Wednesday 1 September 2010

Kisah Rupananda Theri (Janapadakalyani) (Dhammapada 11 : 150)

XI. Jara Vagga - Usia Tua

(150) Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang
yang dibungkus oleh daging dan darah.
Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian,
kesombongan dan iri hati.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Janapadakalyani adalah puteri dari Pajapati Gotami, ibu tiri Pangeran Siddhattha. Karena sangat cantik Puteri Janapadakalyani dikenal dengan nama Rupananda. Dia menikah dengan Nanda, saudara sepupu Pangeran Siddhattha. 

Pada suatu hari dia merenung, "Kakak saya yang akan menjadi raja telah meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddha-an. Rahula, anak dari kakak saya, suami saya, ibu saya, mereka semua telah meninggalkan keduniawian untuk menjadi bhikkhu dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri di sini!" Setelah merenung demikian dia pergi ke vihara untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhuni, bukan karena keyakinan tetapi hanya meniru orang lain dan karena merasa kesepian tinggal seorang diri.

Setelah menjadi bhikkhuni, Rupananda sering mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang ketidakkekalan, tidak memuaskan dan rapuhnya khanda* sehingga dia berpikir kalau dia bertemu dengan Sang Buddha pasti Beliau akan mencela kecantikannya, sehingga dia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Akan tetapi bhikkhuni-bhikkhuni lain yang baru kembali dari vihara, selalu memuji Sang Buddha; akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha bersama para bhikkhuni.

Sang Buddha melihat Rupananda dan berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat melekat terhadap tubuhnya dan sangat bangga akan kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan kesombongan akan kecantikannya".

Kemudian Sang Buddha dengan kekuatan iddhi menciptakan seorang anak gadis yang sangat cantik berusia kira-kira 16 tahun, duduk di dekatNya dan mengipasi Beliau. Anak gadis itu hanya dapat dilihat oleh Sang Buddha dan Rupananda. Ketika Rupananda melihat anak gadis tersebut, ia menyadari bahwa jika dibandingkan, ia seperti seekor gagak tua dan buruk dan gadis itu seperti seekor angsa putih yang cantik. Rupananda begitu mengagumi wajah anak gadis tersebut yang cantik jelita. Tetapi ketika Rupananda memperhatikan sungguh-sungguh, dia terkejut karena anak gadis tersebut bertambah tua berusia 20, terus menerus ia memperhatikan anak gadis yang berada di samping Sang Buddha itu bertambah tua dan menjadi sangat tua. Anak gadis itu berubah dari anak gadis muda, menjadi setengah baya, tua, dan sangat tua.

Rupananda mengamati bahwa ketika muncul keadaan/rupa yang baru, yang lama lenyap, dan dia mulai menyadari adanya proses perubahan yang terus menerus dan kelapukan dalam tubuh jasmani. Dengan kesadaran ini, kemelekatan terhadap tubuhnya berkurang. Sementara itu, anak gadis dekat Sang Buddha tadi, telah berubah menjadi wanita jompo, yang tidak dapat mengontrol fungsi tubuhnya lagi dan terjatuh di antara kotorannya sendiri. Akhirnya wanita itu meninggal dunia, tubuhnya kembung, dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh keluar dari sembilan lubang, burung gagak dan pemakan bangkai mencabik-cabik bangkai itu.

Setelah melihat semua ini, Rupananda merenung, "Gadis muda itu menjadi tua dan jompo kemudian meninggal dunia di sini dihadapan mataku. Sama halnya dengan tubuhku akan menjadi tua dan rusak; akan merupakan sarang penyakit dan juga akan meninggal dunia." Kemudian Rupananda menyadari akan corak sebenarnya dari khanda (kelompok kehidupan)

Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa-intian dari khandha dan Rupananda mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Aṭṭhīnaṃ nagaraṃ kataṃ maṃsalohitalepanaṃ
yattha jarā ca maccu ca māno makkho ca ohito."

Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang
yang dibungkus oleh daging dan darah.
Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian,
kesombongan dan iri hati.

Rupananda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
-------

Notes :

*khanda (pali) = skandha (sanskrit) = aggregates (english) = kelompok/kumpulan.

Manusia terdiri dari 5 khanda (Panca Khanda), yaitu :
  1. Rupa (badan jasmani)
  2. Nama (batin) :
-       Viññana = Kesadaran.
-       Sañña = Pencerapan.
-       Sankhara = Pikiran, bentuk-bentuk mental
-       Vedana = Perasaan.

Kita tentu sudah tahu bahwa rupa tidak kekal dan selalu berubah. Sama seperti Rupa, 4 Nama Khanda diatas sifatnya juga tidak kekal dan selalu berubah.

Dalam bahasa sehari-hari, demi kemudahan dan kepraktisan komunikasi, manusia menggunakan kata ‘AKU’  atau ‘KAMU’ untuk merujuk kepada batin dan jasmani. Namun karena keterkaitan panca khanda ini sangat erat, kita tidak bisa membedakannya, lalu menganggapnya merupakan SATU roh/jiwa dan terjebak di dalam ilusi keakuan dan menggenggamnya erat-erat. Kita berpikir bahwa ada satu jiwa atau roh yang bersemayam di dalam tubuh kita, hal ini terutama terjadi pada umat buddha yang masih awam, atau umat yang beragama lain.

Tetapi sesungguhnya dalam jasmani kita, tidak ada suatu atma/atta atau roh/jiwa yang kekal dan abadi. Inilah yang disebut Anatta (an = negasi/tiada/tanpa, atta = inti/jiwa/roh yang kekal dan abadi). Pada kenyataannya, batin terdiri dari 4 unsur tersebut di atas, dan tidak ada sesuatupun yang bisa disebut roh/jiwa.

Dari kontaknya rupa (mis. alat indera; mata, telinga, dll) dengan kesadaran, kita dapat mencerap hal-hal yang kita dengar, lihat, cium, rasa, sentuh. Dari pencerapan ini langsung timbul bentuk-bentuk pikiran karena bercampur dengan hal-hal yang pernah kita alami, lalu timbullah perasaan (suka/tidak suka, sedih/gembira, marah/takut, netral dll). Dari sini berputar lagi kembali memberi masukan kepada kesadaran. Demikian berulang-ulang. Proses ini sangat cepat dalam hitungan sepersekian detik.

**perlu diperhatikan, ada banyak ulasan mengenai pancakhanda dan hubungannya satu sama lain, disini saya hanya mengambil sebagian saja**

Buddha mengajarkan kita untuk mengenali diri kita sendiri, untuk melihat diri kita ini seperti apa adanya. Sesungguhnya seperti apa kita ini? Cobalah renungkan dan perhatikan 4 nama khanda diatas dalam keseharian kita.

Jika kita berhasil menyadari bahwa nama khanda ini sifatnya hanya sementara, timbul tenggelam, tidak kekal dan tanpa inti, datang dan pergi silih berganti; kita tidak terlalu terpengaruh olehnya, kita tidak terbawa arus. Dengan merenungkan hal diatas, ketika timbul berbagai macam perasaan yang tidak mengenakkan, kita tidak perlu terlalu hanyut atau histeris seperti pemain drama, karena sebentar kemudian perasaan itupun akan berganti.

Kita tahu bahwa perasaan-perasaan timbul karena adanya bentuk-bentuk pikiran yang menjadi ‘bensin / bahan bakar’ nya, maka kita hindari menuang bensin ke dalam batin kita. Tidak perlu diingat-ingat terus, seperti memutar ulang film, tidak perlu dihayati dan dirasa-rasakan, tidak perlu dipelihara perasaan yang tidak mengenakkan itu. Tetapi bukan berarti ini mengabaikan permasalahan. Jika ada masalah tentu tetap harus diselesaikan, dan dengan kondisi batin yang tenang, tentunya akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan itu.

Mengenai kisah diatas, sumber lain menyebutkan bahwa Pajapati Gotami memiliki anak bernama Nanda (laki-laki) dan Rupananda/Sundari-Nanda (perempuan). Jadi Nanda adalah adik tiri pangeran Siddhartha. Bentuk badan dan raut muka Nanda sangat mirip dengan Sang Buddha, hingga banyak yang salah mengenali.

Nanda, pada pesta pernikahannya dengan Janapadakalyani, mengantarkan Sang Buddha kembali ke vihara dan akhirnya ditahbiskan menjadi bhikkhu.

Janapadakalyani juga disebut Rupananda. Nampaknya ada 2 Rupananda, hingga timbul kerancuan kisah Rupananda/Nanda.

Sundari-Nanda dan Janapadalyani kedua-duanya juga akhirnya menjadi bikhhuni.