Thursday, 9 December 2010

Kisah Meghiya Thera (Dhammapada 3 : 33-34)

III. Citta Vagga - Pikiran

(33) Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap;
pikiran susah dikendalikan dan dikuasai.
Orang bijaksana meluruskannya
bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.

(34) Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air
dan dilemparkan ke atas tanah,
demikian pula pikiran menggelepar
ketika berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Mara
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu waktu Meghiya Thera bertugas sebagai pendamping (upaṭṭhāka / personal attendant) Sang Buddha. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan (pindapatta), Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang indah dan menyenangkan.
"Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi", demikian pikirnya. Setibanya di vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan meminta ijin agar diperbolehkan segera pergi ke sana.

Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, menunggu kedatangan bikkhu-bhikkhu yang lainnya, karena pada saat itu mereka hanya berdua saja.
Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi lagi permohonannya sampai tiga kali. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia inginkan.

Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk dibawah pohon dan berlatih meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.

Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).

Atas pertanyaan itu Sang Buddha mengatakan bahwa pikiran memang mudah goyah dan tidak tetap, dan orang bijaksana haruslah melatih pikirannya.

Buddha kemudian membabarkan syair berikut ini:

"Phandanaṃ capalaṃ cittaṃ dūrakkhaṃ dunnivārayaṃ
ujuṃ karoti medhāvī usukāro va tejanaṃ.

Vārijo va thale khitto okamokata ubbhato
pariphandat’ idaṃ cittaṃ Māradheyyaṃ pahātave."

Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap;
pikiran susah dikendalikan dan dikuasai.
Orang bijaksana meluruskannya
bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.

Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air
dan dilemparkan ke atas tanah,
demikian pula pikiran menggelepar
ketika berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Mara


Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
------------

Notes:

* Kisah lengkap Meghiya ini terdapat pula dalam kitab Udana IV-1, juga Anguttara Nikaya IX-3.
Dalam Udana IV, Sang Buddha menjelaskan jika pikiran masih kurang matang untuk pembebasan (seperti yang dialami oleh Meghiya Thera sewaktu meditasi di hutan mangga), ada lima kondisi yang mendukung untuk membuatnya matang, secara garis besar yaitu : bergaul dengan teman yang mulia, menjalankan sila, pembicaraan yang baik dan murni, semangat dalam kehidupan suci, dan memiliki kebijaksanaan.

Dalam kitab komentar disebutkan bahwa dalam 500 kelahiran yang lampau berturut-turut Meghiya adalah seorang Raja. Taman kerajaannya terletak dimana hutan mangga itu sekarang berada, dan dia dulu biasa duduk bersama dengan gadis-gadis penarinya tepat di tempat itu di bawah pohon dimana dia duduk untuk bermeditasi. Dengan demikian, ketika dia duduk di tempat itu, dia merasa seolah-olah kebhikkhuannya meninggalkan dia dan pikirannya tertutup oleh fantasi gadis-gadis cantik. Juga, dalam kehidupan-kehidupannya sebagai Raja, di tempat yang sama itulah dia memerintahkan pembunuhan dan pemenjaraan para bandit, maka ketika dia duduk di sana sebagai Meghiya, pikiran-pikiran yang dengki dan kejam muncul dalam dirinya.
Sang Buddha awalnya menolak memberi ijin karena beliau mengetahui bahwa Meghiya belumlah siap untuk menjalankan praktek meditasi sendirian di hutan).