Saturday 4 December 2010

Kisah Lima Ratus Bhikkhu (Dhammapada 3 : 40)

III. Citta Vagga - Pikiran

(40) Setelah mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan,
hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota,
dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan.
Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa kemelekatan lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, menempuh perjalanan sejauh seratus yojana* dari Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan meditasi.

Banyak makhluk halus yang berdiam di pohon-pohon di hutan itu, mereka berpikir, tidak pantas mereka berdiam di pohon sementara para bhikkhu tinggal di bawah pohon. Mereka kemudian turun dari pohon, dengan perkiraan bahwa para bhikkhu hanya singgah disana untuk satu malam saja. Tetapi, sampai dini hari, para bhikkhu itu belum pergi juga. "Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa. Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah untuk waktu yang lama." pikir makhluk-makhluk halus. Mereka segera berunding dan memutuskan untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut agar segera pergi dengan membuat suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka menampakkan tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.

Bhikkhu-bhikkhu sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.

Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka pergi tanpa membawa senjata apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu dengan membawa ‘senjata’ yang cocok (yaitu cinta kasih). Kemudian Sang Buddha mengajarkan "Metta Sutta" (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka, diawali dengan syair berikut:

Karaniyamattha kusalena
Yantam santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju ca
Suvaco c'assa mudu anatimani (dst...)

Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat, dan bertujuan mencapai ketenangan sempurna (Nibbana) ;
Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dst.

Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.

Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.
Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus membalas dengan menerima kedatangan mereka dan tidak mengganggu lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penampakan yang aneh.

Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan objek tubuh jasmani, mereka akhirnya menyadari bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal keberadaannya.

Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan kehadiran beliau. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah sadari, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah tempayan tanah." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Kumbhūpamaṃ kāyam imaṃ viditvā
nagarūpamaṃ cittam idaṃ ṭhapetvā
yodhetha māraṃ paññāvudhena
jitañ ca rakkhe anivesano siyā”

Setelah mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan,
hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota,
dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan.
Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa kemelekatan lagi.

Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------

Notes :

* yojana : satuan panjang jaman dulu di India, kira-kira 13-16 km