Monday 16 August 2010

Kisah Seorang Bhikkhu Muda (Dhammapada 13 : 167)

XIII. Loka Vagga – Dunia

(167) Janganlah mengejar sesuatu yang rendah,
janganlah hidup dalam kelengahan.
Janganlah menganut pandangan-pandangan salah,
dan janganlah menjadi pendukung keduniawian.
-------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu saat seorang bhikkhu muda menemani seorangan bhikkhu tua menuju ke rumah Visakha. Setelah menerima dana makanan, bhikkhu tua pergi ke tempat lain, meninggalkan bhikkhu muda di rumah Visakha. Cucu perempuan Visakha sedang menyaring air untuk bhikkhu muda. Ketika ia melihat bayangannya sendiri pada panci besar ia tersenyum. Melihat ia tersenyum, bhikkhu muda menatapnya dan balas tersenyum. Ketika ia melihat bhikkhu muda itu menatapnya dan tersenyum padanya, ia menjadi marah, dan berteriak, "Kamu, kepala gundul! Mengapa kau tersenyum padaku?"

Sang bhikkhu muda menjawab, "Dirimu adalah kepala gundul; ayah dan ibumu juga berkepala gundul!" Kemudian, mereka bertengkar dan sang gadis dengan bercucuran air mata pergi kepada neneknya.

Visakha datang dan berkata kepada bhikkhu muda, "Tolong janganlah marah kepada cucu saya. Bukankah seorang bhikkhu memang berkepala gundul, kuku tangan dan kakinya dipotong, dan memakai jubah yang terbuat dari potongan-potangan kain, bepergian untuk menerima dana makanan dengan sebuah mangkuk yang bundar. Apakah yang telah dikatakan oleh gadis muda ini benar?"

Sang Bhikku muda menjawab, "Itu memang benar, tapi mengapa ia harus memaki saya karena hal tersebut ?" Pada saat itu bhikkhu yang lebih tua datang kembali, tetapi mereka berdua, Visakha dan bhikkhu tua gagal mendamaikan bhikkhu muda dan sang gadis.

Tidak lama kemudian, Sang Buddha tiba dan mengetahui tentang pertengkaran tadi. Sang Buddha tahu bahwa sudah saatnya bagi bhikkhu muda untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dalam usaha untuk membuat bhikkhu muda lebih mendengarkan kata-kataNya, Beliau nampaknya berpihak kepadanya dan berkata kepada Visakha, "Visakha ada alasan apa bagi cucumu untuk menegur putraku sebagai seorang berkepala gundul hanya karena ia memiliki kepala yang gundul ? Bagaimanapun, ia menggunduli kepalanya untuk mengikutiKu, bukan ?"

Mendengar kata-kata ini bhikkhu muda berlutut, memberi hormat kepada Sang Buddha, dan berkata, "Bhante, hanya Bhante yang mengerti saya; bukanlah guru saya ataupun dermawan kaya dari vihara ini yang mengerti saya." Sang Buddha tahu bahwa sang bhikkhu kemudian mau menerima dan Beliau berkata, "Tersenyum dengan hawa nafsu adalah tercela, adalah tidak benar dan tidak pantas memiliki pikiran-pikiran rendah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Hīnaṃ dhammaṃ na seveyya pamādena na saṃvase
micchādiṭṭhiṃ na seveyya na siyā lokavaḍḍhano."

Janganlah mengejar sesuatu yang rendah,
janganlah hidup dalam kelengahan.
Janganlah menganut pandangan-pandangan salah,
dan janganlah menjadi pendukung keduniawian.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------

Notes :

Just in case ada yang bingung, kenapa kok dari senyum aja bisa jadi ribut, berikut ini kemungkinannya.

Si cucu tersenyum sendiri karena melihat bayangannya (biasanya cewek memang suka senyum-senyum sendiri kalau lagi berkaca dan mematut-matut diri, sementara kalau cowok jika berkaca dengan pakaian baru/jas biasanya akan berdiri tegap-tegap sambil berkaca :), dan si bhikkhu muda lalu menanggapi dengan senyuman balik yang dianggap cucu Visakha sebagai kekurangajaran, sehingga mereka akhirnya bertengkar.

Dari cerita yang hanya sepotong diatas, dan menilik komentar Sang Buddha, kita hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi; kemungkinan si bhikkhu muda ‘memandangi’ dan bukan cuma ‘melihat’ cucu Visakha, dan mungkin ia membalas senyuman cucu Visakha dengan cara yang tidak sopan misalnya senyum genit dan atau senyum dengan pikiran yang tidak murni.

Kemungkinan kedua adalah si cucu Visakha ini yang dimaksud Sang Buddha ketika mengatakan ‘senyum dengan ‘nafsu’ adalah tercela’, karena jika si cucu Visakha ini ‘mengaca’ dengan pikiran narsis, ini juga termasuk nafsu yang halus. Tetapi jika si cucu tersenyum karena melihat bayangannya yang kelihatan lucu (coba deh berkaca di panci atau disendok), tentunya ini tidak berlaku.