Saturday, 29 May 2010

Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha (Dhammapada 21 : 290)

XXI. Pakinnaka Vagga - Bunga Rampai

(290) Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,
maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, 
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.
------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menarik perhatian mahkluk halus jahat. Penduduk Vesali menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit, dan juga kehadiran makhluk halus jahat. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.

Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.

Sehubungan dengan itu, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai ke tepi sungai Gangga. Ia juga melakukan persiapan-persiapan lain dan mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus setiap jarak satu yojana.

Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju ke Vesali bersama lima ratus bikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi sungai Gangga dan Raja Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.

Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju ke kota Vesali dan telah membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai wilayahnya.

Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilahkan beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan khusus untuk Beliau di pusat kota.

Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para makhluk halus jahat melarikan diri.

Pada malam itu jgua, Sang Buddha membabarkan Ratana Sutta (Khotbah Permata) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.

Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha berada.

Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ketujuh segala sesuatunya di kota Vesali menjadi normal kembali. Para Pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari musibah dan sangat bersukacita. Mereka juga sangat berterimakasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang sampai di tepi sungai Gangga di akhir hari ketiga.

Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara menunggu Sang Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya masing - masing. Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan payung, bunga, dan lain-lain, dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi untuk mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai.

Inilah satu di antara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, ketika para manusia, dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan kepada Beliau. Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari tubuh Beliau.
Kedua, ketika Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abidhamma di sana.

Sang Buddha menerima undangan para naga, Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali ke Rajagaha diiringi raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha pada hari ke lima.

Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan selamai perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.

Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma, dewa, dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah yang sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian besarnya." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang brahmana bernama Sankha.

Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu, gurunya memerintahkan agar ia mendatangi para Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami ''Empat kesunyataan Mulia'', mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia meninggal, mencapai parinibbana segera setelah itu.

Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu, maka Sang Buddha mendapat manfaat, bahwa Ia dilimpahi dengan persembahan mewah, Ia dihormati demikian tinggi, dan Ia memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Mattāsukhapariccāgā
passe ce vipulaṃ sukhaṃ
caje mattāsukhaṃ dhīro
sampassaṃ vipulaṃ sukhaṃ."

Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,
maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu,
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.