Friday 3 December 2010

Kisah Putigattatissa Thera (Dhammapada 3 : 41)

III. Citta Vagga - Pikiran

(41) Tak berapa lama lagi, tubuh ini
akan terbujur di atas tanah,
tercampakkan tanpa kesadaran,
bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu waktu Sang Buddha memberikan ceramah di hadapan sekumpulan bhikhu, bhikkhuni, dan umat awam. Pada hari itu seorang perumah tangga dari Savatthi juga turut mendengarkan, dan menyadari bahwa kehidupan berumah tangga adalah tidak memuaskan dan akhirnya ia bergabung dalam pasamuan Sangha.

Ketika melatih diri dalam sila, samadhi dan panna/kebijaksanaan, bhikkhu itu terserang penyakit. Bisul-bisul kecil nampak di seluruh tubuh dan bisul itu berkembang menjadi luka yang besar, ketika luka ini pecah, jubah atas dan bawahnya menjadi lengket, dicemari nanah dan darah, seluruh tubuhnya berbau busuk. Karena hal itu, beliau dikenal dengan sebutan Putigattatissa, Tissa yang tubuhnya berbau. Tulangnya pun menjadi rapuh dan mudah patah. Tubuhnya membusuk dan semua saudara dan murid-muridnya pun meninggalkan dia.

Seperti biasanya, Sang Buddha memandang alam semesta dengan penglihatan batin sempurna, Tissa Thera nampak dalam penglihatannya. Beliau melihat keadaan Tissa Thera yang menyedihkan dan telah ditinggalkan oleh murid-muridnya karena tubuhnya berbau. Lebih jauh, Sang Buddha juga mengetahui bahwa Tissa dapat segera mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha menuju perapian di kediaman Tissa Thera. Disana Beliau memasak air mendidih, kemudian menghampiri Tissa Thera yang sedang berbaring, memegang tepi dipan, bermaksud memindahkan Tissa Thera.
Pada saat itu barulah murid-murid Tissa Thera datang mengelilingi gurunya. Sesuai petunjuk Sang Buddha, mereka mengangkat Tissa Thera mendekati perapian. Di tempat tersebut Tissa Thera dibasuh dan dimandikan, sementara jubah atas dan bawahnya dicuci dan dikeringkan.

Sesudah mandi, tubuh dan pikiran Tissa Thera menjadi segar. Segera batinnya berkembang mencapai satu titik konsentrasi. Berdiri di kepala dipan, Sang Buddha berkata kepadanya bahwa jika kesadaran telah meninggalkan tubuh, akan seperti sebatang kayu tak berguna terbujur di atas tanah.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

“aciraṃ vat’ ayaṃ kāyo paṭhaviṃ adhisessati
chuddho apetaviññāṇo niratthaṃ va kaliṅgaraṃ”

Tak berapa lama lagi, tubuh ini
akan terbujur di atas tanah,
tercampakkan tanpa kesadaran,
bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pencapaian pandangan terang analitis setelah khotbah Dhamma itu berakhir, kemudian beliau meninggal dunia. Sang Buddha kemudian menyuruh murid-murid Tissa Thera untuk segera mengkremasikan tubuh gurunya.

Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepada Sang Buddha, kemanakah Tissa Thera terlahir kembali, Sang Buddha menjawab bahwa Tissa Thera tidak dilahirkan lagi, ia telah meninggal setelah mencapai tingkat kesucian Arahat.

Atas pertanyaan mengapa Tissa Thera menderita penyakit seperti itu, padahal ia memiliki potensi mencapai Arahat sebelum meninggal, Sang Buddha menerangkan bahwa ini adalah hasil dari kamma yang telah dilakukan Tissa Thera.

Pada masa Buddha Kassapa, Putigattatissa adalah seorang pemburu unggas. Ia menangkap banyak burung dan menjualnya kepada orang-orang berada. Ia mematahkan sayap burung-burung itu untuk mencegah mereka terbang. Ia juga mematahkan tulang-tulang mereka, untuk dijual keesokan harinya. Dan ketika tangkapannya berlimpah, ia juga memasaknya untuk dimakan. Inilah kejahatan yang telah dilakukannya.

Suatu hari ketika ia telah selesai memasak kari dengan hasil tangkapannya, seorang arahat yang sedang berpindapatta berhenti di depan rumahnya. Sang pemburu merasa gembira melihatnya, dan berpikir “Aku sudah sering makan daging burung-burung ini. Di dalam rumah masih ada banyak kari, dan seorang bhikkhu telah sedang berpindapatta telah datang di pintu rumahku”. Lalu ia mengambil patta/mangkuk dari tangan arahat itu, masuk ke dalam, mengisi mangkuk dengan makanannya, kemudian mengembalikannya kepada sang arahat, sambil berkata, “Bhante, semoga saya dapat menikmati rasa dhamma seperti engkau yang beruntung telah dapat merasakannya. Semoga saya juga bisa mencapai nibbana.” Sang Arahat mengucapkan semoga keinginanmu tercapai, memberi sedikit kotbah singkat, dan pergi.

Atas perbuatan baik ini, ia dapat mencapai tingkat kesucian arahat sebelum ia meninggal.