Niṭṭhaṅgato asantāsī vītataṇho anaṅgaṇo
acchidda bhavasallāni antimo ‘yaṃ samussayo.
Vītataṇho anādāno niruttipadakovido
akkharānaṃ sannipātaṃ jaññā pubbāparāni ca
sa ve antimasārīro mahāpañño mahāpuriso ti vuccati."
Orang yang telah mencapai tujuan akhir,
tidak lagi mempunyai rasa takut,
noda batin serta nafsu keinginan,
sesungguhnyalah ia telah mematahkan ruji-ruji kehidupan.
Bagi orang suci seperti itu,
tubuhnya merupakan tubuh yang terakhir.
Orang yang telah bebas dari nafsu keinginan dan kemelekatan,
pandai dalam menganalisa serta memahami `Ajaran` beserta pasangan-pasangannya,
maka ia patut disebut seorang `Pemilik Tubuh Terakhir` (arahat),
orang yang memiliki `Kebijaksanaan Agung`, seorang manusia agung.
Mendengar kata-kata di atas, Mara menyadari bahwa Sang Buddha mengetahui tipu muslihatnya dan segera menghilang.
(351) Orang yang telah mencapai tujuan akhir,
tidak lagi mempunyai rasa takut, noda batin serta nafsu keinginan,
sesungguhnyalah ia telah mematahkan ruji-ruji kehidupan.
Bagi orang suci seperti itu, tubuhnya merupakan tubuh yang terakhir.
(352) Orang yang telah bebas dari nafsu keinginan dan kemelekatan,
pandai dalam menganalisa serta memahami `Ajaran` beserta pasangan-pasangannya,
maka ia patut disebut seorang `Pemilik Tubuh Terakhir` (arahat),
orang yang memiliki `Kebijaksanaan Agung`, seorang manusia agung.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Pada suatu waktu, sejumlah besar bhikkhu tiba di Vihara Jetavana. Untuk memberi tempat menginap bagi para bhikkhu tamu, Samanera Rahula harus pergi dan tidur dekat pintu, tepat di luar kamar Sang Buddha. Mara ingin mengganggu Sang Buddha melalui putranya, ia mengubah badan menjadi gajah, dan membelit kepala samanera itu dengan belalainya serta membuat suara keras dengan harapan untuk menakut-nakutinya. Tetapi Rahula tidak bergerak. Sang Buddha dari kamar-Nya mengetahui apa yang sedang terjadi dan berkata, "O, Mara licik! Bahkan seratus sepertimu tidak akan mampu menakut-nakuti anakKu. AnakKu tidak takut, ia bebas dari nafsu, ia waspada, dan ia bijaksana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Niṭṭhaṅgato asantāsī vītataṇho anaṅgaṇo
acchidda bhavasallāni antimo ‘yaṃ samussayo.
Vītataṇho anādāno niruttipadakovido
akkharānaṃ sannipātaṃ jaññā pubbāparāni ca
sa ve antimasārīro mahāpañño mahāpuriso ti vuccati."
Orang yang telah mencapai tujuan akhir,
tidak lagi mempunyai rasa takut,
noda batin serta nafsu keinginan,
sesungguhnyalah ia telah mematahkan ruji-ruji kehidupan.
Bagi orang suci seperti itu,
tubuhnya merupakan tubuh yang terakhir.
Orang yang telah bebas dari nafsu keinginan dan kemelekatan,
pandai dalam menganalisa serta memahami `Ajaran` beserta pasangan-pasangannya,
maka ia patut disebut seorang `Pemilik Tubuh Terakhir` (arahat),
orang yang memiliki `Kebijaksanaan Agung`, seorang manusia agung.
Mendengar kata-kata di atas, Mara menyadari bahwa Sang Buddha mengetahui tipu muslihatnya dan segera menghilang.
Labels:
24. Tanha Vagga
Saturday, 24 April 2010
Kisah Upaka (Dhammapada 24 :353)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(353) Aku telah mengalahkan semuanya.
Aku telah mengetahui semuanya.
Aku telah bebas dari semuanya.
Aku telah meninggalkan semuanya.
Setelah menghancurkan nafsu keinginan,
Aku benar-benar bebas.
Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri,
maka siapakah yang patut Kusebut Guru?
---------------------------------------------------------------------------------------------
Sang Buddha membabarkan syair 353 Kitab Suci Dhammapada, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Upaka, petapa bukan Buddhis, ketika Sang Buddha sedang berjalan menuju Taman Rusa (Migadaya) tempat Kelompok Lima Bhikkhu (Panca Vaggi) sedang berdiam. Sang Buddha menuju ke sana untuk membabarkan Dhammacakkappavattana Sutta pada Panca Vaggi itu, mitra lamanya, yaitu Kondana, Bhaddiya, Vappa, Assaji, dan Mahanama.
Ketika Upaka melihat Sang Buddha Gotama, ia sangat terkesan dengan pancaran sinar wajah Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, "Kawan, Anda terlihat tenang dan murni; bolehkah saya tahu siapa guru Anda?" Kepadanya, Sang Buddha menjawab bahwa Beliau tidak mempunyai guru.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Sabbābhibhū sabbavidū ‘ham asmi
sabbesu dhammesu anūpalitto
sabbañjaho taṇhakkhaye vimutto
sayaṃ abhiññāya kam uddiseyyaṃ."
Aku telah mengalahkan semuanya, Aku telah mengetahui semuanya.
Aku telah bebas dari semuanya, Aku telah meninggalkan semuanya.
Setelah menghancurkan nafsu keinginan, Aku benar-benar bebas.
Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri, maka siapakah yang patut Ku-sebut Guru?
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Upaka tidak memperlihatkan penerimaan ataupun penolakan, tetapi hanya menggeleng beberapa kali dan pergi.
----------
Notes :
Upaka menanyakan kepada Buddha mengenai pencapaianNya, ketika Sang Buddha mengatakan apa yang telah dicapaiNya, Upaka menayakan apakah Beliau adalah “Anantajina” (jina = penakluk, ananta = tidak terbatas), dan Sang Buddha mengiyakan. Upaka menggelengkan kepala, berkata “Mungkin demikian” dan kemudian meneruskan perjalannya.
Dikatakan (DA.ii.471) bahwa Sang Buddha berjalan kaki dari pohon Bodhi ke Isipatana – alih-alih terbang melalui udara seperti kebiasaan para Buddha sebelumnya ketika hendak memutar roda dhamma pertama kali – karena Beliau ingin bertemu Upaka.
Setelah pertemuan ini Upaka menuju Vankahara untuk bertapa disana, tetapi kemudian jatuh cinta kepada Capa, puteri seorang pemburu yang menjadi pendukungnya. Upaka tidak mau makan selama 7 hari dan akhirnya pemburu itu mengawinkan Upaka dengan Capa. Karena Upaka tidak memiliki keterampilan, ia hanya membantu-bantu si pemburu menjualkan hasil buruan, karenanya sering dihina oleh Capa. Ketika anak mereka menangis, Capa akan menyanyi, “Oh anak Upaka, anak penjual hasil buruan, jangan menangis”. Upaka kesal sekali dan berkata bahwa ia punya teman yang sangat hebat yang bernama Anantajina, tetapi Capa tidak berhenti menghinanya. Akhirnya Upaka pun pergi meninggalkan Capa dan anaknya, mencari ‘Anantajina’ pergi ke Savatthi.
Sang Buddha mengetahui Upaka datang mencarinya, berpesan kepada orang-orang, jika ada orang yang mencari Anantajina, supaya dibawa kepadaNya. Setelah mendengar cerita Upaka, Sang Buddha kemudian menahbiskannya sebagai bhikkhu dan mengajarkan Upaka meditasi. Upaka kemudian berhasil mencapai tingkat kesucian Anagami dan kemudian terlahir di surga Aviha. Menurut kitab komentar Majjhima (i.389) Upaka menjadi arahat segera setelah terlahir di Aviha.
Belakangan, Capa juga kemudian menjadi bhikkhuni, dan mencapai Arahat.
(353) Aku telah mengalahkan semuanya.
Aku telah mengetahui semuanya.
Aku telah bebas dari semuanya.
Aku telah meninggalkan semuanya.
Setelah menghancurkan nafsu keinginan,
Aku benar-benar bebas.
Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri,
maka siapakah yang patut Kusebut Guru?
---------------------------------------------------------------------------------------------
Sang Buddha membabarkan syair 353 Kitab Suci Dhammapada, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Upaka, petapa bukan Buddhis, ketika Sang Buddha sedang berjalan menuju Taman Rusa (Migadaya) tempat Kelompok Lima Bhikkhu (Panca Vaggi) sedang berdiam. Sang Buddha menuju ke sana untuk membabarkan Dhammacakkappavattana Sutta pada Panca Vaggi itu, mitra lamanya, yaitu Kondana, Bhaddiya, Vappa, Assaji, dan Mahanama.
Ketika Upaka melihat Sang Buddha Gotama, ia sangat terkesan dengan pancaran sinar wajah Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, "Kawan, Anda terlihat tenang dan murni; bolehkah saya tahu siapa guru Anda?" Kepadanya, Sang Buddha menjawab bahwa Beliau tidak mempunyai guru.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Sabbābhibhū sabbavidū ‘ham asmi
sabbesu dhammesu anūpalitto
sabbañjaho taṇhakkhaye vimutto
sayaṃ abhiññāya kam uddiseyyaṃ."
Aku telah mengalahkan semuanya, Aku telah mengetahui semuanya.
Aku telah bebas dari semuanya, Aku telah meninggalkan semuanya.
Setelah menghancurkan nafsu keinginan, Aku benar-benar bebas.
Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri, maka siapakah yang patut Ku-sebut Guru?
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Upaka tidak memperlihatkan penerimaan ataupun penolakan, tetapi hanya menggeleng beberapa kali dan pergi.
----------
Notes :
Upaka menanyakan kepada Buddha mengenai pencapaianNya, ketika Sang Buddha mengatakan apa yang telah dicapaiNya, Upaka menayakan apakah Beliau adalah “Anantajina” (jina = penakluk, ananta = tidak terbatas), dan Sang Buddha mengiyakan. Upaka menggelengkan kepala, berkata “Mungkin demikian” dan kemudian meneruskan perjalannya.
Dikatakan (DA.ii.471) bahwa Sang Buddha berjalan kaki dari pohon Bodhi ke Isipatana – alih-alih terbang melalui udara seperti kebiasaan para Buddha sebelumnya ketika hendak memutar roda dhamma pertama kali – karena Beliau ingin bertemu Upaka.
Setelah pertemuan ini Upaka menuju Vankahara untuk bertapa disana, tetapi kemudian jatuh cinta kepada Capa, puteri seorang pemburu yang menjadi pendukungnya. Upaka tidak mau makan selama 7 hari dan akhirnya pemburu itu mengawinkan Upaka dengan Capa. Karena Upaka tidak memiliki keterampilan, ia hanya membantu-bantu si pemburu menjualkan hasil buruan, karenanya sering dihina oleh Capa. Ketika anak mereka menangis, Capa akan menyanyi, “Oh anak Upaka, anak penjual hasil buruan, jangan menangis”. Upaka kesal sekali dan berkata bahwa ia punya teman yang sangat hebat yang bernama Anantajina, tetapi Capa tidak berhenti menghinanya. Akhirnya Upaka pun pergi meninggalkan Capa dan anaknya, mencari ‘Anantajina’ pergi ke Savatthi.
Sang Buddha mengetahui Upaka datang mencarinya, berpesan kepada orang-orang, jika ada orang yang mencari Anantajina, supaya dibawa kepadaNya. Setelah mendengar cerita Upaka, Sang Buddha kemudian menahbiskannya sebagai bhikkhu dan mengajarkan Upaka meditasi. Upaka kemudian berhasil mencapai tingkat kesucian Anagami dan kemudian terlahir di surga Aviha. Menurut kitab komentar Majjhima (i.389) Upaka menjadi arahat segera setelah terlahir di Aviha.
Belakangan, Capa juga kemudian menjadi bhikkhuni, dan mencapai Arahat.
Labels:
24. Tanha Vagga
Friday, 23 April 2010
Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Sakka (Dhammapada 24 : 354)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(354) Pemberian `Kebenaran` (Dhamma) mengalahkan semua pemberian lainnya;
rasa `Kebenaran` (Dhamma) mengalahkan semua rasa lainnya;
kegembiraan dalam `Kebenaran` (Dhamma) mengalahkan semua kegembiraan lainnya.
Orang yang telah menghancurkan nafsu keinginan akan mengalahkan semua penderitaan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam suatu pertemuan para dewa si surga Tavatimsa, empat pertanyaan diajukan, tetapi para dewa gagal memperoleh jawaban yang benar. Akhirnya, Sakka membawa para dewa tersebut menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Setelah menjelaskan kesulitan mereka, Sakka mengajukan empat pertanyaan berikut :
a. Di antara semua pemberian, manakah yang terbaik ?
b. Di antara semua rasa, manakah yang terbaik ?
c. Di antara semua kegembiraan, manakah yang terbaik ?
d. Mengapa penghancuran nafsu dikatakan yang paling unggul ?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, "O Sakka, Dhamma adalah termulia dari semua pemberian, terbaik dari semua rasa, dan terbaik dari semua kegembiraan. Penghancuran nafsu untuk mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu terunggul dari segala penaklukan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Sabbadānaṃ dhammadānaṃ jināti
sabbaṃ rasaṃ dhammaraso jināti
sabbaṃ ratiṃ dhammarati jināti
taṇhakkhayo sabbadukkhaṃ jināti."
Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan semua pemberian lainnya;
rasa Kebenaran (Dhamma) mengalahkan semua rasa lainnya;
kegembiraan dalam Kebenaran (Dhamma) mengalahkan semua kegembiraan lainnya.
Orang yang telah menghancurkan nafsu keinginan akan mengalahkan semua penderitaan.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Sakka berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, jika pemberian Dhamma mengungguli semua pemberian, mengapa kami tidak diundang untuk berbagi jasa ketika pemberian Dhamma dilakukan? Bhante, saya mohon, mulai sekarang, kami diberi pembagian jasa atas perbuatan baik yang telah dilakukan." Kemudian Sang Buddha meminta semua bhikkhu untuk berkumpul dan menasehati mereka untuk membagi jasa kepada semua makhluk atas semua perbuatan baik mereka.
Sejak saat itu, menjadi suatu kebiasaan untuk mengundang semua makhluk dari tiga puluh satu alam kehidupan (bhumi) untuk datang, dan berbagi jasa kapanpun suatu perbuatan baik dilakukan.
---------
Notes :
Mengapa pemberian Dhamma adalah yang terbaik dari pemberian lainnya? Ini seperti peribahasa, “Berikan seseorang ikan, engkau memberinya makan untuk sehari. Ajari dia memancing, engkau memberinya makan selama hidupnya.”
Memberikan kail kepada orang yang kelaparan, dibanding hanya memberinya ikan (apalagi kalau cuma sekali), akan sangat bermanfaat dalam waktu yang lama. Karena dengan memiliki ketrampilan dan alat untuk mencari makan, untuk selanjutnya dia tidak akan kelaparan.
Demikian pula, memberi Dhamma adalah yang terbaik, karena dengan mendapat Dhamma dan melaksanakannya, ini seperti efek beruntun, seseorang akan dapat melakukan banyak kebajikan, dapat mengurus/menjaga dirinya sendiri, menghindari semua bahaya dan kejahatan dan pada akhirnya kelak akan mencapai Nibbana.
Demikian pula sebaliknya, mengajarkan hal yang salah juga memiliki efek beruntun yang panjang, yang berlawanan dengan mengajarkan kebenaran.
Bagaimana membagi jasa kebaikan?
Secara sederhana bisa dilakukan dengan mengucapkan (bersuara) secara bersungguh-sungguh:
- “saya membagi jasa kebajikan ini kepada ...... “ atau kepada semua makhluk
- atau bisa juga membacakan paritta Ettavata :
“Ettāvatā ca amhehi sambhataṃ puñña sampadaṃ,
Sabbe sattā anumodantu sabba sampatti siddhiyā”
(Sebanyak kebajikan yang telah dicapai dan dikumpulkan,
Semoga semua makhluk turut menikmatinya, semoga menyebabkan kebahagiaan)
Bagaimana makhluk lain mendapat bagian dari kebajikan itu?
Dengan bermudita citta, turut berbahagia dan senang atas kebajikan yang dilakukan itu, dan bisa sambil mengucapkan “Sadhu Sadhu Sadhu”
(sadhu = well done, good, yes, alright = sungguh baik, demikianlah, ya, baik sekali).
(354) Pemberian `Kebenaran` (Dhamma) mengalahkan semua pemberian lainnya;
rasa `Kebenaran` (Dhamma) mengalahkan semua rasa lainnya;
kegembiraan dalam `Kebenaran` (Dhamma) mengalahkan semua kegembiraan lainnya.
Orang yang telah menghancurkan nafsu keinginan akan mengalahkan semua penderitaan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam suatu pertemuan para dewa si surga Tavatimsa, empat pertanyaan diajukan, tetapi para dewa gagal memperoleh jawaban yang benar. Akhirnya, Sakka membawa para dewa tersebut menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Setelah menjelaskan kesulitan mereka, Sakka mengajukan empat pertanyaan berikut :
a. Di antara semua pemberian, manakah yang terbaik ?
b. Di antara semua rasa, manakah yang terbaik ?
c. Di antara semua kegembiraan, manakah yang terbaik ?
d. Mengapa penghancuran nafsu dikatakan yang paling unggul ?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, "O Sakka, Dhamma adalah termulia dari semua pemberian, terbaik dari semua rasa, dan terbaik dari semua kegembiraan. Penghancuran nafsu untuk mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu terunggul dari segala penaklukan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Sabbadānaṃ dhammadānaṃ jināti
sabbaṃ rasaṃ dhammaraso jināti
sabbaṃ ratiṃ dhammarati jināti
taṇhakkhayo sabbadukkhaṃ jināti."
Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan semua pemberian lainnya;
rasa Kebenaran (Dhamma) mengalahkan semua rasa lainnya;
kegembiraan dalam Kebenaran (Dhamma) mengalahkan semua kegembiraan lainnya.
Orang yang telah menghancurkan nafsu keinginan akan mengalahkan semua penderitaan.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Sakka berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, jika pemberian Dhamma mengungguli semua pemberian, mengapa kami tidak diundang untuk berbagi jasa ketika pemberian Dhamma dilakukan? Bhante, saya mohon, mulai sekarang, kami diberi pembagian jasa atas perbuatan baik yang telah dilakukan." Kemudian Sang Buddha meminta semua bhikkhu untuk berkumpul dan menasehati mereka untuk membagi jasa kepada semua makhluk atas semua perbuatan baik mereka.
Sejak saat itu, menjadi suatu kebiasaan untuk mengundang semua makhluk dari tiga puluh satu alam kehidupan (bhumi) untuk datang, dan berbagi jasa kapanpun suatu perbuatan baik dilakukan.
---------
Notes :
Mengapa pemberian Dhamma adalah yang terbaik dari pemberian lainnya? Ini seperti peribahasa, “Berikan seseorang ikan, engkau memberinya makan untuk sehari. Ajari dia memancing, engkau memberinya makan selama hidupnya.”
Memberikan kail kepada orang yang kelaparan, dibanding hanya memberinya ikan (apalagi kalau cuma sekali), akan sangat bermanfaat dalam waktu yang lama. Karena dengan memiliki ketrampilan dan alat untuk mencari makan, untuk selanjutnya dia tidak akan kelaparan.
Demikian pula, memberi Dhamma adalah yang terbaik, karena dengan mendapat Dhamma dan melaksanakannya, ini seperti efek beruntun, seseorang akan dapat melakukan banyak kebajikan, dapat mengurus/menjaga dirinya sendiri, menghindari semua bahaya dan kejahatan dan pada akhirnya kelak akan mencapai Nibbana.
Demikian pula sebaliknya, mengajarkan hal yang salah juga memiliki efek beruntun yang panjang, yang berlawanan dengan mengajarkan kebenaran.
Bagaimana membagi jasa kebaikan?
Secara sederhana bisa dilakukan dengan mengucapkan (bersuara) secara bersungguh-sungguh:
- “saya membagi jasa kebajikan ini kepada ...... “ atau kepada semua makhluk
- atau bisa juga membacakan paritta Ettavata :
“Ettāvatā ca amhehi sambhataṃ puñña sampadaṃ,
Sabbe sattā anumodantu sabba sampatti siddhiyā”
(Sebanyak kebajikan yang telah dicapai dan dikumpulkan,
Semoga semua makhluk turut menikmatinya, semoga menyebabkan kebahagiaan)
Bagaimana makhluk lain mendapat bagian dari kebajikan itu?
Dengan bermudita citta, turut berbahagia dan senang atas kebajikan yang dilakukan itu, dan bisa sambil mengucapkan “Sadhu Sadhu Sadhu”
(sadhu = well done, good, yes, alright = sungguh baik, demikianlah, ya, baik sekali).
Labels:
24. Tanha Vagga
Thursday, 22 April 2010
Kisah Orang Kaya Yang Tidak Memiliki Anak (Dhammapada 24 : 355)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(355) Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh,
tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari `Pantai Seberang` (nibbana).
Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan,
orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri dan orang lain.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris. Hal ini menjadikannya harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Kekayaannya berjumlah 8 juta keping emas, belum termasuk uang perak, dan membutuhkan waktu 7 hari untuk mengangkutnya ke gudang harta Raja. Kemudian Raja menceritakan perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir. Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai wujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.
Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya memberi ijin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok Beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkok makanannya. Mengetahui bahwa istrinya telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik." Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.
Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya ia mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.
Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha, ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya, ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan dan tanpa anak. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia, tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.
Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridNya. Sesungguhnya, ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Hananti bhogā dummedhaṃ no ce pāragavesino
bhogataṇhāya dummedho hanti aññe va attanaṃ."
Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh,
tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari `Pantai Seberang` (nibbana).
Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan,
orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri dan orang lain.
(355) Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh,
tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari `Pantai Seberang` (nibbana).
Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan,
orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri dan orang lain.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris. Hal ini menjadikannya harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Kekayaannya berjumlah 8 juta keping emas, belum termasuk uang perak, dan membutuhkan waktu 7 hari untuk mengangkutnya ke gudang harta Raja. Kemudian Raja menceritakan perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir. Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai wujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.
Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya memberi ijin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok Beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkok makanannya. Mengetahui bahwa istrinya telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik." Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.
Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya ia mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.
Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha, ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya, ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan dan tanpa anak. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia, tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.
Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridNya. Sesungguhnya, ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Hananti bhogā dummedhaṃ no ce pāragavesino
bhogataṇhāya dummedho hanti aññe va attanaṃ."
Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh,
tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari `Pantai Seberang` (nibbana).
Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan,
orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri dan orang lain.
Labels:
24. Tanha Vagga
Wednesday, 21 April 2010
Kisah Deva Ankura (Dhammapada 24 : 356-359)
XXIV. Tanha Vagga - Nafsu Keinginan
(356) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
nafsu indria merusak manusia.
Karena itu dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu indria
akan menghasilkan pahala yang besar.
(357) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
kebencian merusak manusia.
karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian
akan menghasilkan pahala yang besar.
(358) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
ketidak-tahuan merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidak-tahuan
akan menghasilkan pahala yang besar.
(359) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
iri hati merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari iri hati
akan menghasilkan pahala yang besar.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika Sang Buddha berkunjung ke alam dewa Tavatimsa, Sang Buddha membabarkan syair tersebut (356-359), berkenaan dengan dewa Ankura.
Pada suatu waktu, ketika Anuruddha Thera berpindapatta di suatu desa, Indaka (yang waktu itu masih sebagai manusia) memberinya sesendok makanan. Sebaliknya, dewa Ankura yang sewaktu menjadi manusia telah memberikan dana banyak sekali, keagungan dan kemegahannya kurang dari Indaka.
Kemudian Ankura menanyakan kepada Sang Buddha, apa sebab perbedaan dalam hasil perbuatan baik tersebut. Kepadanya Sang Buddha menjawab, “O dewa, ketika memberikan dana kamu seharusnya memilih kepada siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya menanam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menebarkan bibitmu di tanah yang tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Tiṇadosāni khettāni, rāgadosā ayaṃ pajā
tasmā hi vītarāgesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ
tiṇadosāni khettāni, dosadosā ayaṃ pajā
tasmā hi vītadosesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ
tiṇadosāni khettāni, mohadosā ayaṃ pajā
tasmā hi vītamohesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ
tiṇadosāni khettāni, icchādosā ayaṃ pajā
tasmā hi vīgaticchesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ.”
Rumput liar merusak sawah dan ladang; nafsu indria merusak manusia.
Karena itu dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu indria
akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merusak sawah dan ladang; kebencian merusak manusia.
karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian
akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merusak sawah dan ladang; ketidak-tahuan merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidak-tahuan
akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merusak sawah dan ladang; iri hati merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari iri hati
akan menghasilkan pahala yang besar.
----------
Notes :
Indaka hanya memberi sesendok makanan kepada Anuruddha Thera, tetapi Indaka memberikannya kepada seorang Arahat, yang telah bebas dari kekotoran batin dll, yang merupakan ladang yang subur.
Kemegahan dan keagungan para dewa ini beragam, tergantung dari besarnya kebajikan yang mereka lakukan. Makin besar keagungannya, makin terang sinar tubuhnya, dan kedudukannya pun lebih tinggi.
Biasanya, mereka duduk berdasarkan derajat keagungannya, yang paling agung duduk paling depan, dan mereka harus mundur jika ada dewa yang lebih agung darinya. Dalam kisah diatas, dikatakan Ankura pada awalnya duduk di depan dekat Sang Buddha, namun setelah dewa-dewa lain berdatangan, dewa Ankura akhirnya duduk 12 liga jauhnya dari Sang Buddha, sementara Indaka duduk di dekat Sang Buddha.
(356) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
nafsu indria merusak manusia.
Karena itu dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu indria
akan menghasilkan pahala yang besar.
(357) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
kebencian merusak manusia.
karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian
akan menghasilkan pahala yang besar.
(358) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
ketidak-tahuan merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidak-tahuan
akan menghasilkan pahala yang besar.
(359) Rumput liar merusak sawah dan ladang;
iri hati merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari iri hati
akan menghasilkan pahala yang besar.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika Sang Buddha berkunjung ke alam dewa Tavatimsa, Sang Buddha membabarkan syair tersebut (356-359), berkenaan dengan dewa Ankura.
Pada suatu waktu, ketika Anuruddha Thera berpindapatta di suatu desa, Indaka (yang waktu itu masih sebagai manusia) memberinya sesendok makanan. Sebaliknya, dewa Ankura yang sewaktu menjadi manusia telah memberikan dana banyak sekali, keagungan dan kemegahannya kurang dari Indaka.
Kemudian Ankura menanyakan kepada Sang Buddha, apa sebab perbedaan dalam hasil perbuatan baik tersebut. Kepadanya Sang Buddha menjawab, “O dewa, ketika memberikan dana kamu seharusnya memilih kepada siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya menanam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menebarkan bibitmu di tanah yang tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Tiṇadosāni khettāni, rāgadosā ayaṃ pajā
tasmā hi vītarāgesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ
tiṇadosāni khettāni, dosadosā ayaṃ pajā
tasmā hi vītadosesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ
tiṇadosāni khettāni, mohadosā ayaṃ pajā
tasmā hi vītamohesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ
tiṇadosāni khettāni, icchādosā ayaṃ pajā
tasmā hi vīgaticchesu dinnaṃ hoti mahapphalaṃ.”
Rumput liar merusak sawah dan ladang; nafsu indria merusak manusia.
Karena itu dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu indria
akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merusak sawah dan ladang; kebencian merusak manusia.
karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian
akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merusak sawah dan ladang; ketidak-tahuan merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidak-tahuan
akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merusak sawah dan ladang; iri hati merusak manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari iri hati
akan menghasilkan pahala yang besar.
----------
Notes :
Indaka hanya memberi sesendok makanan kepada Anuruddha Thera, tetapi Indaka memberikannya kepada seorang Arahat, yang telah bebas dari kekotoran batin dll, yang merupakan ladang yang subur.
Kemegahan dan keagungan para dewa ini beragam, tergantung dari besarnya kebajikan yang mereka lakukan. Makin besar keagungannya, makin terang sinar tubuhnya, dan kedudukannya pun lebih tinggi.
Biasanya, mereka duduk berdasarkan derajat keagungannya, yang paling agung duduk paling depan, dan mereka harus mundur jika ada dewa yang lebih agung darinya. Dalam kisah diatas, dikatakan Ankura pada awalnya duduk di depan dekat Sang Buddha, namun setelah dewa-dewa lain berdatangan, dewa Ankura akhirnya duduk 12 liga jauhnya dari Sang Buddha, sementara Indaka duduk di dekat Sang Buddha.
Labels:
24. Tanha Vagga
Tuesday, 20 April 2010
Kisah Lima Bhikkhu (Dhammapada 25 : 360-361)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(360) Sungguh baik mengendalikan mata;
sungguh baik mengendalikan telinga;
sungguh baik mengendalikan hidung;
sungguh baik mengendalikan lidah.
(361) Sungguh baik mengendalikan perbuatan;
sungguh baik mengendalikan ucapan;
sungguh baik mengendalikan pikiran;
sungguh baik mengendalikan semua indera
Seorang bhikkhu yang dapat mengendalikan semuanya akan terbebas dari semua penderitaan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika terdapatlah lima bhikkhu yang berdiam di Savatti. Masing-masing bhikkhu itu mempraktekkan pengendalian terhadap salah satu dari lima indrianya dan mereka masing-masing menganggap bahwa apa yang ia praktekkan adalah yang paling sulit. Sehingga terjadilah pertentangan pendapat mengenai hal itu; dan mereka tidak dapat mencapai suatu kesamaan pendapat. Akhirnya mereka pergi menghadap Sang Buddha untuk menanyakan perihal itu.
Sang Buddha berkata kepada mereka, "Masing-masing indria sama sulitnya untuk dikendalikan; tetapi semua bhikkhu harus mengendalikan kelima indria itu dan bukan hanya salah satu indria saja. Hanya mereka yang telah mengendalikan seluruh indria akan tebebas dari proses tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Cakkhunā saṃvaro sādhu, sādhu sotena saṃvaro
ghāṇena saṃvaro sādhu, sādhu jivhāya saṃvaro.
Kāyena saṃvaro sādhu, sādhu vācāya saṃvaro
manasā saṃvaro sādhu sādhu sabbattha saṃvaro
sabattha saṃvuto bhikkhu sabbadukkhā pamuccati."
Sungguh baik mengendalikan mata; sungguh baik mengendalikan telinga;
sungguh baik mengendalikan hidung; sungguh baik mengendalikan lidah.
Sungguh baik mengendalikan perbuatan; sungguh baik mengendalikan ucapan;
sungguh baik mengendalikan pikiran; sungguh baik mengendalikan semua indera
Seorang bhikkhu yang dapat mengendalikan semuanya akan terbebas dari semua penderitaan.
(360) Sungguh baik mengendalikan mata;
sungguh baik mengendalikan telinga;
sungguh baik mengendalikan hidung;
sungguh baik mengendalikan lidah.
(361) Sungguh baik mengendalikan perbuatan;
sungguh baik mengendalikan ucapan;
sungguh baik mengendalikan pikiran;
sungguh baik mengendalikan semua indera
Seorang bhikkhu yang dapat mengendalikan semuanya akan terbebas dari semua penderitaan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika terdapatlah lima bhikkhu yang berdiam di Savatti. Masing-masing bhikkhu itu mempraktekkan pengendalian terhadap salah satu dari lima indrianya dan mereka masing-masing menganggap bahwa apa yang ia praktekkan adalah yang paling sulit. Sehingga terjadilah pertentangan pendapat mengenai hal itu; dan mereka tidak dapat mencapai suatu kesamaan pendapat. Akhirnya mereka pergi menghadap Sang Buddha untuk menanyakan perihal itu.
Sang Buddha berkata kepada mereka, "Masing-masing indria sama sulitnya untuk dikendalikan; tetapi semua bhikkhu harus mengendalikan kelima indria itu dan bukan hanya salah satu indria saja. Hanya mereka yang telah mengendalikan seluruh indria akan tebebas dari proses tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
"Cakkhunā saṃvaro sādhu, sādhu sotena saṃvaro
ghāṇena saṃvaro sādhu, sādhu jivhāya saṃvaro.
Kāyena saṃvaro sādhu, sādhu vācāya saṃvaro
manasā saṃvaro sādhu sādhu sabbattha saṃvaro
sabattha saṃvuto bhikkhu sabbadukkhā pamuccati."
Sungguh baik mengendalikan mata; sungguh baik mengendalikan telinga;
sungguh baik mengendalikan hidung; sungguh baik mengendalikan lidah.
Sungguh baik mengendalikan perbuatan; sungguh baik mengendalikan ucapan;
sungguh baik mengendalikan pikiran; sungguh baik mengendalikan semua indera
Seorang bhikkhu yang dapat mengendalikan semuanya akan terbebas dari semua penderitaan.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Monday, 19 April 2010
Kisah Seorang Bhikkhu Yang Membunuh Angsa (Dhammapada 25:362)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(362) Seseorang yang mengendalikan tangan dan kakinya,
ucapannya dan pikirannya,
yang bergembira dalam samadhi dan memiliki batin yang tenang,
yang puas berdiam seorang diri, dialah yang mereka sebut bhikkhu
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika, terdapatlah seorang bhikkhu muda yang sangat mahir melempar batu. Ia mampu membidik objeknya dengan tepat tanpa gagal. Suatu hari ketika ia duduk bersama dengan bhikkhu lain setelah selesai membersihkan diri di tepi sungai Aciravati, ia melihat dua ekor angsa yang sedang terbang. Ia bercerita pada temannya bahwa ia akan berusaha untuk memiliki salah satu dari dua angsa itu dengan melemparkan sebutir batu padanya. Ketika angsa tersebut mendengar kata-katanya, ia menyembunyikan lehernya. Bhikkhu itu melemparkan sebuah batu kecil kepada angsa itu. Batu kecil mengenai mata angsa, menembus masuk melewati salah satu mata angsa, dan keluar melalui mata satunya lagi. Angsa itu berteriak kesakitan dan sangat menderita, akhirnya angsa jatuh meninggal dunia di depan kaki bhikkhu muda itu.
Bikkhu lain yang menyaksikan kejadian itu membawa bhikkhu muda tersebut menghadap Sang Buddha. Sang Buddha menegur bhikkhu muda itu dan berkata: "Anakku, mengapa engkau membunuh angsa itu? Mengapa justru kamu, sebagai anggota Sangha, yang seharusnya mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk hidup dan berjuang sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari kelahiran kembali ? Meskipun selama periode di luar keberadaan Dhamma, seorang bijaksana mempraktekkan moralitas dan taat pada peraturan. Seorang bhikkhu harus mengendalikan tangannya, kakinya, dan lidahnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Hatthasaññato pādasaññato
vācāya saññato saññatuttamo,
ajjhattarato samāhito
eko santusito tam āhu bhikkhuṃ."
Seseorang yang mengendalikan tangan dan kakinya,
ucapannya dan pikirannya,
yang bergembira dalam samadhi dan memiliki batin yang tenang,
yang puas berdiam seorang diri, dialah yang mereka sebut bhikkhu.
(362) Seseorang yang mengendalikan tangan dan kakinya,
ucapannya dan pikirannya,
yang bergembira dalam samadhi dan memiliki batin yang tenang,
yang puas berdiam seorang diri, dialah yang mereka sebut bhikkhu
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika, terdapatlah seorang bhikkhu muda yang sangat mahir melempar batu. Ia mampu membidik objeknya dengan tepat tanpa gagal. Suatu hari ketika ia duduk bersama dengan bhikkhu lain setelah selesai membersihkan diri di tepi sungai Aciravati, ia melihat dua ekor angsa yang sedang terbang. Ia bercerita pada temannya bahwa ia akan berusaha untuk memiliki salah satu dari dua angsa itu dengan melemparkan sebutir batu padanya. Ketika angsa tersebut mendengar kata-katanya, ia menyembunyikan lehernya. Bhikkhu itu melemparkan sebuah batu kecil kepada angsa itu. Batu kecil mengenai mata angsa, menembus masuk melewati salah satu mata angsa, dan keluar melalui mata satunya lagi. Angsa itu berteriak kesakitan dan sangat menderita, akhirnya angsa jatuh meninggal dunia di depan kaki bhikkhu muda itu.
Bikkhu lain yang menyaksikan kejadian itu membawa bhikkhu muda tersebut menghadap Sang Buddha. Sang Buddha menegur bhikkhu muda itu dan berkata: "Anakku, mengapa engkau membunuh angsa itu? Mengapa justru kamu, sebagai anggota Sangha, yang seharusnya mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk hidup dan berjuang sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari kelahiran kembali ? Meskipun selama periode di luar keberadaan Dhamma, seorang bijaksana mempraktekkan moralitas dan taat pada peraturan. Seorang bhikkhu harus mengendalikan tangannya, kakinya, dan lidahnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Hatthasaññato pādasaññato
vācāya saññato saññatuttamo,
ajjhattarato samāhito
eko santusito tam āhu bhikkhuṃ."
Seseorang yang mengendalikan tangan dan kakinya,
ucapannya dan pikirannya,
yang bergembira dalam samadhi dan memiliki batin yang tenang,
yang puas berdiam seorang diri, dialah yang mereka sebut bhikkhu.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Sunday, 18 April 2010
Kisah Bhikkhu Kokalika (Dhammapada 25 : 363)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(363) Seorang bhikkhu yang mengendalikan lidahnya,
yang berbicara dengan bijaksana dan tidak sombong,
yang dapat menerangkan Dhamma beserta artinya,
maka ia akan kedengaran indah ucapannya.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika sedang berada di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengucapkan syair ini berkenaan dengan bhikkhu Kokalika.
Bhikkhu Kokalika telah memfitnah dua murid utama Sang Buddha, Sariputta dan Maha Mogallana. Oleh karena perbuatan buruknya itu Kokalika terkena musibah dan meninggal dunia, lahir kembali di alam Neraka Paduma. Mengetahui kejadian itu, para bhikkhu mengatakan bahwa Kokalika telah mengalami penderitaan di alam neraka karena ia tidak mengendalikan lidahnya.
Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha berkata : "Para bhikkhu, seorang bhikkhu hendaknya berusaha mengendalikan lidahnya; tingkah-lakunya harus baik; pikirannya harus tenang, bisa dikendalikan, dan tidak mengejar objek-objek yang menyenangkan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Yo mukhasaññato bhikkhu mantabhāṇī anuddhato
atthaṃ dhammañ ca dīpeti madhuraṃ tassa bhāsitaṃ."
Seorang bhikkhu yang mengendalikan lidahnya,
yang berbicara dengan bijaksana dan tidak sombong,
yang dapat menerangkan Dhamma beserta artinya,
maka manislah ucapannya.
------------
Notes :
Cula Kokalika adalah anak pedagang dari Kokali, dan tinggal di vihara yang dibangun oleh ayahnya di Kokali. Suatu waktu, dua siswa utama Sang Buddha, yaitu Sariputta Thera dan Maha Moggalana Thera menginginkan suasana yang tenang, menghabiskan masa vassa di vihara itu bersama Kokali, dan Kokali berjanji untuk tidak memberitahukan kedatangan mereka kepada para penduduk di sana. Setelah masa vassa, ketika Sariputta & Maha Moggalana Thera hendak berangkat, Kokalika memberitahu penduduk perihal keberadaan Sariputta & Maha Moggalana Thera, dan menyalahkan para penduduk karena tidak menunjukkan penerimaan dan penyambutan mereka.
Para penduduk segera datang membawa banyak macam persembahan; dan persembahan ini ditolak oleh Sariputta & Maha Moggalana Thera, dan Kokalika yang mengharapkan agar persembahan dana itu diberikan kepada dirinya, menjadi kecewa. Kedua Thera berjanji kepada para penduduk untuk mengunjungi mereka lain kali. Ketika kedua Thera itu kembali, mereka membawa sejumlah besar bhikkhu bersamanya, dan para penduduk memberikan penghormatan besar dan memberikan persembahan dana.
Dana tersebut dibagi-bagi diantara para bhikkhu, tetapi Kokalika tidak mendapat bagian. Karenanya ia menjadi kesal dan marah-marah, dan akhirnya kedua Thera pun pergi dari tempat itu. Para penduduk juga menjadi tidak senang, mereka bersikeras Kokalika harus membawa kedua Thera dan semua bhikkhu kembali, atau Kokalika juga harus pergi dari sana.
Tetapi kedua Thera tidak mau kembali. Kokalika, dengan penuh kemarahan, pergi mencari Sang Buddha di Savatthi dan mengadukan hal ini kepadaNya, mengatakan bahwa kedua Thera itu penuh nafsu keinginan, beritikad buruk dan berambisi buruk. Sang Buddha menasehatinya untuk tidak berkata demikian memfitnah kedua Thera, tetapi Kokalika tetap menuduh kedua Thera sampai 3 kali. Kemudian Kokalika memberi hormat dan pergi meninggalkan Jetavana.
Tak lama, muncul bisul-bisul di seluruh tubuh Kokalika, makin membesar dan pecah, bernanah dan berdarah. Mengerang kesakitan, ia jatuh di gerbang Jetavana. Mantan guru Kokalika, anagami Brahma, Tudu, mendengar teriakan Kokalika dan datang membujuknya untuk meminta maaf kepada kedua Thera. Kokalika malah marah dan menolak mendengar nasehat Brahma Tudu. Akhirnya Kokalika meninggal dunia. Malam itu Brahma Sahampati menghadap kepada Sang Buddha dan memberitahukan kelahiran Kokalika di neraka Paduma.
Kejadian ini cukup terkenal, tercatat di Sutta-pitaka, Brahma Samyutta No. 10; Sutta Nipata, Mahavagga No. 10; Anguttara Nikaya V. 170, and Takkariya Jataka (No. 481).
Perlu diketahui, hal buruk ini terjadi karena Kokalika memfitnah dua orang Arahat. Melakukan karma buruk kepada orang suci, membuahkan hasil buruk yang besar pula. Kedua Thera batinnya telah seimbang, mereka tidaklah marah, mereka juga tidak terpengaruh apakah Kokalika meminta maaf atau tidak, tetapi jika Kokalika meminta maaf akan bermanfaat bagi dirinya sendiri.
(363) Seorang bhikkhu yang mengendalikan lidahnya,
yang berbicara dengan bijaksana dan tidak sombong,
yang dapat menerangkan Dhamma beserta artinya,
maka ia akan kedengaran indah ucapannya.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika sedang berada di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengucapkan syair ini berkenaan dengan bhikkhu Kokalika.
Bhikkhu Kokalika telah memfitnah dua murid utama Sang Buddha, Sariputta dan Maha Mogallana. Oleh karena perbuatan buruknya itu Kokalika terkena musibah dan meninggal dunia, lahir kembali di alam Neraka Paduma. Mengetahui kejadian itu, para bhikkhu mengatakan bahwa Kokalika telah mengalami penderitaan di alam neraka karena ia tidak mengendalikan lidahnya.
Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha berkata : "Para bhikkhu, seorang bhikkhu hendaknya berusaha mengendalikan lidahnya; tingkah-lakunya harus baik; pikirannya harus tenang, bisa dikendalikan, dan tidak mengejar objek-objek yang menyenangkan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Yo mukhasaññato bhikkhu mantabhāṇī anuddhato
atthaṃ dhammañ ca dīpeti madhuraṃ tassa bhāsitaṃ."
Seorang bhikkhu yang mengendalikan lidahnya,
yang berbicara dengan bijaksana dan tidak sombong,
yang dapat menerangkan Dhamma beserta artinya,
maka manislah ucapannya.
------------
Notes :
Cula Kokalika adalah anak pedagang dari Kokali, dan tinggal di vihara yang dibangun oleh ayahnya di Kokali. Suatu waktu, dua siswa utama Sang Buddha, yaitu Sariputta Thera dan Maha Moggalana Thera menginginkan suasana yang tenang, menghabiskan masa vassa di vihara itu bersama Kokali, dan Kokali berjanji untuk tidak memberitahukan kedatangan mereka kepada para penduduk di sana. Setelah masa vassa, ketika Sariputta & Maha Moggalana Thera hendak berangkat, Kokalika memberitahu penduduk perihal keberadaan Sariputta & Maha Moggalana Thera, dan menyalahkan para penduduk karena tidak menunjukkan penerimaan dan penyambutan mereka.
Para penduduk segera datang membawa banyak macam persembahan; dan persembahan ini ditolak oleh Sariputta & Maha Moggalana Thera, dan Kokalika yang mengharapkan agar persembahan dana itu diberikan kepada dirinya, menjadi kecewa. Kedua Thera berjanji kepada para penduduk untuk mengunjungi mereka lain kali. Ketika kedua Thera itu kembali, mereka membawa sejumlah besar bhikkhu bersamanya, dan para penduduk memberikan penghormatan besar dan memberikan persembahan dana.
Dana tersebut dibagi-bagi diantara para bhikkhu, tetapi Kokalika tidak mendapat bagian. Karenanya ia menjadi kesal dan marah-marah, dan akhirnya kedua Thera pun pergi dari tempat itu. Para penduduk juga menjadi tidak senang, mereka bersikeras Kokalika harus membawa kedua Thera dan semua bhikkhu kembali, atau Kokalika juga harus pergi dari sana.
Tetapi kedua Thera tidak mau kembali. Kokalika, dengan penuh kemarahan, pergi mencari Sang Buddha di Savatthi dan mengadukan hal ini kepadaNya, mengatakan bahwa kedua Thera itu penuh nafsu keinginan, beritikad buruk dan berambisi buruk. Sang Buddha menasehatinya untuk tidak berkata demikian memfitnah kedua Thera, tetapi Kokalika tetap menuduh kedua Thera sampai 3 kali. Kemudian Kokalika memberi hormat dan pergi meninggalkan Jetavana.
Tak lama, muncul bisul-bisul di seluruh tubuh Kokalika, makin membesar dan pecah, bernanah dan berdarah. Mengerang kesakitan, ia jatuh di gerbang Jetavana. Mantan guru Kokalika, anagami Brahma, Tudu, mendengar teriakan Kokalika dan datang membujuknya untuk meminta maaf kepada kedua Thera. Kokalika malah marah dan menolak mendengar nasehat Brahma Tudu. Akhirnya Kokalika meninggal dunia. Malam itu Brahma Sahampati menghadap kepada Sang Buddha dan memberitahukan kelahiran Kokalika di neraka Paduma.
Kejadian ini cukup terkenal, tercatat di Sutta-pitaka, Brahma Samyutta No. 10; Sutta Nipata, Mahavagga No. 10; Anguttara Nikaya V. 170, and Takkariya Jataka (No. 481).
Perlu diketahui, hal buruk ini terjadi karena Kokalika memfitnah dua orang Arahat. Melakukan karma buruk kepada orang suci, membuahkan hasil buruk yang besar pula. Kedua Thera batinnya telah seimbang, mereka tidaklah marah, mereka juga tidak terpengaruh apakah Kokalika meminta maaf atau tidak, tetapi jika Kokalika meminta maaf akan bermanfaat bagi dirinya sendiri.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Saturday, 17 April 2010
Kisah Dhammarama Thera (Dhammapada 25 : 364)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(364) Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma
dan bergembira dalam Dhamma,
yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma,
maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.
------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika beredar berita di kalangan para murid bahwa Sang Buddha akan parinibbana dalam waktu empat bulan lagi; banyak di antara para bhikkhu puthujjana (yang belum mencapai tingkat kesucian) mengalami tekanan batin, merasa kehilangan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Pada umumnya mereka berusaha berada dekat dengan Sang Buddha, tidak ingin bepergian jauh dari Beliau.
Ketika itu ada seorang bhikkhu yang bernama Dhammarama yang tinggal menyendiri dan tidak pergi mendekat kepada Sang Buddha. Perhatian beliau diarahkan pada perjuangannya untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha meninggal dunia. Ia melaksanakan meditasi `Pandangan Terang` (Vipassana Bhavana) dengan tekun. Kawan-kawan bhikkhu yang lain tidak mengerti apa harapan beliau dan apa yang sedang dilakukannya, mereka memiliki pengertian keliru perihal kelakukan Bhikkhu Dhammarama itu.
Kawan-kawan bhikkhu tersebut bersama Bhikkhu Dhammarama menemui Sang Buddha, dan mereka berkata kepada Sang Bhagava : "Bhante, bhikkhu ini kelihatan tidak mau peduli, tidak menghormat, dan tidak berbakti kepada Bhante. Ia terlihat menyendiri pada saat para bhikkhu lain sedang berada di dekat Bhante."
Setelah kawan-kawan bhikkhu itu menceritakan semua pandangannya, Bhikkhu Dhammarama dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha, “Bhante, empat bulan lagi Sang Bhagava aman mencapai Parinibbana, dan aku belum membebaskan diri dari ikatan nafsu; karenanya, selagi Engkau masih hidup, aku berusaha mencapai kearahatan”, ia juga melaporkan usaha-usaha keras yang dilakukannya mempraktekkan Vipassana Bhavana.
Sang Buddha sangat puas dan menghargai apa yang telah diungkapkan dan dilakukan oleh Bhikkhu Dhammarama, kemudian berkata : "Anakku Dhammarama, engkau telah berperilaku sangat baik. Seorang bhikkhu yang mencintai dan menghormat kepada-Ku hendaknya berkelakuan seperti engkau. Mereka yang mempersembahkan bunga, pelita, dan dupa kepada-Ku tidaklah benar-benar memberi hormat kepada-Ku. Hanya mereka yang melaksanakan Dhamma, ajaran-Ku, adalah benar-benar seseorang yang memberikan hormat kepada-Ku."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Dhammārāmo dhammarato
dhammaṃ anuvicintayaṃ
dhammaṃ anussaraṃ bhikkhu
saddhammā na parihāyati."
Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma
dan gembira dalam Dhamma,
yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma,
maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.
Dhammarama Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
------------
Notes :
Dalam memahami kisah ini, semoga kita tidak terjebak menjadi ekstrim dan berpikir kalau begitu tidak perlu menghormati Buddha, tidak perlu mempersembahkan bunga dll.
Tentu saja, kalau kita bisa seperti bhikkhu Dhammarama yang benar-benar membaktikan semua waktunya untuk bermeditasi untuk menjadi arahat, adalah sangat baik sekali, tidak perlu menghormat kepada Sang Buddha membawa persembahan. Ini adalah penghormatan paling tinggi. Dengan berjuang keras mencapai Arahat, berarti benar-benar menghormati Sang Buddha karena berarti sungguh-sungguh memperhatikan dan menuruti kata-kata Sang Buddha, ajaran Sang Buddha.
Tetapi pada kenyataannya, apakah kita umat awam mampu melakukan penghormatan dengan cara demikian?
Kalau sudah, bagus, teruskan. Kalau belum mampu, daripada tidak memberi penghormatan sama sekali, sebaiknya lakukan penghormatan dengan cara biasa. Walaupun cara biasa bukan ‘yang paling tinggi’, tetapi sudah merupakan langkah awal yang baik.
Semua ini adalah proses, pelan-pelan dengan rajin melatih diri, menghormat kepada Sang Buddha, mengingat ajarannya, mencoba mempraktekkan, maka akan kita akan maju terus dalam dhamma dan suatu hari akan sampai di tujuan.
Memberi penghormatan kepada orang yang patut dihormati, yaitu Buddha, Paccekabuddha, dan Ariya Sangha, adalah sangat dianjurkan dan kebajikan yang diperoleh sangatlah besar, dan Sang Buddha pun mengajarkan untuk membangun stupa dan memberi penghormatan disana (lihat kisah Stupa Emas Kassapa 195-196). Maha Kaccayana Thera dalam Kisah Soreyya (nomer 43) pun menceritakan karena berdana sepotong emas untuk membangun stupa di kehidupan sebelumnya, Maha Kaccayana Thera sebagai hasil (sampingan) karmanya memperoleh buah karma berupa tubuh yang bersinar keemasan.
Bagaimana cara menghormati Sang Buddha?
Pertama-tama, menjalankan ajaranNya dan mencapai kearahatan/nibbana.
Kedua, dengan cara biasa, bernamaskara kepada Buddha, karena Buddha sudah tidak ada, maka simbolnya seperti stupa dan Buddha rupang (patung Buddha) dapat digunakan.
Ketika bernamaskara, berkonsentrasilah, ingat-ingatlah kualitas Sang Buddha, ingat-ingatlah ajaran Sang Buddha, dan bayangkan Beliau sungguh-sungguh berada di depan kita, dan bernamaskara (sujud) 3 kali.
(Biasanya pikiran kita sulit konsentrasi dan suka melayang kemana-mana, dengan mencoba melakukannya 3 kali, semoga minimal ada 1 kali dimana kita benar-benar fokus, dan juga untuk menunjukkan kesungguhan).
Bisa juga setelah berkonsentrasi, lalu ucapkan dalam hati,
Buddhang saranang gacchami (aku berlindung kepada Buddha) sambil namaskara satu kali,
Dhammang saranang gacchami (aku berlindung kepada Dhamma) sambil namaskara satu kali,
Sangghang saranang gacchami (aku berlindung kepada Sangha) sambil namaskara satu kali.
Seperti ketika memandangi foto orang yang kita sayangi, kita mengenang orang itu, mengenang kebaikannya, kasihnya kepada kita, sifat-sifatnya yang kita sukai, memori yang indah bersama, maka hati kita pun akan menjadi hangat. Demikian pula menghormati simbol Sang Buddha.
Ingat lho, memberi hormat tidak sama dengan meminta-minta di depan Buddharupang.
Diminta untuk menghormat kok malah menodong Buddha :)
Janganlah terjebak menjadi sombong dan berkata tidak perlu hormat kepada patung Sang Buddha, itu hanya patung, dll bahkan menyuruh orang lain untuk tidak perlu menghormati Sang Buddha.
(364) Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma
dan bergembira dalam Dhamma,
yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma,
maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.
------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika beredar berita di kalangan para murid bahwa Sang Buddha akan parinibbana dalam waktu empat bulan lagi; banyak di antara para bhikkhu puthujjana (yang belum mencapai tingkat kesucian) mengalami tekanan batin, merasa kehilangan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Pada umumnya mereka berusaha berada dekat dengan Sang Buddha, tidak ingin bepergian jauh dari Beliau.
Ketika itu ada seorang bhikkhu yang bernama Dhammarama yang tinggal menyendiri dan tidak pergi mendekat kepada Sang Buddha. Perhatian beliau diarahkan pada perjuangannya untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha meninggal dunia. Ia melaksanakan meditasi `Pandangan Terang` (Vipassana Bhavana) dengan tekun. Kawan-kawan bhikkhu yang lain tidak mengerti apa harapan beliau dan apa yang sedang dilakukannya, mereka memiliki pengertian keliru perihal kelakukan Bhikkhu Dhammarama itu.
Kawan-kawan bhikkhu tersebut bersama Bhikkhu Dhammarama menemui Sang Buddha, dan mereka berkata kepada Sang Bhagava : "Bhante, bhikkhu ini kelihatan tidak mau peduli, tidak menghormat, dan tidak berbakti kepada Bhante. Ia terlihat menyendiri pada saat para bhikkhu lain sedang berada di dekat Bhante."
Setelah kawan-kawan bhikkhu itu menceritakan semua pandangannya, Bhikkhu Dhammarama dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha, “Bhante, empat bulan lagi Sang Bhagava aman mencapai Parinibbana, dan aku belum membebaskan diri dari ikatan nafsu; karenanya, selagi Engkau masih hidup, aku berusaha mencapai kearahatan”, ia juga melaporkan usaha-usaha keras yang dilakukannya mempraktekkan Vipassana Bhavana.
Sang Buddha sangat puas dan menghargai apa yang telah diungkapkan dan dilakukan oleh Bhikkhu Dhammarama, kemudian berkata : "Anakku Dhammarama, engkau telah berperilaku sangat baik. Seorang bhikkhu yang mencintai dan menghormat kepada-Ku hendaknya berkelakuan seperti engkau. Mereka yang mempersembahkan bunga, pelita, dan dupa kepada-Ku tidaklah benar-benar memberi hormat kepada-Ku. Hanya mereka yang melaksanakan Dhamma, ajaran-Ku, adalah benar-benar seseorang yang memberikan hormat kepada-Ku."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Dhammārāmo dhammarato
dhammaṃ anuvicintayaṃ
dhammaṃ anussaraṃ bhikkhu
saddhammā na parihāyati."
Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma
dan gembira dalam Dhamma,
yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma,
maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.
Dhammarama Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
------------
Notes :
Dalam memahami kisah ini, semoga kita tidak terjebak menjadi ekstrim dan berpikir kalau begitu tidak perlu menghormati Buddha, tidak perlu mempersembahkan bunga dll.
Tentu saja, kalau kita bisa seperti bhikkhu Dhammarama yang benar-benar membaktikan semua waktunya untuk bermeditasi untuk menjadi arahat, adalah sangat baik sekali, tidak perlu menghormat kepada Sang Buddha membawa persembahan. Ini adalah penghormatan paling tinggi. Dengan berjuang keras mencapai Arahat, berarti benar-benar menghormati Sang Buddha karena berarti sungguh-sungguh memperhatikan dan menuruti kata-kata Sang Buddha, ajaran Sang Buddha.
Tetapi pada kenyataannya, apakah kita umat awam mampu melakukan penghormatan dengan cara demikian?
Kalau sudah, bagus, teruskan. Kalau belum mampu, daripada tidak memberi penghormatan sama sekali, sebaiknya lakukan penghormatan dengan cara biasa. Walaupun cara biasa bukan ‘yang paling tinggi’, tetapi sudah merupakan langkah awal yang baik.
Semua ini adalah proses, pelan-pelan dengan rajin melatih diri, menghormat kepada Sang Buddha, mengingat ajarannya, mencoba mempraktekkan, maka akan kita akan maju terus dalam dhamma dan suatu hari akan sampai di tujuan.
Memberi penghormatan kepada orang yang patut dihormati, yaitu Buddha, Paccekabuddha, dan Ariya Sangha, adalah sangat dianjurkan dan kebajikan yang diperoleh sangatlah besar, dan Sang Buddha pun mengajarkan untuk membangun stupa dan memberi penghormatan disana (lihat kisah Stupa Emas Kassapa 195-196). Maha Kaccayana Thera dalam Kisah Soreyya (nomer 43) pun menceritakan karena berdana sepotong emas untuk membangun stupa di kehidupan sebelumnya, Maha Kaccayana Thera sebagai hasil (sampingan) karmanya memperoleh buah karma berupa tubuh yang bersinar keemasan.
Bagaimana cara menghormati Sang Buddha?
Pertama-tama, menjalankan ajaranNya dan mencapai kearahatan/nibbana.
Kedua, dengan cara biasa, bernamaskara kepada Buddha, karena Buddha sudah tidak ada, maka simbolnya seperti stupa dan Buddha rupang (patung Buddha) dapat digunakan.
Ketika bernamaskara, berkonsentrasilah, ingat-ingatlah kualitas Sang Buddha, ingat-ingatlah ajaran Sang Buddha, dan bayangkan Beliau sungguh-sungguh berada di depan kita, dan bernamaskara (sujud) 3 kali.
(Biasanya pikiran kita sulit konsentrasi dan suka melayang kemana-mana, dengan mencoba melakukannya 3 kali, semoga minimal ada 1 kali dimana kita benar-benar fokus, dan juga untuk menunjukkan kesungguhan).
Bisa juga setelah berkonsentrasi, lalu ucapkan dalam hati,
Buddhang saranang gacchami (aku berlindung kepada Buddha) sambil namaskara satu kali,
Dhammang saranang gacchami (aku berlindung kepada Dhamma) sambil namaskara satu kali,
Sangghang saranang gacchami (aku berlindung kepada Sangha) sambil namaskara satu kali.
Seperti ketika memandangi foto orang yang kita sayangi, kita mengenang orang itu, mengenang kebaikannya, kasihnya kepada kita, sifat-sifatnya yang kita sukai, memori yang indah bersama, maka hati kita pun akan menjadi hangat. Demikian pula menghormati simbol Sang Buddha.
Ingat lho, memberi hormat tidak sama dengan meminta-minta di depan Buddharupang.
Diminta untuk menghormat kok malah menodong Buddha :)
Janganlah terjebak menjadi sombong dan berkata tidak perlu hormat kepada patung Sang Buddha, itu hanya patung, dll bahkan menyuruh orang lain untuk tidak perlu menghormati Sang Buddha.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Friday, 16 April 2010
Kisah Bhikkhu yang Berteman Dengan Bhikkhu Pengikut Devadatta (Dhammapada 25 : 365-366)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(365) Hendaklah ia tidak mencela apa-apa yang telah ia peroleh,
juga hendaklah ia tidak merasa iri terhadap apa yang telah diperoleh orang lain.
Seorang bhikkhu yang merasa iri terhadap apa yang diperoleh orang lain,
tidak akan dapat mencapai perkembangan dalam samadhi.
(366) Walaupun hanya memperoleh sedikit,
tetapi apabila seseorang bhikkhu tidak mencela apa yang telah diperolehnya,
maka para dewa pun akan memuji orang seperti itu,
yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika seorang bhikkhu murid Sang Buddha berteman akrab dengan pengikut Devadatta. Ia sering berkunjung dan tinggal selama beberapa hari di vihara tempat Devadatta berdiam.
Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang Buddha, bahwa terdapat seorang bhikkhu murid Sang Buddha yang bergaul akrab dengan pengikut-pengikut Devadatta, sehingga ia sering berkunjung, bahkan menginap beberapa hari, makan, tidur, dan menikmati berbagai fasilitas yang terdapat pada vihara milik Devadatta.
Sang Buddha mengundang bhikkhu itu, dan meminta keterangan darinya. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau telah mendengar berita tentang kelakuan bhikkhu tersebut apakah berita itu benar. Bhikkhu itu mengakui bahwa ia telah berdiam beberapa hari di vihara milik Devadatta, tetapi ia berkata kepada Sang Buddha bahwa ia tidak mengikuti ajaran Devadatta.
Kemudian Sang Buddha menegur dan menunjukkan bahwa apa yang bhikkhu itu lakukan sesungguhnya membuat ia menjadi seperti pengikut Devadatta.
Kepada Bhikkhu itu Sang Buddha mengatakan : "Anak-Ku, meskipun engkau tidak mengikuti ajaran Devadatta, tetapi engakau memperlakukan dirimu seperti salah satu pengikut Devadatta. Seorang bhikkhu hendaknya puas dengan apa yang telah diperolehnya, dan jangan iri hati terhadap apa yang diperoleh orang lain. Seorang bhikkhu yang penuh dengan kecemburuan pada perolehan bhikkhu lain tidak akan mencapai pemusatan batin dan pandangan terang, atau jalan menuju `Kebebasan Mutlak` (nibbana). Hanya bhikkhu yang puas dengan apa yang telah ia peroleh akan mendapatkan pemusatan pikiran, pandangan terang, dan jalan menuju `Kebebasan Mutlak`.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Salābhaṃ nātimaññeyya nāññesaṃ pihayaṃ care
aññesam pihayaṃ bhikkhu samādhiṃ nādhigacchati.
Appalābho pi ce bhikkhu salābhaṃ nātimaññati
taṃ ve devā pasaṃsanti suddhājīviṃ atanditaṃ."
Hendaklah ia tidak mencela apa yang telah ia peroleh,
juga hendaklah ia tidak merasa iri terhadap apa yang telah diperoleh orang lain.
Seorang bhikkhu yang merasa iri terhadap apa yang diperoleh orang lain,
tidak akan dapat mencapai perkembangan dalam semadi.
Walaupun hanya memperoleh sedikit,
tetapi apabila seseorang bhikkhu tidak mencela apa yang telah diperolehnya,
maka para dewapun akan memuji orang seperti itu,
yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas.
(365) Hendaklah ia tidak mencela apa-apa yang telah ia peroleh,
juga hendaklah ia tidak merasa iri terhadap apa yang telah diperoleh orang lain.
Seorang bhikkhu yang merasa iri terhadap apa yang diperoleh orang lain,
tidak akan dapat mencapai perkembangan dalam samadhi.
(366) Walaupun hanya memperoleh sedikit,
tetapi apabila seseorang bhikkhu tidak mencela apa yang telah diperolehnya,
maka para dewa pun akan memuji orang seperti itu,
yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika seorang bhikkhu murid Sang Buddha berteman akrab dengan pengikut Devadatta. Ia sering berkunjung dan tinggal selama beberapa hari di vihara tempat Devadatta berdiam.
Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang Buddha, bahwa terdapat seorang bhikkhu murid Sang Buddha yang bergaul akrab dengan pengikut-pengikut Devadatta, sehingga ia sering berkunjung, bahkan menginap beberapa hari, makan, tidur, dan menikmati berbagai fasilitas yang terdapat pada vihara milik Devadatta.
Sang Buddha mengundang bhikkhu itu, dan meminta keterangan darinya. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau telah mendengar berita tentang kelakuan bhikkhu tersebut apakah berita itu benar. Bhikkhu itu mengakui bahwa ia telah berdiam beberapa hari di vihara milik Devadatta, tetapi ia berkata kepada Sang Buddha bahwa ia tidak mengikuti ajaran Devadatta.
Kemudian Sang Buddha menegur dan menunjukkan bahwa apa yang bhikkhu itu lakukan sesungguhnya membuat ia menjadi seperti pengikut Devadatta.
Kepada Bhikkhu itu Sang Buddha mengatakan : "Anak-Ku, meskipun engkau tidak mengikuti ajaran Devadatta, tetapi engakau memperlakukan dirimu seperti salah satu pengikut Devadatta. Seorang bhikkhu hendaknya puas dengan apa yang telah diperolehnya, dan jangan iri hati terhadap apa yang diperoleh orang lain. Seorang bhikkhu yang penuh dengan kecemburuan pada perolehan bhikkhu lain tidak akan mencapai pemusatan batin dan pandangan terang, atau jalan menuju `Kebebasan Mutlak` (nibbana). Hanya bhikkhu yang puas dengan apa yang telah ia peroleh akan mendapatkan pemusatan pikiran, pandangan terang, dan jalan menuju `Kebebasan Mutlak`.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Salābhaṃ nātimaññeyya nāññesaṃ pihayaṃ care
aññesam pihayaṃ bhikkhu samādhiṃ nādhigacchati.
Appalābho pi ce bhikkhu salābhaṃ nātimaññati
taṃ ve devā pasaṃsanti suddhājīviṃ atanditaṃ."
Hendaklah ia tidak mencela apa yang telah ia peroleh,
juga hendaklah ia tidak merasa iri terhadap apa yang telah diperoleh orang lain.
Seorang bhikkhu yang merasa iri terhadap apa yang diperoleh orang lain,
tidak akan dapat mencapai perkembangan dalam semadi.
Walaupun hanya memperoleh sedikit,
tetapi apabila seseorang bhikkhu tidak mencela apa yang telah diperolehnya,
maka para dewapun akan memuji orang seperti itu,
yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Thursday, 15 April 2010
Kisah Dermawan yang memberi Hasil Pertama Pekerjaannya (Dhammapada 25 : 367)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(367) Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku" atau "milikku",
baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani,
dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya,
maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau membabarkan syair 367 ini, berkenaan kisah seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berdana lima macam hasil pertama yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi pada tempat nasinya.
Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan istrinya itu dengan kemampuan batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi brahmana dan istrinya mencapai tingkat kesucian anagami. Oleh karena itu Sang Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta.
Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke bagian dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri dekat brahmana itu melihat Sang Buddha tiba, tetapi ia khawatir apabila suaminya melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumah untuk berpindapatta, suaminya itu akan memberikan seluruh nasi yang ada pada tempat nasinya kepada Sang Buddha, sehingga ia harus menanak nasi lagi.
Dengan pikiran seperti itu wanita itu kemudian berdiri menghalangi penglihatan suaminya, sehingga suaminya tidak bisa melihat Sang Buddha. Kemudian wanita itu perlahan-lahan berjalan menghampiri Sang Buddha, ia menghormat dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, kita tidak bisa berdana makanan pada hari ini."
Tetapi Sang Buddha memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat Beliau berdiri. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal itu, isteri brahmana tidak dapat menahan diri, ia ketawa.
Oleh karena itu brahmana membalikkan dirinya dan melihat Sang Buddha. Mengetahui apa yang dilakukan oleh isterinya itu, brahmana menjerit, "O, isteriku yang buruk, engkau telah meruntuhkan aku."
Segera brahmana mengambil tempat nasinya. Ia menghampiri Sang Buddha dan memohon maaf sambil berkata, "Bhante, silakan menerima pemberian nasi ini meskipun saya sudah mengambilnya sebagian." Kepada brahmana itu, Sang Buddha membalas, "O brahmana, nasi apapun sesuai buat-Ku, apakah nasi itu belum diambil, atau sudah sebagian diambil, bahkan sisa satu sendok terakhir.”
Brahmana sangat gembira mendengar kata-kata Sang Buddha. Pada saat yang sama ia merasa berbahagia karena pemberian nasinya telah diterima oleh Sang Buddha.
Brahmana itu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, dengan ukuran apa seorang bhikkhu dapat dinilai dan bagaimana seseorang bisa dikenal, dan disebut sebagai bhikkhu. Sang Buddha mengetahui bahwa baik brahmana maupun isterinya telah siap mendengarkan ajaran Beliau perihal batin dan badan jasmani.
Oleh karena itu Beliau menjawab, "O brahmana, seseorang yang tidak lagi terikat kepada batin dan badan jasmani disebut bhikkhu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
“Sabbaso nāmarūpasmiṃ yassa n’atthi mamāyitaṃ
asatā ca na socati sa ve "bhikkhū" ti vuccati.”
Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku" atau "milikku", baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani, dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.
Brahmana dan isterinya mencapai tingkat kesucian anagami, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(367) Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku" atau "milikku",
baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani,
dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya,
maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau membabarkan syair 367 ini, berkenaan kisah seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berdana lima macam hasil pertama yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi pada tempat nasinya.
Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan istrinya itu dengan kemampuan batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi brahmana dan istrinya mencapai tingkat kesucian anagami. Oleh karena itu Sang Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta.
Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke bagian dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri dekat brahmana itu melihat Sang Buddha tiba, tetapi ia khawatir apabila suaminya melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumah untuk berpindapatta, suaminya itu akan memberikan seluruh nasi yang ada pada tempat nasinya kepada Sang Buddha, sehingga ia harus menanak nasi lagi.
Dengan pikiran seperti itu wanita itu kemudian berdiri menghalangi penglihatan suaminya, sehingga suaminya tidak bisa melihat Sang Buddha. Kemudian wanita itu perlahan-lahan berjalan menghampiri Sang Buddha, ia menghormat dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, kita tidak bisa berdana makanan pada hari ini."
Tetapi Sang Buddha memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat Beliau berdiri. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal itu, isteri brahmana tidak dapat menahan diri, ia ketawa.
Oleh karena itu brahmana membalikkan dirinya dan melihat Sang Buddha. Mengetahui apa yang dilakukan oleh isterinya itu, brahmana menjerit, "O, isteriku yang buruk, engkau telah meruntuhkan aku."
Segera brahmana mengambil tempat nasinya. Ia menghampiri Sang Buddha dan memohon maaf sambil berkata, "Bhante, silakan menerima pemberian nasi ini meskipun saya sudah mengambilnya sebagian." Kepada brahmana itu, Sang Buddha membalas, "O brahmana, nasi apapun sesuai buat-Ku, apakah nasi itu belum diambil, atau sudah sebagian diambil, bahkan sisa satu sendok terakhir.”
Brahmana sangat gembira mendengar kata-kata Sang Buddha. Pada saat yang sama ia merasa berbahagia karena pemberian nasinya telah diterima oleh Sang Buddha.
Brahmana itu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, dengan ukuran apa seorang bhikkhu dapat dinilai dan bagaimana seseorang bisa dikenal, dan disebut sebagai bhikkhu. Sang Buddha mengetahui bahwa baik brahmana maupun isterinya telah siap mendengarkan ajaran Beliau perihal batin dan badan jasmani.
Oleh karena itu Beliau menjawab, "O brahmana, seseorang yang tidak lagi terikat kepada batin dan badan jasmani disebut bhikkhu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
“Sabbaso nāmarūpasmiṃ yassa n’atthi mamāyitaṃ
asatā ca na socati sa ve "bhikkhū" ti vuccati.”
Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku" atau "milikku", baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani, dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.
Brahmana dan isterinya mencapai tingkat kesucian anagami, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Wednesday, 14 April 2010
Kisah Bhikkhu-bhikkhu Yang Berjumlah Banyak (Dhammapada 25 : 368-376)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(368) Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih,
dan memiliki keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha,
maka ia akan sampai pada keadaan damai (nibbana),
yang merupakan berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara).
(369) O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini.
Apabila telah dikosongkan maka perahu ini akan melaju dengan pesat.
Setelah memutuskan nafsu keinginan dan kebencian,
maka engkau akan mencapai nibbana.
(370) Putuskanlah lima kelompok belenggu pertama (dari sepuluh belenggu),
dan singkirkanlah lima kelompok kedua (dari sepuluh belenggu),
serta kembangkan lagi lima kekuatan
(keyakinan, perhatian, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan) secara sempurna.
Apabila seorang bhikkhu telah bebas dari lima belenggu,
maka ia disebut seorang "Penyeberang Arus".
(371) Bermeditasilah, O bhikkhu! Jangan lengah!
Jangan biarkan pikiranmu berpaling pada kesenangan indria!
Jangan karena lengah maka engkau harus menelan bola besi yang membara!
Dan ketika terbakar janganlah meratap "O, hal ini sungguh menyakitkan !"
(372) Tak ada samadhi dalam diri orang yang tidak memiliki kebijaksanaan.
Dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang yang tidak bersamadi.
Orang yang memiliki samadhi dan kebijaksanaan,
sesungguhnya sudah berada di ambang pintu Nibbana.
(373) Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat sepi (untuk bermeditasi),
telah menenangkan pikirannya,
dan telah dapat melihat Dhamma dengan jelas,
akan merasakan kegembiraan yang belum pernah dirasakan oleh orang-orang biasa.
(374) Setiap kali ia melihat dengan jelas akan timbul dan lenyapnya kelompok kehidupan (khandha),
maka ia merasakan kegembiraan dan ketenteraman batin.
Sesungguhnya, bagi mereka yang telah memahami hal itu,
tak akan ada lagi kematian.
(375) Pertama-tama inilah yang harus dikerjakan oleh seorang bhikkhu yang bijaksana,
yaitu : mengendalikan indria-indria, merasa puas dengan apa yang ada,
menjalankan peraturan-peraturan (patimokkha),
serta bergaul dengan teman kehidupan suci (sabrahmacari) yang rajin dan bersemangat.
(376) Hendaklah ia bersikap ramah
dan sopan tingkah lakunya.
Karena merasa gembira dalam menjalankan hal-hal tersebut,
maka ia akan bebas dari penderitaan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Terdapatlah seorang perempuan yang sangat kaya bertempat tinggal di kota Kuraraghara, kira-kira berjarak 120 yojana dari kota Savatthi. Ia mempunyai seorang putera yang telah menjadi bhikkhu, namanya Sona. Pada suatu kesempatan, bhikkhu Sona berjalan melewati kota kelahirannya.
Pada waktu bhikkhu Sona pulang menuju Vihara Jetavana, ia bertemu dengan ibunya, dan ibunya mengundang bhikkhu Sona untuk menerima sejumlah besar persembahan. Mengetahui bhikkhu Sona dapat menguraikan Dhamma dengan baik, ibunya juga memohon bhikkhu Sona untuk membabarkan Dhamma kepadanya dan orang-orang lain di kota kelahirannya itu.
Bhikkhu Sona menerima permohonan tersebut. Ibunya membangun sebuah bangsal Dhamma yang dapat menampung banyak orang untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ibu itu juga mengundang banyak teman, tetangga, dan anggota keluarganya untuk hadir dalam pembabaran Dhamma tersebut. Ibu kaya itu meninggalkan rumahnya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan perempuan.
Ketika pembabaran Dhamma sedang berlangsung, datanglah kawanan pencuri yang berjumlah sembilan ratus orang ke rumah ibu kaya itu. Pemimpin dari kawanan pencuri itu sengaja pergi ke bangsal Dhamma, tempat pembabaran Dhamma sedang berlangsung, dan pemimpin itu berada dekat serta memperhatikan gerak-gerik si ibu kaya. Tujuannya adalah untuk membunuh ibu itu jika kembali ke rumah ketika pencurian sedang berlangsung.
Ketika pelayan itu mengetahui banyak pencuri datang memasuki rumah majikannya, ia segera melaporkan hal itu kepada si ibu kaya, tetapi si ibu hanya menjawab, "Biarkan pencuri-pencuri itu mengambil seluruh uangku, saya tidak peduli, tetapi engkau jangan kemari lagi, jangan mengganggu saya saat saya sedang mendengar Dhamma. Engkau sebaiknya kembali saja."
Pelayan itu kembali ke rumah majikannya, disana ia melihat para pencuri sedang masuk ke ruang penyimpanan perak milik majikannya. Pelayan itu kembali pergi menemui si ibu kaya di bangsal Dhamma, memberitahukan apa yang sedang dilakukan oleh para pencuri. Tetapi, pembantu rumah tangga itu mendapatkan jawaban yang sama seperti semula. Ia pulang kembali ke rumah majikannya.
Selanjutnya pelayan itu melihat para pencuri memasukin ruang penyimpanan emas milik majikannya. Ia pergi kembali melaporkan hal itu kepada majikannya. Saat itu si ibu mengatakan, "O sayang, biarkanlah pencuri-pencuri itu mengambil apa yang mereka sukai; mengapa engkau datang kemari lagi dan mengganggu saya saat sedang mendengarkan Dhamma? Mengapa engkau tidak pulang dan tinggal di rumah saja seperti apa yang sudah saya katakan padamu ? Janganlah engkau mengganggu kembali mendekati saya dan mengatakan perihal barang-barang atau pencuri-pencuri itu lagi."
Pemimpin para pencuri yang berada dekat dengan si ibu itu mendengarkan semua perkataan yang sudah diucapkan oleh si ibu, dan ia benar-benar mengagumi keyakinan ibu itu terhadap Dhamma. Kata-katanya juga menjadikan dirinya berpikir, "Jika kami mengambil barang-barang orang yang bijaksana dan mulia seperti ibu ini, kami benar-benar akan terkutuk, kehidupan kami akan mengalami kehancuran, dan bisa jadi badan kami akan hancur berkeping-keping."
Pemimpin itu menjadi kuatir akan kemungkinan yang dipikirkannya itu, segera ia pergi ke rumah si ibu dan menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan seluruh barang milik si ibu yang telah mereka ambil. Kemudian ia mengajak pengikut-pengikutnya ke tempat si ibu berada. Ibu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan sepenuh hati di bangsal Dhamma.
Sona Thera mengakhiri pembabaran Dhamma-nya ketika hari menjelang pagi hari. Ia turun dari tempat pembabaran Dhamma (Dhamma-asana), dan menuju ke tempat duduk yang telah disediakan.
Pemimpin para pencuri mendekati si ibu kaya, perempuan bijaksana, memberi hormat kepadanya dan memperkenalkan dirinya. Ia juga mengatakan kepada si ibu bahwa ia bersama kawan-kawannya telah memasuki rumah si ibu dan mengambil barang-barang berharga tetapi ia telah mengembalikan seluruh barang itu sesudah ia mendengar kata-kata si ibu kepada pembantu rumah tangganya yang melaporkan kejadian pencurian itu. Sang pemimpin beserta para pengikutnya memohon si ibu untuk memaafkan segala perbuatan buruk yang telah mereka lakukan.
Selanjutnya mereka memohon kepada Sona Thera untuk diterima sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha). Setelah mereka ditahbiskan menjadi bhikkhu, sembilan ratus bhikkhu baru itu mendapat bimbingan meditasi dari Sona Thera, dan mereka pergi ke hutan untuk melatih diri bermeditasi di tengah-tengah kesunyian.
Dari jarak 120 yojana, Sang Buddha mengetahui kisah para bhikkhu itu, dan mengirim bayangan diriNya kepada mereka sehingga seolah-olah Beliau berada di tengah-tengah mereka.
Kepada mereka secara pribadi, Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
“Mettāvihārī yo bhikkhu
pasanno buddhasāsane
adhigacche padaṃ santaṃ
saṃkhārūpasamaṃ sukhaṃ.
siñca bhikkhu imaṃ nāvaṃ, sittā te lahum essati,
chetvā rāgañ ca dosañ ca tato nibbānam ehisi.
pañca chinde pañca jahe pañca vuttaribhāvaye
pañcasaṅgātigo bhikkhu oghatiṇṇo ti vuccati.
jhāya bhikkhu mā ca pāmado
mā te kāmagune bhamassu cittaṃ,
mā lohaguḷaṃ gilī pamatto,
mā kandī ‘dukkham idan’ ti ḍayhamāno.
n’atthi jhānaṃ apaññassa paññā n’atthi ajhāyato
yamhi jhānañ ca paññā ca sa ve nibbanasantike.
sunnāgāraṃ paviṭṭhassa santacittassa bhikkhuno
amānusī ratī hoti sammā dhammaṃ vipassato.
yato yato sammasati khandhānaṃ udayavyayaṃ
labhatī pītipāmojjaṃ amataṃ taṃ vijānataṃ.
tatrāyam ādi bhavati idha paññassa bhikkhuno:
indriyaguttī santuṭṭhī pātimokkhe ca saṃvaro.
mitte bhajassu kalyāṇe suddhājīve atandite
paṭisanthāravutt’ assa ācārakusalo siyā,
tato pāmojjabahulo dukkhass’ antaṃ karissati.”
Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih, dan memiliki keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada keadaan damai (nibbana), yang merupakan berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara).
O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini. Apabila telah dikosongkan maka perahu ini akan melaju dengan pesat. Setelah memutuskan nafsu keinginan dan kebencian, maka engkau akan mencapai nibbana.
Putuskanlah lima kelompok belenggu pertama (dari sepuluh belenggu), dan singkirkanlah lima kelompok kedua (dari sepuluh belenggu), serta kembangkan lagi lima kekuatan (keyakinan, perhatian, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan) secara sempurna. Apabila seorang bhikkhu telah bebas dari lima belenggu, maka ia disebut seorang "Penyeberang Arus".
Bermeditasilah, O bhikkhu! Jangan lengah! Jangan biarkan pikiranmu berpaling pada kesenangan indria! Jangan karena lengah maka engkau harus menelan bola besi yang membara! Dan ketika terbakar janganlah meratap "O, hal ini sungguh menyakitkan !"
Tak ada samadi dalam diri orang yang tidak memiliki kebijaksanaan. Dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang yang tidak bersamadi. Orang yang memiliki samadi dan kebijaksanaan, sesungguhnya sudah berada di ambang pintu Nibbana.
Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat sepi (untuk bermeditasi), telah menenangkan pikirannya, dan telah dapat melihat Dhamma dengan jelas, akan merasakan kegembiraan yang belum pernah dirasakan oleh orang-orang biasa.
Setiap kali ia melihat dengan jelas akan timbul dan lenyapnya kelompok kehidupan (khandha), maka ia merasakan kegembiraan dan ketenteraman batin. Sesungguhnya, bagi mereka yang telah memahami hal itu, tak akan ada lagi kematian.
Pertama-tama inilah yang harus dikerjakan oleh seorang bhikkhu yang bijaksana, yaitu : mengendalikan indria-indria, merasa puas dengan apa yang ada, menjalankan peraturan-peraturan (patimokkha), serta bergaul dengan teman kehidupan suci (sabrahmacari) yang rajin dan bersemangat.
Hendaklah ia bersikap ramah dan sopan tingkah lakunya. Karena merasa gembira dalam menjalankan hal-hal tersebut, maka ia akan bebas dari penderitaan.
Setiap akhir satu syair di atas dibabarkan, seratus dari sembilan ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.
(368) Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih,
dan memiliki keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha,
maka ia akan sampai pada keadaan damai (nibbana),
yang merupakan berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara).
(369) O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini.
Apabila telah dikosongkan maka perahu ini akan melaju dengan pesat.
Setelah memutuskan nafsu keinginan dan kebencian,
maka engkau akan mencapai nibbana.
(370) Putuskanlah lima kelompok belenggu pertama (dari sepuluh belenggu),
dan singkirkanlah lima kelompok kedua (dari sepuluh belenggu),
serta kembangkan lagi lima kekuatan
(keyakinan, perhatian, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan) secara sempurna.
Apabila seorang bhikkhu telah bebas dari lima belenggu,
maka ia disebut seorang "Penyeberang Arus".
(371) Bermeditasilah, O bhikkhu! Jangan lengah!
Jangan biarkan pikiranmu berpaling pada kesenangan indria!
Jangan karena lengah maka engkau harus menelan bola besi yang membara!
Dan ketika terbakar janganlah meratap "O, hal ini sungguh menyakitkan !"
(372) Tak ada samadhi dalam diri orang yang tidak memiliki kebijaksanaan.
Dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang yang tidak bersamadi.
Orang yang memiliki samadhi dan kebijaksanaan,
sesungguhnya sudah berada di ambang pintu Nibbana.
(373) Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat sepi (untuk bermeditasi),
telah menenangkan pikirannya,
dan telah dapat melihat Dhamma dengan jelas,
akan merasakan kegembiraan yang belum pernah dirasakan oleh orang-orang biasa.
(374) Setiap kali ia melihat dengan jelas akan timbul dan lenyapnya kelompok kehidupan (khandha),
maka ia merasakan kegembiraan dan ketenteraman batin.
Sesungguhnya, bagi mereka yang telah memahami hal itu,
tak akan ada lagi kematian.
(375) Pertama-tama inilah yang harus dikerjakan oleh seorang bhikkhu yang bijaksana,
yaitu : mengendalikan indria-indria, merasa puas dengan apa yang ada,
menjalankan peraturan-peraturan (patimokkha),
serta bergaul dengan teman kehidupan suci (sabrahmacari) yang rajin dan bersemangat.
(376) Hendaklah ia bersikap ramah
dan sopan tingkah lakunya.
Karena merasa gembira dalam menjalankan hal-hal tersebut,
maka ia akan bebas dari penderitaan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Terdapatlah seorang perempuan yang sangat kaya bertempat tinggal di kota Kuraraghara, kira-kira berjarak 120 yojana dari kota Savatthi. Ia mempunyai seorang putera yang telah menjadi bhikkhu, namanya Sona. Pada suatu kesempatan, bhikkhu Sona berjalan melewati kota kelahirannya.
Pada waktu bhikkhu Sona pulang menuju Vihara Jetavana, ia bertemu dengan ibunya, dan ibunya mengundang bhikkhu Sona untuk menerima sejumlah besar persembahan. Mengetahui bhikkhu Sona dapat menguraikan Dhamma dengan baik, ibunya juga memohon bhikkhu Sona untuk membabarkan Dhamma kepadanya dan orang-orang lain di kota kelahirannya itu.
Bhikkhu Sona menerima permohonan tersebut. Ibunya membangun sebuah bangsal Dhamma yang dapat menampung banyak orang untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ibu itu juga mengundang banyak teman, tetangga, dan anggota keluarganya untuk hadir dalam pembabaran Dhamma tersebut. Ibu kaya itu meninggalkan rumahnya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan perempuan.
Ketika pembabaran Dhamma sedang berlangsung, datanglah kawanan pencuri yang berjumlah sembilan ratus orang ke rumah ibu kaya itu. Pemimpin dari kawanan pencuri itu sengaja pergi ke bangsal Dhamma, tempat pembabaran Dhamma sedang berlangsung, dan pemimpin itu berada dekat serta memperhatikan gerak-gerik si ibu kaya. Tujuannya adalah untuk membunuh ibu itu jika kembali ke rumah ketika pencurian sedang berlangsung.
Ketika pelayan itu mengetahui banyak pencuri datang memasuki rumah majikannya, ia segera melaporkan hal itu kepada si ibu kaya, tetapi si ibu hanya menjawab, "Biarkan pencuri-pencuri itu mengambil seluruh uangku, saya tidak peduli, tetapi engkau jangan kemari lagi, jangan mengganggu saya saat saya sedang mendengar Dhamma. Engkau sebaiknya kembali saja."
Pelayan itu kembali ke rumah majikannya, disana ia melihat para pencuri sedang masuk ke ruang penyimpanan perak milik majikannya. Pelayan itu kembali pergi menemui si ibu kaya di bangsal Dhamma, memberitahukan apa yang sedang dilakukan oleh para pencuri. Tetapi, pembantu rumah tangga itu mendapatkan jawaban yang sama seperti semula. Ia pulang kembali ke rumah majikannya.
Selanjutnya pelayan itu melihat para pencuri memasukin ruang penyimpanan emas milik majikannya. Ia pergi kembali melaporkan hal itu kepada majikannya. Saat itu si ibu mengatakan, "O sayang, biarkanlah pencuri-pencuri itu mengambil apa yang mereka sukai; mengapa engkau datang kemari lagi dan mengganggu saya saat sedang mendengarkan Dhamma? Mengapa engkau tidak pulang dan tinggal di rumah saja seperti apa yang sudah saya katakan padamu ? Janganlah engkau mengganggu kembali mendekati saya dan mengatakan perihal barang-barang atau pencuri-pencuri itu lagi."
Pemimpin para pencuri yang berada dekat dengan si ibu itu mendengarkan semua perkataan yang sudah diucapkan oleh si ibu, dan ia benar-benar mengagumi keyakinan ibu itu terhadap Dhamma. Kata-katanya juga menjadikan dirinya berpikir, "Jika kami mengambil barang-barang orang yang bijaksana dan mulia seperti ibu ini, kami benar-benar akan terkutuk, kehidupan kami akan mengalami kehancuran, dan bisa jadi badan kami akan hancur berkeping-keping."
Pemimpin itu menjadi kuatir akan kemungkinan yang dipikirkannya itu, segera ia pergi ke rumah si ibu dan menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan seluruh barang milik si ibu yang telah mereka ambil. Kemudian ia mengajak pengikut-pengikutnya ke tempat si ibu berada. Ibu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan sepenuh hati di bangsal Dhamma.
Sona Thera mengakhiri pembabaran Dhamma-nya ketika hari menjelang pagi hari. Ia turun dari tempat pembabaran Dhamma (Dhamma-asana), dan menuju ke tempat duduk yang telah disediakan.
Pemimpin para pencuri mendekati si ibu kaya, perempuan bijaksana, memberi hormat kepadanya dan memperkenalkan dirinya. Ia juga mengatakan kepada si ibu bahwa ia bersama kawan-kawannya telah memasuki rumah si ibu dan mengambil barang-barang berharga tetapi ia telah mengembalikan seluruh barang itu sesudah ia mendengar kata-kata si ibu kepada pembantu rumah tangganya yang melaporkan kejadian pencurian itu. Sang pemimpin beserta para pengikutnya memohon si ibu untuk memaafkan segala perbuatan buruk yang telah mereka lakukan.
Selanjutnya mereka memohon kepada Sona Thera untuk diterima sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha). Setelah mereka ditahbiskan menjadi bhikkhu, sembilan ratus bhikkhu baru itu mendapat bimbingan meditasi dari Sona Thera, dan mereka pergi ke hutan untuk melatih diri bermeditasi di tengah-tengah kesunyian.
Dari jarak 120 yojana, Sang Buddha mengetahui kisah para bhikkhu itu, dan mengirim bayangan diriNya kepada mereka sehingga seolah-olah Beliau berada di tengah-tengah mereka.
Kepada mereka secara pribadi, Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :
“Mettāvihārī yo bhikkhu
pasanno buddhasāsane
adhigacche padaṃ santaṃ
saṃkhārūpasamaṃ sukhaṃ.
siñca bhikkhu imaṃ nāvaṃ, sittā te lahum essati,
chetvā rāgañ ca dosañ ca tato nibbānam ehisi.
pañca chinde pañca jahe pañca vuttaribhāvaye
pañcasaṅgātigo bhikkhu oghatiṇṇo ti vuccati.
jhāya bhikkhu mā ca pāmado
mā te kāmagune bhamassu cittaṃ,
mā lohaguḷaṃ gilī pamatto,
mā kandī ‘dukkham idan’ ti ḍayhamāno.
n’atthi jhānaṃ apaññassa paññā n’atthi ajhāyato
yamhi jhānañ ca paññā ca sa ve nibbanasantike.
sunnāgāraṃ paviṭṭhassa santacittassa bhikkhuno
amānusī ratī hoti sammā dhammaṃ vipassato.
yato yato sammasati khandhānaṃ udayavyayaṃ
labhatī pītipāmojjaṃ amataṃ taṃ vijānataṃ.
tatrāyam ādi bhavati idha paññassa bhikkhuno:
indriyaguttī santuṭṭhī pātimokkhe ca saṃvaro.
mitte bhajassu kalyāṇe suddhājīve atandite
paṭisanthāravutt’ assa ācārakusalo siyā,
tato pāmojjabahulo dukkhass’ antaṃ karissati.”
Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih, dan memiliki keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada keadaan damai (nibbana), yang merupakan berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara).
O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini. Apabila telah dikosongkan maka perahu ini akan melaju dengan pesat. Setelah memutuskan nafsu keinginan dan kebencian, maka engkau akan mencapai nibbana.
Putuskanlah lima kelompok belenggu pertama (dari sepuluh belenggu), dan singkirkanlah lima kelompok kedua (dari sepuluh belenggu), serta kembangkan lagi lima kekuatan (keyakinan, perhatian, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan) secara sempurna. Apabila seorang bhikkhu telah bebas dari lima belenggu, maka ia disebut seorang "Penyeberang Arus".
Bermeditasilah, O bhikkhu! Jangan lengah! Jangan biarkan pikiranmu berpaling pada kesenangan indria! Jangan karena lengah maka engkau harus menelan bola besi yang membara! Dan ketika terbakar janganlah meratap "O, hal ini sungguh menyakitkan !"
Tak ada samadi dalam diri orang yang tidak memiliki kebijaksanaan. Dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang yang tidak bersamadi. Orang yang memiliki samadi dan kebijaksanaan, sesungguhnya sudah berada di ambang pintu Nibbana.
Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat sepi (untuk bermeditasi), telah menenangkan pikirannya, dan telah dapat melihat Dhamma dengan jelas, akan merasakan kegembiraan yang belum pernah dirasakan oleh orang-orang biasa.
Setiap kali ia melihat dengan jelas akan timbul dan lenyapnya kelompok kehidupan (khandha), maka ia merasakan kegembiraan dan ketenteraman batin. Sesungguhnya, bagi mereka yang telah memahami hal itu, tak akan ada lagi kematian.
Pertama-tama inilah yang harus dikerjakan oleh seorang bhikkhu yang bijaksana, yaitu : mengendalikan indria-indria, merasa puas dengan apa yang ada, menjalankan peraturan-peraturan (patimokkha), serta bergaul dengan teman kehidupan suci (sabrahmacari) yang rajin dan bersemangat.
Hendaklah ia bersikap ramah dan sopan tingkah lakunya. Karena merasa gembira dalam menjalankan hal-hal tersebut, maka ia akan bebas dari penderitaan.
Setiap akhir satu syair di atas dibabarkan, seratus dari sembilan ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Tuesday, 13 April 2010
Kisah Lima Ratus Bhikkhu (Dhammapada 25 : 377)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(377) Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat)
menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering,
begitu pula hendaknya engkau,
O bhikkhu, membuang nafsu dan dendam.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Lima ratus bhikkhu dari Savatthi, setelah memperoleh petunjuk meditasi dari Sang Buddha, pergi menuju hutan untuk berlatih meditasi. Di hutan, mereka melihat bunga-bunga melati yang mekar di pagi hari dan jatuh dari pohonnya ke tanah pada sore hari. Kemudian para bhikkhu membuat keputusan untuk berlatih keras membebaskan diri dari kekotoran batin seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya. Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui mereka dari kamar harum. Kemudian Beliau mengirimkan sinar dan membuat mereka merasakan kehadiran-Nya. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya, demikian juga hendaknya seorang bhikkhu berupaya keras melepaskan dirinya dari proses tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Vassikā viya puppāhani maddavāni pamuñcati
evaṃ rāgañ ca dosañ ca vippamuñcetha bhikkhavo."
Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat)
menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering,
begitu pula hendaknya engkau,
O bhikkhu, membuang nafsu dan dendam.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(377) Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat)
menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering,
begitu pula hendaknya engkau,
O bhikkhu, membuang nafsu dan dendam.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Lima ratus bhikkhu dari Savatthi, setelah memperoleh petunjuk meditasi dari Sang Buddha, pergi menuju hutan untuk berlatih meditasi. Di hutan, mereka melihat bunga-bunga melati yang mekar di pagi hari dan jatuh dari pohonnya ke tanah pada sore hari. Kemudian para bhikkhu membuat keputusan untuk berlatih keras membebaskan diri dari kekotoran batin seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya. Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui mereka dari kamar harum. Kemudian Beliau mengirimkan sinar dan membuat mereka merasakan kehadiran-Nya. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya, demikian juga hendaknya seorang bhikkhu berupaya keras melepaskan dirinya dari proses tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Vassikā viya puppāhani maddavāni pamuñcati
evaṃ rāgañ ca dosañ ca vippamuñcetha bhikkhavo."
Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat)
menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering,
begitu pula hendaknya engkau,
O bhikkhu, membuang nafsu dan dendam.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Monday, 12 April 2010
Kisah Santakaya Thera (Dhammapada 25 : 378)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(378) Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta pikiran
yang tenang dan terpusat,
yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi,
maka ia adalah orang yang benar-benar damai.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Terdapat seorang Thera bernama Santakaya, yang dalam kehidupan lampaunya hidup sebagai singa. Biasanya dikatakan bahwa singa-singa pada umumnya pergi seharian mencari makan, kemudian akan beristirahat selama satu minggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Santakaya Thera yang hidup sebagai singa dalam kehidupannya yang lampau mempunyai kebiasaan juga seperti singa. Ia bergerak sangat sedikit, geraknya sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta terpusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa sangat aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal itu kepada Sang Buddha.
Setelah mendengar keterangan dari para bhikkhu, Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berperilaku seperti Santakaya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Santakāyo santavāco santavā susamāhito
vantalokāmiso bhikkhu upasanto ti vuccati."
Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan,
serta pikiran yang tenang dan terpusat,
yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi,
maka ia adalah orang yang benar-benar damai.
Santakaya Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(378) Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta pikiran
yang tenang dan terpusat,
yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi,
maka ia adalah orang yang benar-benar damai.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Terdapat seorang Thera bernama Santakaya, yang dalam kehidupan lampaunya hidup sebagai singa. Biasanya dikatakan bahwa singa-singa pada umumnya pergi seharian mencari makan, kemudian akan beristirahat selama satu minggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Santakaya Thera yang hidup sebagai singa dalam kehidupannya yang lampau mempunyai kebiasaan juga seperti singa. Ia bergerak sangat sedikit, geraknya sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta terpusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa sangat aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal itu kepada Sang Buddha.
Setelah mendengar keterangan dari para bhikkhu, Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berperilaku seperti Santakaya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Santakāyo santavāco santavā susamāhito
vantalokāmiso bhikkhu upasanto ti vuccati."
Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan,
serta pikiran yang tenang dan terpusat,
yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi,
maka ia adalah orang yang benar-benar damai.
Santakaya Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Sunday, 11 April 2010
Kisah Nangalakula Thera (Dhammapada 25 : 379-380)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(379) Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri.
O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri,
dan selalu sadar,
maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.
(380) Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.
Bagaimana bisa orang lain menjadi pelindung bagi seseorang?
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Oleh karena itu, kendalikan dirimu sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.
------------------------------------------------------------------------------------------
Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja pada seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasehatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).
Kehidupan di vihara lebih baik maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumahtangga.
Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar ?" Setelah berpikir seperti itu, ketidakpuasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.
Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya."
Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti ke pohon lagi. Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada gurumu?" Kepada mereka ia menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya." Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu tidak mungkin benar; ia pasti membual, ia pasti berbohong."
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Attanā coday’attānaṃ paṭimāse attam attanā,
so attagutto satimā sukhaṃ bhikkhu vihāhisi.
Attā hi attano nātho attā hi attano gati,
tasmā saññāmay’attānaṃ assaṃ bhadraṃ va vāṇijo."
Engkaulah yang harus mengingatkan
dan memeriksa dirimu sendiri.
O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga
dirimu sendiri dan selalu sadar,
maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.
Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.
Bagaimana bisa orang lain menjadi pelindung bagi seseorang?
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.
(379) Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri.
O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri,
dan selalu sadar,
maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.
(380) Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.
Bagaimana bisa orang lain menjadi pelindung bagi seseorang?
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Oleh karena itu, kendalikan dirimu sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.
------------------------------------------------------------------------------------------
Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja pada seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasehatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).
Kehidupan di vihara lebih baik maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumahtangga.
Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar ?" Setelah berpikir seperti itu, ketidakpuasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.
Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya."
Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti ke pohon lagi. Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada gurumu?" Kepada mereka ia menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya." Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu tidak mungkin benar; ia pasti membual, ia pasti berbohong."
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Attanā coday’attānaṃ paṭimāse attam attanā,
so attagutto satimā sukhaṃ bhikkhu vihāhisi.
Attā hi attano nātho attā hi attano gati,
tasmā saññāmay’attānaṃ assaṃ bhadraṃ va vāṇijo."
Engkaulah yang harus mengingatkan
dan memeriksa dirimu sendiri.
O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga
dirimu sendiri dan selalu sadar,
maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.
Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.
Bagaimana bisa orang lain menjadi pelindung bagi seseorang?
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Saturday, 10 April 2010
Kisah Vakkali Thera (Dhammapada 25 : 381)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(381) Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan
terhadap ajaran Sang Buddha,
seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana)
disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemulian Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon ijin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.
Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi. Vakkali menghabiskan waktunya memandangi Sang Buddha. Sang Buddha menunggu batin Vakkali menjadi matang, dan tidak berkata apa-apa.
Suatu hari Sang Buddha mengetahui bahwa batin Vakkali telah matang, maka Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya." Dan menyuruh Vakkali pergi. Mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan. Ia meninggalkan Sang Buddha, dan memanjat bukit Gijjhakuta hendak bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit.
Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputus-asaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan dapat kehilangan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena itu Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Pāmojjabahulo bhikkhu
pasanno Buddhasāsane
adhigacche padaṃ santaṃ
saṃkhārūpasamaṃ sukhaṃ."
Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan
terhadap ajaran Sang Buddha,
seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana)
disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
-------
Notes :
Kisah Vakkali ini ada diceritakan juga di Theragatha dan Samyutta Nikaya, tetapi agak berbeda sedikit kejadiannya.
(381) Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan
terhadap ajaran Sang Buddha,
seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana)
disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemulian Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon ijin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.
Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi. Vakkali menghabiskan waktunya memandangi Sang Buddha. Sang Buddha menunggu batin Vakkali menjadi matang, dan tidak berkata apa-apa.
Suatu hari Sang Buddha mengetahui bahwa batin Vakkali telah matang, maka Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya." Dan menyuruh Vakkali pergi. Mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan. Ia meninggalkan Sang Buddha, dan memanjat bukit Gijjhakuta hendak bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit.
Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputus-asaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan dapat kehilangan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena itu Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Pāmojjabahulo bhikkhu
pasanno Buddhasāsane
adhigacche padaṃ santaṃ
saṃkhārūpasamaṃ sukhaṃ."
Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan
terhadap ajaran Sang Buddha,
seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana)
disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
-------
Notes :
Kisah Vakkali ini ada diceritakan juga di Theragatha dan Samyutta Nikaya, tetapi agak berbeda sedikit kejadiannya.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Friday, 9 April 2010
Kisah Samanera Sumana (Dhammapada 25 : 382)
XXV. Bhikkhu Vagga - Bhikkhu
(382) Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda,
namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha,
maka ia akan menerangi dunia ini,
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
----------------------------------------------------------------------------------------
Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya, Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersendau gurau menanyakan apa ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.
Maka Buddha menyatakan bahwa beliau menginginkan beberapa samanera untuk mengambil air satu guci dari danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A. Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti sebelumnya, ia pergi ke danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Yo have daharo bhikkhu yuñjate Buddhasāsane
so' maṃ lokaṃ pabhāseti abbhā mutto va candimā."
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda,
namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha,
maka ia akan menerangi dunia ini,
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
----------
Notes :
Kisah di kehidupan sebelumnya.
Di masa Buddha Padumuttara, seorang pemuda (sekarang Anuruddha Thera) melihat seorang bhikkhu dinyatakan sebagai yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu (mata batin/mata dewa). Setelah memberikan dana makanan selama 7 hari kepada Sangha, ia ber-adhiṭṭhāna (bertekad) untuk menjadi murid Buddha yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu. Ketika Sang Buddha parinibbana, sebagai penghormatan terakhirnya, ia juga berdana ribuan pelita sebagai persembahan. Setelah meninggal dunia, pemuda itu terlahir di alam para dewa, dan setelah berulang kali terlahir dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya selama seratus ribu kehidupan, ia terlahir kembali sebagai orang miskin bernama Annabhara. Ia bekerja sebagai pemotong rumput bagi Bendahara kaya Sumana.
Suatu hari Annabhara bertemu dengan seorang Paccekabuddha bernama Uparittha. Melihat patta (mangkuk) beliau masih kosong, ia meminta beliau untuk menunggu sebentar. Ia segera pulang, bertanya kepada isterinya, apakah ada makanan untuk dirinya. Isterinya mengiyakan, maka iapun segera memberikan makanannya itu kepada Paccekabuddha Uparittha. Ia berpikir, “Selama ini, ketika aku ingin berdana, aku tidak punya apa-apa untuk didanakan; dan ketika aku punya sesuatu untuk didanakan, aku tidak dapat menemukan siapapun untuk menerima dananya. Hari ini aku beruntung sekali, tidak hanya aku bertemu seseorang untuk menerima danaku, tetapi aku juga memiliki sesuatu untuk didanakan!”
Kali ini ia ber-adhitthana agar ia tidak pernah lagi dilahirkan dalam kehidupan yang menderita dan tidak akan pernah mendengar kata ‘tidak ada’.
Dewa yang tinggal di rumah Bendahara Sumana memuji perbuatan Annabhara, hingga Sumana menjadi sangat tertarik dan menawarkan Annabhara sejumlah uang agar memberikan kebajikan itu kepada Sumana. Setelah mendapat penjelasan dari Paccekabuddha bahwa kebajikan yang dibagi kepada orang lain tidak akan berkurang sama sekali, maka Annabhara dengan senang hati memberikan kebajikan itu kepada Sumana dengan cuma-cuma. Sumana kemudian meminta agar Annabhara menerima uang pemberiannya, melarangnya bekerja lagi, dan mempersilakan untuk mengambil apapun yang diinginkan dari gudang hartanya. Raja yang mendengar kejadian ini, juga memanggil Annabhara, meminta bagian kebajikan Annabhara, memberi banyak kekayaan, dan menjadikannya Bendahara. Maka Annabhara pun menjadi teman baik Sumana.
Setelah melakukan banyak kebajikan lainnya sampai akhir hidupnya, Annabhara meninggal dunia dan terlahir di alam para dewa dan manusia selama beberapa kehidupan, kemudian ia terlahir di masa Buddha Gotama sebagai salah satu pangeran suku Sakya, bernama Anuruddha, dimana ia tidak pernah kesusahan dan tidak pernah mendengar kata ‘tidak ada’. Ketika ibu Anuruddha kehabisan kue-kue dan mengatakan tidak ada lagi, Anuruddha yang tidak mengerti kata ‘tidak ada’ berkata, ya, kirimkan saya kue ‘tidak ada’. Ibunya akhirnya mengirimkan mangkuk kosong dengan tutupnya. Tetapi para dewa mengisinya dengan kue surgawi yang sangat harum dan lezat. Sejak saat itu Anuruddha selalu memesan kue ‘tidak ada’ dan dikirimi mangkuk kosong oleh ibunya, yang kemudian diisi oleh para dewa.
Setelah menjadi bhikkhu dan mencapai Arahat, Anuruddha Thera mengingat kehidupan lampaunya dan berpikir mencari sahabatnya Sumana. Ia melihat bahwa Sumana telah lahir di kota Munda dekat Hutan Vinjha, sebagai anak bungsu bernama Culla Sumana berumur 7 tahun, anak dari Maha Munda. Mengetahui bahwa jika ia kesana Culla Sumana dapat mencapai tingkat kesucian arahat, ia pergi menemui mereka dengan terbang .
Maha Munda dalam kehidupan sebelumnya juga pernah menjadi teman baik Anuruddha Thera, dan ia memberikan persembahan yang banyak kepada Anuruddha Thera. Anuruddha Thera menolak pemberian itu dengan mengatakan bahwa ia tidak memiliki murid pendamping ataupun samanera, Maha Munda mengatakan bahwa anaknya, Culla Sumana, dapat menjadi samanera. Ketika Culla Sumana sedang dicukur rambutnya untuk dijadikan samanera, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
(382) Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda,
namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha,
maka ia akan menerangi dunia ini,
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
----------------------------------------------------------------------------------------
Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya, Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersendau gurau menanyakan apa ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.
Maka Buddha menyatakan bahwa beliau menginginkan beberapa samanera untuk mengambil air satu guci dari danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A. Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti sebelumnya, ia pergi ke danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Yo have daharo bhikkhu yuñjate Buddhasāsane
so' maṃ lokaṃ pabhāseti abbhā mutto va candimā."
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda,
namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha,
maka ia akan menerangi dunia ini,
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
----------
Notes :
Kisah di kehidupan sebelumnya.
Di masa Buddha Padumuttara, seorang pemuda (sekarang Anuruddha Thera) melihat seorang bhikkhu dinyatakan sebagai yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu (mata batin/mata dewa). Setelah memberikan dana makanan selama 7 hari kepada Sangha, ia ber-adhiṭṭhāna (bertekad) untuk menjadi murid Buddha yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu. Ketika Sang Buddha parinibbana, sebagai penghormatan terakhirnya, ia juga berdana ribuan pelita sebagai persembahan. Setelah meninggal dunia, pemuda itu terlahir di alam para dewa, dan setelah berulang kali terlahir dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya selama seratus ribu kehidupan, ia terlahir kembali sebagai orang miskin bernama Annabhara. Ia bekerja sebagai pemotong rumput bagi Bendahara kaya Sumana.
Suatu hari Annabhara bertemu dengan seorang Paccekabuddha bernama Uparittha. Melihat patta (mangkuk) beliau masih kosong, ia meminta beliau untuk menunggu sebentar. Ia segera pulang, bertanya kepada isterinya, apakah ada makanan untuk dirinya. Isterinya mengiyakan, maka iapun segera memberikan makanannya itu kepada Paccekabuddha Uparittha. Ia berpikir, “Selama ini, ketika aku ingin berdana, aku tidak punya apa-apa untuk didanakan; dan ketika aku punya sesuatu untuk didanakan, aku tidak dapat menemukan siapapun untuk menerima dananya. Hari ini aku beruntung sekali, tidak hanya aku bertemu seseorang untuk menerima danaku, tetapi aku juga memiliki sesuatu untuk didanakan!”
Kali ini ia ber-adhitthana agar ia tidak pernah lagi dilahirkan dalam kehidupan yang menderita dan tidak akan pernah mendengar kata ‘tidak ada’.
Dewa yang tinggal di rumah Bendahara Sumana memuji perbuatan Annabhara, hingga Sumana menjadi sangat tertarik dan menawarkan Annabhara sejumlah uang agar memberikan kebajikan itu kepada Sumana. Setelah mendapat penjelasan dari Paccekabuddha bahwa kebajikan yang dibagi kepada orang lain tidak akan berkurang sama sekali, maka Annabhara dengan senang hati memberikan kebajikan itu kepada Sumana dengan cuma-cuma. Sumana kemudian meminta agar Annabhara menerima uang pemberiannya, melarangnya bekerja lagi, dan mempersilakan untuk mengambil apapun yang diinginkan dari gudang hartanya. Raja yang mendengar kejadian ini, juga memanggil Annabhara, meminta bagian kebajikan Annabhara, memberi banyak kekayaan, dan menjadikannya Bendahara. Maka Annabhara pun menjadi teman baik Sumana.
Setelah melakukan banyak kebajikan lainnya sampai akhir hidupnya, Annabhara meninggal dunia dan terlahir di alam para dewa dan manusia selama beberapa kehidupan, kemudian ia terlahir di masa Buddha Gotama sebagai salah satu pangeran suku Sakya, bernama Anuruddha, dimana ia tidak pernah kesusahan dan tidak pernah mendengar kata ‘tidak ada’. Ketika ibu Anuruddha kehabisan kue-kue dan mengatakan tidak ada lagi, Anuruddha yang tidak mengerti kata ‘tidak ada’ berkata, ya, kirimkan saya kue ‘tidak ada’. Ibunya akhirnya mengirimkan mangkuk kosong dengan tutupnya. Tetapi para dewa mengisinya dengan kue surgawi yang sangat harum dan lezat. Sejak saat itu Anuruddha selalu memesan kue ‘tidak ada’ dan dikirimi mangkuk kosong oleh ibunya, yang kemudian diisi oleh para dewa.
Setelah menjadi bhikkhu dan mencapai Arahat, Anuruddha Thera mengingat kehidupan lampaunya dan berpikir mencari sahabatnya Sumana. Ia melihat bahwa Sumana telah lahir di kota Munda dekat Hutan Vinjha, sebagai anak bungsu bernama Culla Sumana berumur 7 tahun, anak dari Maha Munda. Mengetahui bahwa jika ia kesana Culla Sumana dapat mencapai tingkat kesucian arahat, ia pergi menemui mereka dengan terbang .
Maha Munda dalam kehidupan sebelumnya juga pernah menjadi teman baik Anuruddha Thera, dan ia memberikan persembahan yang banyak kepada Anuruddha Thera. Anuruddha Thera menolak pemberian itu dengan mengatakan bahwa ia tidak memiliki murid pendamping ataupun samanera, Maha Munda mengatakan bahwa anaknya, Culla Sumana, dapat menjadi samanera. Ketika Culla Sumana sedang dicukur rambutnya untuk dijadikan samanera, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Labels:
25. Bhikkhu Vagga
Thursday, 8 April 2010
Kisah Brahmana Yang Memiliki Keyakinan Kuat (Dhammapada 26 : 383)
XXVI. Brahmana Vagga - Brahmana
(383) O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan
dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria.
Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi,
O, brahmana, engkau akan merealisasi Nibbana, yang tak terkondisi.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memanggil mereka sebagai ‘arahat’ dan dengan hormat mempersilahkan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "O, bhikkhu, ini hanya pernyataan kegembiraan yang dirasakan oleh brahmana itu; dan tidak ada salahnya dengan pernyataan bhakti/kegembiraan. Sesungguhnya kecintaan Brahmana itu kepada para arahat tak terbatas. Karenanya, sebaiknya kalian pun memotong arus nafsu keinginan dan hanya puas dengan pencapaian yang tidak lebih rendah dari kearahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Chinda sotaṃ parakkamma, kāme panuda brāhmaṇa,
saṃkhārānaṃ khayaṃ ñatvā akataññu si brāhmaṇa."
O, brahmana, berusalah dengan tekun memotong arus keinginan
dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria.
Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi,
O brahmana, engkau akan merealisasi Nibbana, yang tidak berkondisi.
(383) O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan
dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria.
Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi,
O, brahmana, engkau akan merealisasi Nibbana, yang tak terkondisi.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memanggil mereka sebagai ‘arahat’ dan dengan hormat mempersilahkan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "O, bhikkhu, ini hanya pernyataan kegembiraan yang dirasakan oleh brahmana itu; dan tidak ada salahnya dengan pernyataan bhakti/kegembiraan. Sesungguhnya kecintaan Brahmana itu kepada para arahat tak terbatas. Karenanya, sebaiknya kalian pun memotong arus nafsu keinginan dan hanya puas dengan pencapaian yang tidak lebih rendah dari kearahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Chinda sotaṃ parakkamma, kāme panuda brāhmaṇa,
saṃkhārānaṃ khayaṃ ñatvā akataññu si brāhmaṇa."
O, brahmana, berusalah dengan tekun memotong arus keinginan
dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria.
Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi,
O brahmana, engkau akan merealisasi Nibbana, yang tidak berkondisi.
Labels:
26. Brahmana Vagga
Subscribe to:
Posts (Atom)