(35) Pikiran sangat sulit dikendalikan, bergerak sangat cepat,
dan senang mengembara sesuka hatinya.
Adalah baik untuk mengendalikan pikiran,
pikiran yang terkendali membawa kebahagiaan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara bermeditasi dari Sang Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di sana, Matikamata, ibu dari kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu; Matikamata juga mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal selama musim hujan.
Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala (tingkat kesucian Anagami) bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.
Dengan kekuatan batin yang baru diperolehnya, ia menyelidiki dengan mata batinnya (dibbacakkhu) dan mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai tingkat kesucian satupun juga, tetapi bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, jika saja mereka mendapatkan makanan yang baik dan cocok dengan selera masing-masing. Matikamata kemudian menyediakan makanan pilihan untuk mereka. Dengan makan makanan yang sesuai dan usaha yang giat, para bhikkhu dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.
Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana, tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka tidak perlu khawatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka dan menyediakan serta mendanakan makanan yang mereka inginkan .
Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang Matikamata, memutuskan untuk pergi ke desa itu. Setelah memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha, ia tiba di vihara desa. Di sana, ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata, umat yang dermawan.
Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke vihara, dengan membawa makanan pilihan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain. Matikamata mengelak pertanyaan itu dan menjawab, ”Orang yang dapat membaca pikiran orang lain akan berlaku begini dan begitu”.
Bhikkhu itu berpikir, "Jika saya, berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, maka ia pasti akan mengetahuinya". Bhikkhu itu menjadi takut terhadap umat dermawan tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.
Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika, karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.
Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada objek meditasinya.
Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu lain, sehingga bhikkhu itu dapat melaksanakan meditasi tanpa rasa khawatir. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.
Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
"Dunniggahassa lahuno yatthakāmanipātino
cittassa damatho sādhu, cittaṃ dantaṃ sukhāvahaṃ"
Pikiran sangat sulit dikendalikan, bergerak sangat cepat,
dan senang mengembara sesuka hatinya.
Adalah baik untuk mengendalikan pikiran,
pikiran yang terkendali membawa kebahagiaan.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, banyak yang mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala (tingkat kesucian Anagami) bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.
Dengan kekuatan batin yang baru diperolehnya, ia menyelidiki dengan mata batinnya (dibbacakkhu) dan mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai tingkat kesucian satupun juga, tetapi bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, jika saja mereka mendapatkan makanan yang baik dan cocok dengan selera masing-masing. Matikamata kemudian menyediakan makanan pilihan untuk mereka. Dengan makan makanan yang sesuai dan usaha yang giat, para bhikkhu dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.
Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana, tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka tidak perlu khawatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka dan menyediakan serta mendanakan makanan yang mereka inginkan .
Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang Matikamata, memutuskan untuk pergi ke desa itu. Setelah memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha, ia tiba di vihara desa. Di sana, ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata, umat yang dermawan.
Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke vihara, dengan membawa makanan pilihan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain. Matikamata mengelak pertanyaan itu dan menjawab, ”Orang yang dapat membaca pikiran orang lain akan berlaku begini dan begitu”.
Bhikkhu itu berpikir, "Jika saya, berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, maka ia pasti akan mengetahuinya". Bhikkhu itu menjadi takut terhadap umat dermawan tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.
Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika, karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.
Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada objek meditasinya.
Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu lain, sehingga bhikkhu itu dapat melaksanakan meditasi tanpa rasa khawatir. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.
Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
"Dunniggahassa lahuno yatthakāmanipātino
cittassa damatho sādhu, cittaṃ dantaṃ sukhāvahaṃ"
Pikiran sangat sulit dikendalikan, bergerak sangat cepat,
dan senang mengembara sesuka hatinya.
Adalah baik untuk mengendalikan pikiran,
pikiran yang terkendali membawa kebahagiaan.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, banyak yang mencapai tingkat kesucian sotapatti.