Wednesday, 29 December 2010

Kisah Kalayakkhini (Dhammapada 1 : 5)

I. Yamaka Vagga - Syair Berpasangan

(5) Kebencian tak akan pernah berakhir, apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci,
inilah satu hukum abadi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ada seorang laki-laki perumah tangga mempunyai istri yang mandul. Karena merasa mandul dan takut diceraikan oleh suaminya, ia menganjurkan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain yang dipilih olehnya sendiri. Suaminya menyetujui dan tak berapa lama kemudian isteri muda itu mengandung.

Ketika isteri mandul itu mengetahui bahwa madunya hamil, ia menjadi tidak senang. Dikirimkannya makanan yang telah diberi racun, sehingga isteri muda itu keguguran. Demikian pula pada kehamilan yang kedua. Pada kehamilannya yang ketiga, isteri muda itu tidak memberi tahu kepada isteri tua. Karena kondisi fisiknya kehamilan itu diketahui juga oleh isteri tua. Berbagai cara dicoba oleh isteri tua itu agar kandungan madunya itu gugur lagi, yang akhirnya menyebabkan isteri muda itu meninggal pada saat persalinan. Sebelum meninggal, wanita malang itu dengan hati yang dipenuhi kebencian bersumpah untuk membalas dendam kepada isteri tua.

Maka permusuhan itu pun dimulai.

Pada kelahiran berikutnya, isteri tua dan isteri muda tersebut terlahir sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing. Kemudian terlahir kembali sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina, dan akhirnya terlahir sebagai seorang wanita perumah tangga di kota Savatthi dan seorang yakkhini (yakkha perempuan) yang bernama Kali.

Suatu hari Kalayakkhini sedang mengejar wanita tersebut dengan bayinya. Ketika wanita itu mendengar bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, ia berlari ke sana dan meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha sambil memohon perlindungan. Sedangkan yakkhini itu tertahan di gerbang vihara oleh dewa penjaga vihara, tetapi kemudian dipanggil masuk. Kemudian wanita itu dan yakkhini tersebut diberi nasehat oleh Sang Buddha.

Sang Buddha menceritakan asal mula permusuhan mereka pada kehidupan lampau, yaitu sebagai seorang isteri tua dan isteri muda dari seorang suami, sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing, sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina. Mereka dibuat menyadari bahwa kebencian hanya dapat menyebabkan kebencian yang makin berlarut-larut, tetapi kebencian akan berakhir melalui persahabatan, kasih sayang, saling pengertian, dan niat baik.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair ke berikut ini:

"Na hi verena verāni sammant’ idha kudācana
averena ca sammanti, esa dhammo sanantano."

Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci,
inilah satu hukum abadi.

Kedua wanita itu akhirnya menyadari kesalahan mereka, keduanya berdamai, dan permusuhan panjang itu berakhir.

Sang Buddha kemudian meminta kepada wanita itu untuk menyerahkan anaknya untuk digendong yakkhini itu. Takut akan keselamatan anaknya, wanita itu ragu-ragu. Tetapi, karena keyakinannya yang kuat terhadap Sang Buddha ia segera menyerahkan anaknya kepada peri.

Yakkhini menerima anak itu dengan hangat. Setelah mencium dan membelai anak itu dengan penuh kasih sayang bagaikan kepada anaknya sendiri, anak itupun diserahkan kembali kepada ibunya.

Demikianlah, pada akhirnya mereka berdua hidup rukun dan saling mengasihi.
---------------

Notes :

* Yakkhini atau yakkhi = yakkha perempuan.

Yakkha (Pali) = yaksha (Sanskrit), 夜叉 yè chā (Chinese), Yasha (Japanese), ba-lu (Burmese), gnod sbyin (Tibetan).

Yakkha termasuk dalam kategori alam dewa Catummaharajika / alam 4 Raja Dewa (catur = 4, maharaja = raja besar)

Yakkha bermacam-macam tabiatnya, ada yang berperangai buruk dan jahat dan suka mengganggu manusia, ada pula yang berperangai baik dan suka menolong manusia, bahkan mengabulkan permintaan. Untuk paritta perlindungan terhadap yakkha jahat kalau pergi ke hutan-hutan, bacalah Atanatiya Sutta / Atanatiya Paritta.

Tidak semua yakkha merupakan pengikut Sang Buddha. Yakkha juga memiliki kemampuan gaib, seperti menyalin rupa, dll. Yakkha juga memiliki berbagai tingkat, ada yakkha penasehat raja, dll. Mereka menguasai/menjaga/tinggal di danau, sungai, pohon, dll.

Yakkha-yakkha ini dipimpin oleh salah satu dari 4 Raja Dewa dari alam Catummaharajika, yaitu Raja Vessavana (Vaisravana/Kuvera).

Cãtummahãrãjika Bhumi (alam 4 raja dewa (四天王 Sì Tiānwáng)) adalah alam dewa tingkat paling rendah dari 6 alam dewa yang ada. 4 Raja Dewa terdiri dari :

- Dhatarattha : raja dewa yang memimpin bagian/arah timur, memimpin para gandhabba (dewa musisi).
- Virulhaka : raja dewa yang memimpin bagian/arah selatan, memimpin para kumbhanda (penjaga hutan, gunung, dan harta karun yang tersembunyi).
- Virupakkha : raja dewa yang memimpin bagian/arah barat, memimpin para naga.
- Vessavana/Kuvera : raja dewa yang memimpin bagian/arah utara, memimpin para yakkha.

Catummaharajika-bhumi juga sering dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan tempat tinggalnya, yaitu :

• Bhumamattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di atas tanah (di bumi, gunung, sungai, laut, rumah, vihara, dll)
• Rukakkhattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di atas pohon
• Akasattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di angkasa

Raja Bimbisara dari kerajaan Magadha, setelah kematiannya dilahirkan kembali menjadi Yakkha, bernama Janavasabha, dibawah pimpinan Raja Vessavana.