Friday, 2 July 2010

Kisah Putra Seorang Penjagal (Dhammapada 18 : 235-238)

XVIII. Mala Vagga – Noda-noda

(235) Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu.
Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan,
namun tidak kaumiliki bekal untuk perjalanan nanti.

(236) Buatlah pulau bagi dirimu sendiri. 

Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana. 
Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan, 
maka engkau akan mencapai alam kedamaian para Ariya.

(237) Sekarang kehidupanmu telah mendekati akhir, 

dan engkau telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian (Yama). 
Tidak ada tempat bagimu berhenti di perjalanan, 
sedangkan engkau belum memiliki bekal untuk perjalananmu.

(238) Buatlah pulau bagi dirimu sendiri. 

Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana. 
Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan, 
maka kelahiran dan kematian tidak akan datang lagi padamu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Suatu ketika di Savatthi, ada seorang pria yang menjadi penjagal ternak selama lima puluh lima tahun. Selama itu ia menyembelih ternak dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging. Suatu hari ia memberikan sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai.

Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari daging, maka si penjagal bergegas pergi ke belakang rumah, dimana terdapat seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di atas api. Ketika makan si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut, tetapi bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas piring nasi. Jadi sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama, sama-sama terpotong lidahnya.

Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang teramat sangat, dan ia merangkak ke sana ke mari, dengan banyak darah bercucuran dari mulutnya. Kemudian penjagal tersebut meninggal dan terlahir kembali di alam neraka Avici (Niraya Avici).

Waktu itu putra penjagal berdiri di dekat sana dan melihat kejadian itu. Ibunya berkata kepadanya, “Nak, lihatlah penjagal ini merangkak-rangkak kesana-kemari dengan kedua tangan dan kakinya, berteriak-teriak seperti seekor sapi. Hukuman ini sangat mungkin akan menimpa dirimu pula. Jangan pedulikan aku, tapi carilah selamat dan pergilah ke tempat lain.” Putranya, takut akan kematian seperti itu, mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya dan pergi ke Taxila.

Di Taxila, putra si penjagal mempelajari seni dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi putri gurunya dan mempunyai beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka sudah dewasa, ia kembali ke Savatthi. Anak-anaknya menganut ajaran Sang Buddha dan sangat religius. Mereka mengkhawatirkan ayah mereka, yang telah menjadi tua tanpa pernah memikirkan Dhamma maupun kehidupannya yang akan datang.

Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, mereka berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari ini atas nama ayah kami. Berikanlah khotbah secara khusus padanya."

Sang Buddha berkata, "Murid-Ku! Engkau telah menjadi tua, tapi engkau belum membuat persiapan kebajikan untuk perjalananmu pada kelahiran berikutnya, sekarang engkau sebaiknya mencari penolong bagi dirimu sendiri."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Paṇḍupalāso va dāni si
yamapurisā pi ca tam upaṭṭhitā
uyyogamukhe ca tiṭṭhasi
pātheyyam pi ca te na vijjati.

So karohi dīpam attano
khippaṃ vāyama paṇḍito bhava
niddhantamalo anaṅgaṇo
dibbaṃ ariyabhūmim ehisi.

Upanītavayo va dāni si
sampayāto si yamassa santike
vāso pi ca te n’atthi antarā
pātheyyampi ca te na vijjati.

So karohi dīpam attano
khippaṃ vāyama paṇḍito bhava
niddhantamalo anaṅgaṇo
na punaṃ jātijaraṃ upehisi."

Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu.
Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan,
namun tidak kaumiliki bekal untuk perjalanan nanti.

Buatlah pulau bagi dirimu sendiri
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda
dan bebas dari nafsu keinginan,
maka engkau akan mencapai alam kedamaian para Ariya.

Sekarang kehidupanmu telah mendekati akhir,
dan engkau telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian (Yama).
Tidak ada tempat bagimu berhenti di perjalanan,
sedangkan engkau belum memiliki bekal untuk perjalananmu.

Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan,
maka kelahiran dan kematian tidak akan datang lagi padamu.

Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal) mencapai tingkat kesucian anagami setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.