Sunday 5 December 2010

Kisah Cittahattha Thera (Dhammapada 3 : 38-39)

III. Citta Vagga - Pikiran

(38) Orang yang pikirannya tidak teguh,
yang tidak mengenal Dhamma,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

(39) Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian,
yang telah melampaui baik dan buruk,
di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seorang laki-laki yang berasal dari Savatthi, ketika mengetahui lembu jantannya hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.

Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja, tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu

Kemudian ia meminta para bhikkhu untuk menerimanya menjadi anggota Sangha. Saat di vihara laki-laki itu melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang bhikkhu, dan karena disana terdapat banyak makanan, dalam waktu singkat ia menjadi gemuk.

Setelah beberapa lama, ia bosan berpindapatta dan kembali pada kehidupan berumah tangga.
Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan ia kembali ke vihara dan meminta diizinkan menjadi bhikkhu untuk kedua kalinya.
Untuk kedua kalinya, ia meninggalkan pasamuan Sangha dan kembali menjadi perumah tangga. Lagi, ia pergi ke vihara untuk ketiga kalinya dan kemudian lepas jubah lagi.

Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya saja, maka ia dikenal sebagai Cittahattha Thera.

Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, istrinya hamil. Sebenarnya ia belum siap menjadi bhikkhu, ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga, maupun sebagai seorang bhikkhu.

Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat istrinya sedang tidur. Istrinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian terjulai jatuh. Istrinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari mulutnya keluar ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang gembung, ia terlihat hanya seperti mayat. Melihat keadaan istrinya, ia tiba-tiba menyadari ketidakkekalan dan ketidakindahan tubuh jasmani, dan ia merenungkan : "Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hanya karena wanita ini saya tidak berhasil untuk terus menjadi seorang bhikkhu....."

Kemudian ia mengambil jubah kuningnya, pergi meninggalkan rumahnya dan menuju vihara untuk ke tujuh kalinya. Dalam perjalanan ia mengulangi kata-kata "tidak kekal" dan "penderitaan" (anicca dan dukkha) dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam perjalanan ke vihara.

Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha. Para bhikkhu menolak dan berkata, "Kami tidak dapat mengizinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulangkali mencukur rambut kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah."

Masih ia memohon dengan amat sangat agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha sekali lagi saja dan akhirnya mereka mengabulkannya. Dalam beberapa hari, bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis.

Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya? Terhadap hal itu, beliau menjawab, "Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya, tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong."

Bhikkhu-bhikkhu yang tidak percaya kepadanya, menghadap Sang Buddha dan melaporkan hal itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Bhikkhu Cittahattha telah berbicara benar, ia berpindah-pindah antara rumah dan vihara, karena waktu itu pikirannya tidak mantap dan tidak mengerti Dhamma. Tetapi pada saat ini, Cittahattha telah menjadi seorang arahat, ia telah mengatasi kebaikan dan kejahatan."

Kemudian sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Anavaṭṭhitacittassa saddhammaṃ avijānato
pariplavapasādassa paññā na paripūrati

Anavassutacittassa ananvāhatacetaso
puññapāpapahīnassa n’atthi jāgarato bhayam."

Orang yang pikirannya tidak teguh,
yang tidak mengenal ajaran yang benar,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian,
yang telah melampaui keadaan baik dan buruk,
di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.