(57) Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Godhika Thera, pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan  pandangan terang, di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di  Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan  kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya,  dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai  kemajuan beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam  kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai  tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.
Tanpa beristirahat beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya  beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih  perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri  dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat  memusatkan pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau  meninggal.
Ketika Mara mendengar bahwa Godhika  Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan di mana Godhika  Thera tersebut dilahirkan tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti  laki-laki muda, Mara menghampiri Sang Buddha dan bertanya di mana  Godhika Thera sekarang.
Sang Buddha menjawab,  "Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah  terbebas dari kekotoran-kekotoran moral ia mencapai tingkat kesucian  arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak  akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah meninggal dunia".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Tesaṃ sampannasīlānaṃ appamādavihārinaṃ
sammadaññāvimuttānaṃ māro maggaṃ na vindati"
Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.
-------------
Notes :
Sebagian besar pembaca akan bertanya-tanya, bunuh diri bolehkah ?
Tidak ada jawaban mutlak yes or no dalam kitab Tipitaka, dan banyak sekali pendapat pro dan kontra dalam berbagai artikel dan forum-forum mengenai hal ini. Tergantung situasi dan motivasi. Dalam cerita Jataka, Sang Bodhisatta (calon Buddha, sebelum lahir menjadi Pangeran Siddhartha) beberapa kali mengorbankan dirinya untuk makhluk lain. Juga beberapa Arahat sewaktu hendak meninggal mengkremasi tubuhnya sendiri; beliau-beliau duduk bermeditasi dan mengeluarkan api yang membakar tubuhnya.
Yang jelas, jangan ikut-ikutan bunuh diri gara-gara pernah baca Godhika Thera bunuh diri dan mencapai arahat!
Perlu kita ingat, beliau memang sudah dekat sekali dengan tujuannya, sudah 6 kali mencapai jhana, dan hanya terganggu karena penyakitnya yang parah.
Seperti yang kita ketahui dari notes sebelumnya, orang yang telah mencapai Jhana / meninggal dalam jhana, akan dilahirkan di alam Brahma. Sebagian pendapat menyatakan bahwa Godhika Thera bertujuan untuk meninggal saat ia masih mampu mencapai jhana agar dapat lahir kembali di alam brahma, tentunya dengan harapan untuk meneruskan usaha meditasinya yang tinggal sedikit lagi untuk mencapai arahat di alam brahma. Dan nampaknya beliau mampu menjaga pikirannya dengan baik, bahkan melampaui targetnya, dan meraih arahat.
Jangan dibandingkan dengan orang awam biasa yang kemungkinan besar waktu bunuh diri, yang ada di pikiran mereka adalah kebencian, keputus-asaan, ketakutan, dll yang negatif. Jika kita meninggal dunia dengan pikiran-pikiran seperti itu, akibatnya kita akan terseret menuju kelahiran di alam rendah.
Lagipula, kalau orang awam bunuh diri untuk menghindari sesuatu hal, tak ada jaminan dia tak akan menghadapi hal yang sama lagi di kehidupan yang mendatang.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Tesaṃ sampannasīlānaṃ appamādavihārinaṃ
sammadaññāvimuttānaṃ māro maggaṃ na vindati"
Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.
-------------
Notes :
Sebagian besar pembaca akan bertanya-tanya, bunuh diri bolehkah ?
Tidak ada jawaban mutlak yes or no dalam kitab Tipitaka, dan banyak sekali pendapat pro dan kontra dalam berbagai artikel dan forum-forum mengenai hal ini. Tergantung situasi dan motivasi. Dalam cerita Jataka, Sang Bodhisatta (calon Buddha, sebelum lahir menjadi Pangeran Siddhartha) beberapa kali mengorbankan dirinya untuk makhluk lain. Juga beberapa Arahat sewaktu hendak meninggal mengkremasi tubuhnya sendiri; beliau-beliau duduk bermeditasi dan mengeluarkan api yang membakar tubuhnya.
Yang jelas, jangan ikut-ikutan bunuh diri gara-gara pernah baca Godhika Thera bunuh diri dan mencapai arahat!
Perlu kita ingat, beliau memang sudah dekat sekali dengan tujuannya, sudah 6 kali mencapai jhana, dan hanya terganggu karena penyakitnya yang parah.
Seperti yang kita ketahui dari notes sebelumnya, orang yang telah mencapai Jhana / meninggal dalam jhana, akan dilahirkan di alam Brahma. Sebagian pendapat menyatakan bahwa Godhika Thera bertujuan untuk meninggal saat ia masih mampu mencapai jhana agar dapat lahir kembali di alam brahma, tentunya dengan harapan untuk meneruskan usaha meditasinya yang tinggal sedikit lagi untuk mencapai arahat di alam brahma. Dan nampaknya beliau mampu menjaga pikirannya dengan baik, bahkan melampaui targetnya, dan meraih arahat.
Jangan dibandingkan dengan orang awam biasa yang kemungkinan besar waktu bunuh diri, yang ada di pikiran mereka adalah kebencian, keputus-asaan, ketakutan, dll yang negatif. Jika kita meninggal dunia dengan pikiran-pikiran seperti itu, akibatnya kita akan terseret menuju kelahiran di alam rendah.
Lagipula, kalau orang awam bunuh diri untuk menghindari sesuatu hal, tak ada jaminan dia tak akan menghadapi hal yang sama lagi di kehidupan yang mendatang.