Friday, 19 November 2010

Kisah Garahadinna (Dhammapada 4 : 58-59)

IV. Puppha Vagga - Bunga-bunga

(58) Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

(59) Begitu juga di antara orang di dunia,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna
bersinar menerangi dunia yang gelap ini
dengan kebijaksanaannya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.

Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna sering kali berkata kepada Sirigutta, "Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha? Kemarilah, jadilah pengikut guruku".

Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kepada Garahadinna, "Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?"

Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.

Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.

Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilahkan untuk masuk satu persatu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.

Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, "Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?" Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.

Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.

Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangNya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga menunjukkan rasa takut bahwa undangan tersebut mungkin suatu jebakan.

Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalNya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.

Garahadinna membuat sebuah parit, dipenuhi dengan bara yang menyala dan ditutup dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.

Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridNya duduk.

Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: "Bantulah saya, teman. Bukan keinginan saya untuk membalas dendam. Saya telah melakukan perbuatan yang salah. Rencana buruk saya tidak ada yang berpengaruh terhadap gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. tolonglah saya".

Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridNya.

Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan beliau berkata, "Mereka yang tidak tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 58 dan 59 berikut ini:

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

Begitu juga di antara orang di dunia,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna
bersinar menerangi dunia yang gelap ini
dengan kebijaksanaannya.

Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"yathā saṃkāradhānasmiṃ ujjhitasmiṃ mahāpathe
padumaṃ tattha jāyetha sucigandhaṃ manoramaṃ

evaṃ saṃkārabhūtesu andhabhūte puthujjane
atirocati paññāya sammāsambuddhasāvako"

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

Begitu juga di antara orang duniawi,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna,
bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.

Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.

Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.
Sekembalinya ke Vihara Jetavana, para bhikkhu menyatakan ketakjuban mereka mengenai teratai yang muncul dari parit yang dipenuhi arang. Sang Buddha menjawab, bahwa ini bukanlah yang pertama kalinya hal itu terjadi. Kemudian atas permintaan mereka, Sang Buddha kemudian menceritakan Khadirangara Jataka.
------

Notes :

Khadirangara Jataka; di salah satu kehidupannya yang lalu, Sang Bodhisatta adalah seorang bendaharawan, beliau hendak memberikan dana makanan kepada seorang Pacceka Buddha. Mara menghalangi niat itu dengan menciptakan parit besar berisi api menyala di antara bendaharawan dan Pacceka Buddha. Tetapi sang bendaharawan tsb dengan tekad yang kuat tetap melangkah menuju Pacceka Buddha untuk memberikan mangkuk berisi makanan. Ketika ia melangkahkan kaki, muncul bunga-bunga teratai besar menerima pijakan kakinya, hingga ia selamat mencapai sang Pacceka Buddha untuk menuangkan makanan ke mangkuk Pacceka Buddha tsb.