Saturday 31 July 2010

Kisah Aggidatta (Dhammapada 14 : 188-192)

XIV. Buddha Vagga - Buddha

(188) Karena rasa takut,
banyak orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung,
ke hutan-hutan, ke pohon-pohon
dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.

(189) Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman,
bukanlah perlindungan yang utama.
Dengan mencari perlindungan seperti itu,
orang tidak akan bebas dari penderitaan.

(190) Ia yang telah berlindung
kepada Buddha, Dhamma dan Sangha,
dengan bijaksana dapat melihat
Empat Kebenaran Mulia, yaitu:

(191) Dukkha,
sebab dari dukkha,
akhir dari dukkha,
serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir dukkha.

(192) Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama.
Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu,
orang akan bebas dari segala penderitaan.
--------------------------------------------------------------------------------------------

Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama pemerintahan Raja Mahakosala, ayah dari raja Pasenadi. Setelah kematian Raja Mahakosala, Aggidatta mendanakan kekayaannya, dan meninggalkan rumah menjadi seorang pertapa non-Buddhis. Ia tinggal bersama dengan sepuluh ribu orang pengikutnya di sebuah tempat dekat perbatasan antara tiga kerajaan Anga, Magadha dan Kuru, tidak jauh dari sebuah bukit pasir, dimana tinggal seekor naga yang buas. Kepada pengikut-pengikutnya dan orang-orang di ketiga kerajaan ini, Aggidatta menasehati, "Sembahlah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon; dengan melakukan ini, kamu terbebas dari segala penyakit di dunia ini."

Suatu hari, melalui mata batinnya, Sang Buddha melihat Aggidatta dan para pengikutnya dan mengetahui bahwa sudah tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha mengutus Maha Moggallana Thera menemui Aggidatta dan para pengikutnya serta mengatakan kepadanya bahwa Sang Buddha sendiri akan segera datang menyusul kesana.

Maha Moggallana Thera pergi ke tempat Aggidatta dan para pengikutnya serta meminta mereka untuk memberikannya tempat menginap semalam. Mulanya mereka menolak permintaannya, tetapi akhirnya mereka setuju untuk membiarkannya bermalam di bukit pasir, rumah sang naga. Sang naga sangat tidak menyukai Maha Moggallana Thera, dan kemudian yang terjadi adalah adu kekuatan antara naga dan thera; kedua belah pihak bertarung mengadu kesaktian, mengeluarkan pancaran asap dan lidah api. Bagaimanapun juga, akhirnya sang naga dapat ditaklukkan. Ia menggulung dirinya mengitari bukit pasir tersebut, dan menegakkan kepalanya serta melebarkannya seperti sebuah payung di atas Maha Moggallana Thera, menunjukkan rasa hormat kepadanya.

Pagi-pagi sekali, Aggidatta dan para pertapa lainnya datang ke bukit pasir untuk mengetahui apakah Maha Moggallana Thera masih hidup, mereka berharap melihatnya sudah meninggal dunia. Ketika mereka mengetahui sang naga telah jinak, dan tanpa perlawanan membiarkan kepalanya seperti sebuah payung di atas tubuh Maha Moggallana Thera mereka amat sangat terkejut.

Sesaat kemudian, Sang Buddha tiba dan Maha Moggallana Thera berdiri dari tempat duduknya di bukit pasir dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Kemudian Maha Moggallana Thera mengumumkan kepada para pertapa, "Inilah Guru saya, Sang Buddha Yang Maha Suci, dan saya adalah murid yang rendah dari Guru Agung ini!"

Mendengarnya, para pertapa yang sangat terkesan oleh kesaktian Maha Moggallana Thera terpesona oleh kesaktian Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Aggidatta apa yang telah diajarkan kepada pengikut-pengikutnya dan para penduduk yang saling bertetangga.

Aggidatta menjawab bahwa ia telah mengajarkan kepada mereka untuk memberi hormat kepada gunung-gunung, hutan-hutan, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon, dan dengan melakukan hal tersebut, mereka akan terbebas dari segala penyakit di dunia ini.

Jawaban Sang Buddha kepada Aggidatta adalah, "Aggidatta, orang-orang pergi ke gunung-gunung, hutan-hutan, taman-taman dan kebun-kebun, serta pohon-pohon untuk perlindungan ketika mereka terancam bahaya, tetapi benda-benda ini tidak dapat memberikan perlindungan. Hanya mereka yang berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha akan terbebas dari proses lingkaran kehidupan (samsara)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Bahuṃ ve saraṇaṃ yanti pabbatāni vanāni ca
ārāmarukkhacetyāni manussā bhayatajjitā.


N’ etaṃ kho saraṇaṃ khemaṃ
n’ etaṃ saraṇaṃ uttamaṃ,

n’ etaṃ saraṇaṃ āgamma,
sabbadukkhā pamuccati.


Yo ca Buddhañ ca Dhammañ ca
Saṃghañ ca saraṇaṃ gato

cattāri ariyasaccāni
sammappaññāya passati:


Dukkhaṃ dukkhasamuppādaṃ
dukkhassa ca atikkamaṃ

ariyañ c’ aṭṭhaṅgikaṃ maggaṃ
dukkhūpasamagāminaṃ.

Etaṃ kho saraṇaṃ khemaṃ etaṃ saraṇaṃ uttamaṃ
etaṃ saraṇaṃ āgamma sabbadukkhā pamuccati”

Karena rasa takut, banyak orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung,
ke hutan hutan ke pohon-pohon dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.

Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman, bukanlah perlindungan yang utama.
Dengan mencari perlindungan seperti itu, orang tidak akan bebas dari penderitaan.

Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha,
dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu:

Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha,
serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir dukkha.

Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama.
Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Aggidatta dan seluruh pengikutnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Mereka semua menjadi bhikkhu. Pada hari itu, ketika para murid Aggidatta dari Anga, Magadha dan Kuru datang untuk memberi penghormatan kepadanya, mereka melihat gurunya dan para pengikutnya berpakaian bhikkhu, mereka menjadi bingung dan heran, "Siapa yang lebih sakti? Guru kami atau Samana Gotama? Guru kami pasti lebih sakti karena Samana Gotama telah datang kepada guru kami."

Sang Buddha tahu apa yang sedang mereka pikirkan, Aggidatta juga merasa bahwa ia harus menenangkan pikiran mereka, maka ia menghormati Sang Buddha dihadapan murid-muridnya, dan berkata, "Bhante, Andalah guru saya! saya hanyalah seorang murid-Mu." Seluruh muridnya yang hadir menyadari kemuliaan Sang Buddha.