Tuesday, 4 May 2010

Kisah Sejumlah Bhikkhu (Dhammapada 23 : 328-330)

XXIII. Naga Vagga - Gajah

(328) Apabila dalam pengembaraanmu
engkau dapat menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai, dan bijaksana,
maka hendaknya engkau berjalan bersamanya dengan senang hati
dan penuh kesadaran untuk mengatasi semua bahaya.

(329) Apabila dalam pengembaraanmu 

engkau tak dapat menemukan seorang sahabat yang berkelakukan baik, pandai, dan bijaksana,
maka hendaknya engkau berjalan seorang diri, 
seperti seorang raja yang meninggalkan negara yang telah dikalahkannya, 
atau seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.

(330) Lebih baik mengembara seorang diri 

dan tidak bergaul dengan orang bodoh. 
Pergilah seorang diri dan jangan berbuat jahat, 
hiduplah dengan bebas (tidak banyak kebutuhan), 
seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu saat para bhikkhu dari Kosambi terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengikuti ahli Vinaya, dan kelompok lainnya mengikuti guru Dhamma. Mereka tidak mau memperhatikan meskipun Sang Buddha mendesak mereka untuk berdamai. Sehingga Sang Buddha meninggalkan mereka dan menghabiskan masa vassa seorang diri berada di hutan, dimana gajah Palileyyaka melayani Beliau.

Akhir masa vassa Y.A. Ananda pergi ke dalam hutan disertai dengan lima ratus bhikkhu. Dengan meninggalkan para bhikkhu pada suatu jarak tertentu, Y.A. Ananda sendiri mendekati Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menyuruh Ananda untuk memanggil para bhikkhu yang lain. Mereka semua datang, memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Bhante pasti telah mengalami kesulitan menghabiskan masa vassa seorang diri di hutan ini."

Sang Buddha kemudian menjawab, "Para bhikkhu, jangan berkata demikian, gajah Palileyyaka telah merawatku selama ini. Ia sesungguhnya satu teman yang sangat baik, teman yang sesungguhnya. Jika seseorang mempunyai teman baik seperti ini, ia seharusnya dekat dengannya, tetapi jika seseorang tidak dapat menemukan seseorang sahabat yang baik, lebih baik tinggal sendirian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Sace labhetha nipakaṃ sahāyaṃ
saddhiṃcaraṃ sādhuvihāridhīraṃ
abhibhuyya sabbāni parissayāni
careyya ten’ attamano satīmā.

No ce labhetha nipakaṃ sahāyaṃ
saddhiṃcaraṃ sādhuvihāridhīraṃ
rājā va raṭṭhaṃ vijitaṃ pahāya
eko care mātaṅg’ araññe va nāgo.

Ekassa caritaṃ seyyo,
n’atthi bāle sahāyatā,
eko care na ca pāpāni kayirā
appossukko mātaṅg’ araññe va nāgo."

Apabila dalam pengembaraanmu engkau dapat menemukan seorang sahabat
yang berkelakuan baik, pandai, dan bijaksana,
maka hendaknya engkau berjalan bersamanya dengan senang hati
dan penuh kesadaran untuk mengatasi semua bahaya.

Apabila dalam pengembaraanmu engkau tak dapat menemukan seorang sahabat
yang berkelakukan baik, pandai, dan bijaksana,
maka hendaknya engkau berjalan seorang diri, seperti seorang raja yang meninggalkan negara
yang telah dikalahkannya, atau seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.

Lebih baik mengembara seorang diri dan tidak bergaul dengan orang bodoh.
Pergilah seorang diri dan jangan berbuat jahat, hiduplah dengan bebas (tidak banyak kebutuhan),
seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.
----------

Notes :

Bālā = orang bodoh, tidak bijaksana, dungu.

Dalam sutta-sutta ataupun artikel Dhamma, yang disebut dengan ‘orang bodoh’ adalah orang yang tidak bijaksana. Sama sekali bukan orang yang bodoh dalam artian kurang pandai di sekolah, atau kurang pandai matematika dll.

Orang bodoh adalah orang yang tidak bijaksana, yang lebih senang mundur daripada maju dalam kebijaksanaan, dan tidak dapat dinasehati.

Banyak orang yang ketika mendengar ayat ini, lalu bertanya, kalau semua orang maunya bergaul dengan orang yang setara / lebih baik, lalu siapa yang akan menolong yang lebih bodoh? Bukannya ini namanya sombong dan pilih-pilih teman?

Tentu saja kita harus melihat kemampuan diri kita sendiri, jika kita sanggup menasehati dan bersabar, dan yang dinasehati mau berubah, ada keinginan untuk memperbaiki diri, maka adalah hal yang sangat baik untuk menolong orang-orang seperti ini.
Jika kita jauh lebih kuat dibandingkan kebodohan dia, mungkin kita bisa mengangkat dia dari kebodohan itu.
Tetapi jika dengan bergaulnya kita dengan orang bodoh, ternyata kita malah terseret oleh kebodohannya, sebaiknya janganlah bergaul dengan orang bodoh itu.

Ibarat hendak menolong orang yang tenggelam, kalau kemampuan renang kita kurang dan tidak tahu teknik yang tepat untuk menolong, bisa-bisa kita juga ikut tenggelam bersamanya.