Monday 3 May 2010

Kisah Mara (Dhammapada 23 : 331-333)

XXIII. Naga Vagga - Gajah

(331) Sungguh bahagia mempunyai kawan pada saat kita membutuhkannya;
sungguh bahagia dapat merasa puas dengan apa yang ada;
sungguh bahagia memiliki kebajikan ketika  menjelang kematian;
dan sungguh bahagia dapat mengakhiri penderitaan.

(332) Berlaku baik terhadap ibu, 

berlaku baik terhadap ayah, juga merupakan kebahagiaan. 
Berlaku baik terhadap pertapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; 
berlaku baik terhadap para Ariya juga merupakan kebahagiaan.

(333) Moral (Sila) akan memberikan kebahagiaan sampai usia tua; 

keyakinan yang telah ditanam kuat akan memberikan kebahagiaan; 
kebijaksanaan yang telah diperoleh akan memberikan kebahagiaan; 
tidak berbuat jahat akan memberikan kebahagiaan.
------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu saat, ketika Sang Buddha sedang berdiam di dekat Himalaya. Beliau melihat bahwa banyak orang ditindas oleh beberapa raja yang lalim. Kemudian muncul pikiran dalam batin Beliau: “Apakah tidak mungkin untuk memerintah tanpa membunuh atau menyebabkan pembunuhan, tanpa menaklukkan dengan kekerasan atau menyebabkannya, tanpa kesedihan atau menyebabkan kesedihan, dengan keadilan dan kebenaran?”

Mara mengetahui apa yang Sang Buddha pikirkan dan berpikir, “Gotama berpikir demikian, pasti karena ia menginginkan untuk berdaulat dan memerintah. Dan hal yang disebut kedaulatan ini adalah kesempatan dimana kelalaian dapat timbul. Jika ia berdaulat, aku mungkin akan dapat menangkap kelengahannya! Aku akan pergi dan membangkitkan ambisinya.”

Maka Mara kemudian mendorong Sang Buddha agar memerintah sebagai seorang raja, “Biarlah Sang Sugata memerintah, tanpa membunuh ataupun menyebabkan pembunuhan, tanpa menaklukkan dengan kekerasan maupun menyebabkannya, tanpa menyebabkan kesedihan, dengan keadilan dan kebenaran”.

Sang Buddha berkata, “Mara jahat, apa yang kamu lihat dalam diriku hingga kamu berkata seperti itu?” Mara berkata, “Bhante, Sang Bhagava telah mengembangkan kemampuan Iddhi dengan sempurna. Jika Sang Buddha menginginkan gunung Himalaya berubah menjadi emas, maka gunung itupun akan berubah menjadi emas. Sayapun akan menggunakan kekayaan seperti itu untuk melakukan banyak hal. Demikianlah engkau seharusnya memerintah dengan adil dan bijaksana”

Kepadanya, Sang Buddha menjawab, “Satu gunung emas, bahkan emas paling murnipun, tidak akan cukup bagi seseorang. Mengetahui hal ini, ia seharusnya meninggalkannya. Bagaimana mungkin seseorang yang telah melihat darimana datangnya penderitaan mengabdikan diri kepada kesenangan indria? Biarlah orang yang telah mengetahui dasar keberadaan makhluk di dunia yaitu ‘kemelekatan’, melatih diri untuk mengalahkannya.”

Dengan syair ini Sang Buddha bangkit dan memperingatkan Mara. Kemudian Ia berkata, “Aku akan menasehatimu lagi, Mara jahat. Aku tidak memiliki kesamaan denganmu. Demikianlah nasehatku untukmu”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Atthamhi jātamhi sukhā sahāyā
tuṭṭhī sukhā yā itarītarena
puññaṃ sukhaṃ jīvitasaṃkhayamhi
sabbassa dukkhassa sukhaṃ pahānaṃ.

Sukhā matteyyatā loke atho petteyyatā sukhā
sukhā sāmaññatā loke atho brahmaññatā sukhā.

Sukhaṃ yāvajarā sīlaṃ
sukhā saddhā patiṭṭhitā
sukho paññāya paṭilābho
pāpānaṃ akaraṇaṃ sukhaṃ."

Sungguh bahagia mempunyai kawan pada saat kita membutuhkannya;
sungguh bahagia dapat merasa puas dengan apa yang ada;
sungguh bahagia memiliki kebajikan ketika menjelang kematian;
dan sungguh bahagia dapat mengakhiri penderitaan

Berlaku baik terhadap ibu, berlaku baik terhadap ayah, juga merupakan kebahagiaan.
Berlaku baik terhadap pertapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini;
berlaku baik terhadap para Ariya juga merupakan kebahagiaan.

Moral (Sila) akan memberikan kebahagiaan sampai usia tua;
keyakinan yang telah ditanam kuat akan memberikan kebahagiaan;
kebijaksanaan yang telah diperoleh akan memberikan kebahagiaan;
tidak berbuat jahat akan memberikan kebahagiaan.