Monday 19 July 2010

Kisah Tiga Pertapa (Dhammapada 16 : 209-211)

XVI. Piya Vagga – Kecintaan

(209) Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan (sila, samadhi, dan panna)
serta melekat pada kesenangan duniawi
akan merasa iri terhadap hasil yang diperoleh orang yang tekun dalam latihan.

(210) Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai. Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai, keduanya merupakan penderitaan.

(211) Oleh sebab itu, janganlah mencintai apapun, karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan. Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas dari mencintai dan tidak mencintai.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika terjadi di Savatthi, di suatu rumah tangga di Savatthi, ada seorang putra satu-satunya, yang merupakan kesayangan dan kebahagiaan ayah ibunya. Suatu hari beberapa orang bhikkhu diundang untuk menerima dana makanan di rumah itu, dan setelah mereka selesai makan, mereka membacakan melantunkan kata-kata Dhamma. Ketika pemuda itu mendengarkan kata-kata Dhamma tersebut, tiba-tiba ia berkeinginan menjadi bhikkhu, dan langsung meminta ijin kepada ayah dan ibunya. Mereka menolak keinginannya tersebut. Kemudian timbullah pikiran dalam dirinya, “Ketika ibu dan ayah tidak melihat, aku akan meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhu”.

Tiap kali sang ayah pergi keluar rumah, ia menitipkan putranya itu kepada sang ibu sambil berkata, “Tolong jaga putra kita baik-baik”. Dan tiap kali sang ibu pergi keluar rumah, ia juga menitipkan putranya itu kepada sang ayah.

Suatu hari, setelah sang ayah pergi, sang ibu berkata kepada dirinya sendiri, “Aku akan menjaga putraku baik-baik.”. Kemudian ia duduk di lantai di tengah-tengah pintu dengan kedua kaki menjulur ke kiri dan kanan menutupi sisinya, dan mulai memintal benang. Pemuda tersebut berpikir, “Aku akan mengakalinya dan melarikan diri”. Lalu ia berkata kepada ibunya, “Ibu sayang, coba geser kakimu sedikit, aku mau ke belakang buang air.” Ibunya menarik kakinya, dan pergilah si pemuda itu keluar. Ia pergi ke vihara secepat mungkin dan kemudian meminta para bhikkhu untuk menerimanya dalam pasamuan bhikkhu. Para bhikkhu menyetujui permintaannya dan menerimanya ke dalam Sangha.

Ketika sang ayah pulang ke rumah, ia bertanya kepada sang ibu, “Dimanakah putraku?”. “Suamiku, tadi dia ada disini.” “Dimanakah kemungkinannya putraku berada?”, pikir sang ayah sambil mencari-cari. Tidak menemukannya, ia berkesimpulan, “Ia pasti telah pergi ke vihara.” Maka sang ayah pergi ke vihara dan ketika melihat putranya telah mengenakan jubah bhikkhu, ia menangis dan meratap sambil berkata, “Oh anakku, mengapa kau hancurkan diriku?” Tetapi sejenak kemudian, ia berpikir, “Sekarang putraku telah menjadi bhikkhu, untuk apa aku hidup berumah tangga lagi?” Maka iapun meminta kepada para bhikkhu untuk menerimanya ke dalam Sangha, dan saat itu pula ia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi bhikkhu.

Sang ibu yang menunggu di rumah berpikir, “Mengapa putra dan suamiku lama sekali?” Tiba-tiba terpikir olehnya, “Pasti mereka telah pergi ke vihara dan menjadi bhikkhu.” Maka ia pun pergi ke vihara, dan melihat putra dan suaminya telah memakai jubah bhikkhu, ia berpikir, “Putra dan suamiku keduanya telah menjadi bhikkhu, lalu apa gunanya aku tetap tinggal di rumah?” Dan dengan keinginan sendiri, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni dan meninggalkan keduniawian.

Tetapi walaupun ibu, ayah dan anak tadi telah meninggalkan keduniawian, mereka tidak bisa berpisah satu sama lain; baik dalam lingkup vihara, ataupun dalam lingkungan bhikkhuni, mereka selalu duduk bersama dan menghabiskan waktu dengan mengobrol di antara mereka.

Para bhikkhu melaporkan hal tsb kepada Sang Buddha. Sang Buddha memanggil mereka dan bertanya, “Apakah benar, kalian melakukan ini dan itu?”. Mereka mengiyakan.

Sang Buddha kemudian berkata, “Mengapa kalian melakukannya? Itu bukanlah hal yang pantas dilakukan bagi bhikkhu dan bhikkhuni.”

“Tetapi sangat tidak mungkin bagi kami untuk hidup berpisah”, jawab mereka.

“Sejak meninggalkan kehidupan duniawi, berlaku demikian sungguh tidak pantas; memang sangat menyakitkan untuk tidak melihat orang yang kita sayangi, dan juga menyakitkan jika kita terpaksa harus melihat orang yang tidak kita sayangi; karenanya, baik terhadap orang maupun benda-benda, seseorang seharusnya tidak membeda-bedakan mana yang disayang ataupun tidak disayang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"ayoge yuñjaṃ attānaṃ yogasmiñ ca ayojayaṃ
atthaṃ hitvā piyaggāhī pihet’ attānuyoginaṃ

mā piyehi samāgañchi
appiyehi kudācanaṃ,
piyānaṃ adassanaṃ dukkhaṃ
appiyānañ ca dassanaṃ.

tasmā piyaṃ na kayirātha piyāpāyo hi pāpako,
ganthā tesaṃ na vijjanti yesaṃ n’ atthi piyāppiyam."

Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan (sila, samadhi, dan panna)
serta melekat pada kesenangan duniawi
akan merasa iri terhadap hasil yang diperoleh orang yang tekun dalam latihan.

Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan.

Oleh karena itu, seseorang hendaknya tidak menyenangi apapun;
berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan
tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas
dari mencintai dan tidak mencintai.
-------------

Notes :

Syair diatas bukanlah berarti kita menjadi orang yang dingin dan kejam tanpa cinta kasih.
Tetapi yang harus dilepas adalah cinta/sayang yang didasari oleh kemelekatan. Kita mencintai orangtua/anak kita karena kita berpikir, ini orangtuaKU, ini anakKU, ini darah dagingKU.

Perhatikan syair diatas banyak sekali kata ‘piya’, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai affection, dear one, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai cinta/sayang/suka.
Tetapi dalam hal ini, cinta/sayang/suka hanya tertuju kepada hal-hal/benda-benda/orang-orang tertentu.

Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan Metta dan Karuna. Dalam bahasa Inggris, metta diterjemahkan menjadi loving-kindness, Karuna = compassion. Dalam bahasa Indonesia, metta diterjemahkan menjadi cinta-kasih dan karuna = belas kasih / welas asih.

Dua kata yang berbeda, piya dan metta, tetapi sayangnya dalam bahasa Indonesia, sama-sama diterjemahkan menjadi cinta karena keterbatasan kosakata. Akibatnya orang sering bingung dan mengira, kalau menjadi buddhist, kita harus cuek, menjadi dingin dan tidak perduli, tidak cinta. Padahal, sebenarnya yang harus kita lepas adalah piya, dan yang harus kita kembangkan adalah metta. Metta adalah rasa cinta kasih kepada semua makhluk dan ingin membuat semua berbahagia.

Melepaskan ‘piya’ bukan berarti kita menjadi dingin dan kosong, tetapi justru memperluas lingkupan metta.
Hasilnya adalah manusia yang bukan hanya sayang kepada orang tua/anaknya, tetapi manusia yang mencintai semua makhluk, yang memperlakukan semua orang dan semua makhluk dengan ramah, hangat dan penuh kasih. Dan sayang kepada keluarganya pun bukanlah sayang yang didasari kemelekatan.