Sunday, 1 August 2010

Kisah Seorang Bhikkhu Muda Yang Tidak Puas (Dhammapada 14 : 186-187)

XIV. Buddha Vagga - Buddha

(186) Bukan dalam hujan emas
dapat ditemukan kepuasan nafsu indria.
Nafsu indria hanya merupakan kesenangan sekejap
yang membuahkan penderitaan.

(187) Bagi orang bijaksana yang dapat memahami,
hal itu tidak membuatnya bergembira bila mendapat kesenangan surgawi sekalipun.
Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna
bergembira dalam penghancuran nafsu-nafsu keinginan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu saat, ada seorang bhikkhu muda di Vihara Jetavana. Suatu hari gurunya mengirim bhikkhu itu ke vihara lain untuk belajar. Ketika ia sedang pergi, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia tanpa diketahui bhikkhu muda itu. Tetapi ayahnya meninggalkan uang seratus kahapana kepada saudara lelakinya, paman bhikkhu muda itu. Pada saat bhikkhu muda kembali, pamannya menceritakan tentang kematian ayahnya dan tentang uang seratus kahapana yang ditinggalkan untuknya. Mulanya, ia berkata bahwa ia tidak memerlukan uang tersebut. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin lebih baik kembali pada kehidupan berumahtangga, dan akibatnya ia menjadi tidak puas dengan kehidupan seorang bhikkhu. Pelan-pelan ia mulai kehilangan ketertarikan pada hidupnya dan juga kehilangan berat badannya. Ketika para bhikkhu yang lain tahu tentang hal ini, mereka membawanya menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha bertanya kepadanya bahwa apakah benar ia merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan apakah ia memiliki modal untuk memulai kehidupan sebagai seorang berumahtangga.

Ia menjawab benar dan ia memiliki uang seratus kahapana untuk memulai kehidupannya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepadanya bahwa ia akan membutuhkan makanan, pakaian, perabot rumah tangga, dua ekor lembu jantan, bajak-bajak, pangkur-pangkur, pisau-pisau, dan lain sebagainya, sehingga uang tunai seratus itu akan sangat sulit menutupi biaya-biaya tersebut.

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bagi kehidupan manusia tidak akan pernah cukup, tidak terkecuali bagi kehidupan raja dunia yang dapat mendatangkan hujan uang atau mutiara, sejumlah kekayaan lainnya dan harta karun pada setiap saat.

Lebih lanjut, Sang Buddha menceritakan sebuah cerita tentang Mandatu, raja dunia, yang menikmati kebahagiaan hidup surgawi di alam surga Catumaharajika dan Tavatimsa secara bersamaan untuk waktu yang lama. Setelah menghabiskan waktu yang lama di surga Tavatimsa, suatu hari Mandatu berkeinginan untuk menjadi satu-satunya penguasa surga Tavatimsa, daripada membagi kekuasaan dengan Sakka. Tapi pada saat itu, keinginannya tidak dapat dipenuhi dan serta merta ia menjadi tua dan lemah, ia kembali ke alam manusia dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Na kahāpaṇavassena titti kāmesu vijjati,
‘appassādā dukhā kāmā’ iti viññāya paṇḍito.

Api dibbesu kāmesu ratiṃ so nādhigacchati,
taṇhakkhayarato hoti sammāsambuddhasāvako."

Bukan dalam hujan emas
dapat ditemukan kepuasan nafsu indria.
Nafsu indria hanya merupakan kesenangan sekejap
yang membuahkan penderitaan.

Bagi orang bijaksana yang dapat memahami,
hal itu tidak membuatnya bergembira
bila mendapat kesenangan surgawi sekalipun.
Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bergembira
dalam penghancuran nafsu-nafsu keinginan.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.