Sunday, 12 December 2010

Kisah Magha (Dhammapada 2 : 30)

II. Appamada Vagga - Kewaspadaan 

(30) Dengan kewaspadaan,
Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa.
Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji,
dan kelengahan akan selalu dicela.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu waktu, seorang Pangeran Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapanha Sutta (Sutta tentang Pertanyaan Dewa Sakka). Sang Buddha menceritakan tentang Sakka dengan jelas sekali. Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka secara langsung. Untuk meyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, "Mahali, Tathāgata* mengenal Sakka, Tathāgata juga mengetahui apa yang menyebabkan dia menjadi Sakka." Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali, bahwa Sakka, raja para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama Magha, tinggal di desa Macala.

Pemuda Magha dan tiga puluh dua temannya pergi untuk membangun jalan dan tempat peristirahatan**. Magha juga bertekad untuk melakukan tujuh kewajiban.

Tujuh kewajiban tersebut adalah:
(1) Dia akan merawat kedua orang tuanya;
(2) Dia akan menghormati orang yang lebih tua;
(3) Dia akan berkata sopan;
(4) Dia akan menghindari membicarakan orang lain;
(5) Dia tidak akan menjadi orang kikir, dia akan menjadi orang yang murah hati;
(6) Dia akan berkata jujur; dan
(7) Dia akan menjaga dirinya untuk tidak mudah marah.

Karena kelakuannya yang baik, dan tingkah lakunya yang benar pada kehidupannya yang lampau, Magha dilahirkan kembali sebagai Sakka, raja para Dewa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Appamādena maghavā devānaṃ seṭṭhataṃ gato
appamādaṃ pasaṃsanti pamādo garahito sadā."

Dengan kewaspadaan,
Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa.
Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji,
dan kelengahan akan selalu dicela.
-------------------

Notes :

* Tathāgata (Chinese : 如来 ru lai) ; artinya "Ia yang telah pergi" (Tathā-gata) dan atau "Ia yang telah datang" (Tathā-āgata). Buddha menyebut diriNya Tathagata, dan tidak menggunakan kata ’saya’, ’aku’ dan sejenisnya. Sayangnya, banyak terjemahan teks Buddhist yang memaksakan 'Aku' balik lagi ke dalam ucapan Sang Buddha.

** Ingat kisah tentang Upasaka Dhammika di ayat 16 ? Disana dijelaskan 6 jenis surga / alam dewa, dimana salah satu diantaranya adalah surga Tãvatimsa. Tavatimsa = 33 dewa. Ini dia kisah awalnya kenapa disebut alam 33 dewa, mereka 33 orang bersama-sama melakukan kebajikan besar demi keuntungan orang banyak, dan terlahir di surga berbarengan.