(279) Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat 500 bhikkhu lain, dahulu telah bermeditasi dengan obyek Anatta. Beliau berkata, " kumpulan khanda (kelompok kehidupan; jasmani dan batin (perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran) adalah tanpa inti. Hal tersebut bukan subyek keakuan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
”Sabbe dhammā anattā” ti yadā paññāya passati
atha nibbindatī dukkhe, esa maggo visuddhiyā”
Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------
Notes :
Anicca, Dukkha, dan Anatta, dikenal sebagai hukum Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik).
Di antara Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik), anatta mungkin adalah yang paling susah dijelaskan dan dipahami. Kita sudah sangat terkondisi dengan konsep aku, milikku, perasaanku, dll yang terbentuk sebagai hasil kombinasi ‘kemelekatan terhadap pandangan salah tentang aku’ dan konsep yang diajarkan/ditanamkan kepada kita sejak kita kecil baik dari keluarga, pendidikan maupun lingkungan sosial.
Secara singkat, anatta seringkali diterjemahkan sebagai tanpa aku, tanpa inti, tanpa jiwa yang kekal, ‘lenyapnya’ aku, shunyata. Penggunaan definisi singkat bisa menimbulkan kesalahpahaman, kadang diartikan secara literal yang berkonotasi negatif bahwa secara individual kita tidak ada.
Anatta seharusnya dipahami dari serangkaian Tilakkhana, yaitu sabbe sankhara anicca, sabbe sankhara dukkha, dan sabbe dhammā anattā - segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah tanpa inti yang abadi/kekal.
Di notes kisah sebelumnya, kita memahami bahwa manusia merupakan kumpulan khanda yang selalu berubah setiap saat, pikiran/perasaan/kesadaran/
Jika semuanya selalu berubah silih berganti, bukankah itu hal yang tidak kekal dan tidak dapat disebut inti/jiwa/roh yang kekal? Mari kita stop sejenak, dan pikir, apa dan dimanakah jiwa kita itu? Di dalam hati/jantung, atau di otak, atau di jempol? J Seperti apa bentuknya? Tidak ada, dan kita tak tahu bentuknya. Mengapa? Karena memang tidak ada sesuatu benda seperti misalnya biji di tengah buah-buahan yang bisa kita sebut ‘jiwa’. Jiwa hanyalah istilah untuk memudahkan berkomunikasi.
Demikian pula dari sisi jasmani, penelitian ilmiah menyatakan tubuh manusia terbentuk dari 100 trilyun sel dan setiap detik, tubuh kita melalui proses kematian karena setiap 1 menit, ada jutaan sel yang mati dan diganti.
Orang sering salah mengerti akan konsep anatta, sehingga timbul pertanyaan : kalau tidak ada aku, lalu siapa yang lahir lagi? Siapa yang akan menerima buah karma?
Siapa yang lahir lagi? Dalam konteks kelahiran kembali, kesadaran yang berpindah atau arus kesadaran (samvattanika-viññana) adalah salah satu penyebab munculnya kelahiran baru. Perumpamaan yang dipakai adalah berpindahnya api dari satu lilin ke lilin yang lain. Jika api di lilin A sudah mau padam (misal karena lilinnya habis), lalu dekatkan sumbu lilin B ke api lilin A, maka lilin B akan menyala. Apakah api di lilin A sama atau tidak sama dengan api lilin B? Tidak sama, karena faktor udara, sumbu dan lilinnya pun tidak sama, tetapi merupakan kesinambungan dari lilin A. Jadi dibilang sama juga tidak, dibilang tidak sama juga tidak tepat.
Apakah kamu sama dengan kamu waktu masih SD dulu? Siapa yang belajar berhitung? Dan siapa yang sekarang sudah menuai hasil karena bisa berhitung? Bukankah tetap kamu juga? Semua sudah berubah, tubuh sudah berubah, cara pikir sudah berubah, tetapi secara umum ya tetap kamu juga yang bisa berhitung. Sama halnya dengan karma, ya kamu juga yang akan menerima buahnya.
Lalu, jika demikian, apakah saya saat ini sama dengan saya kemarin atau saya yang besok? Jawabannya adalah tidak, ‘aku’ saat ini bahkan tidak sama dengan ‘aku’ detik yang lalu karena kombinasi kumpulan khanda (maupun khanda itu sendiri) senantiasa berubah.
Jika demikian adanya, dimanakah inti yang kekal? Tidak ada inti yang kekal. Tetapi juga bukan nihilisme.
Ini adalah keunikan ajaran Sang Buddha. Agama lain mengajarkan konsep inti/jiwa yang kekal (yang akan menjalani hukuman di neraka abadi atau menikmati surga abadi) sebagai bagian integral dari doktrin ajaran. Inti yang kekal ini biasanya disebut jiwa, roh, dll yang kekal, yang sifatnya tidak berubah dan tidak terbatas oleh waktu (timeless soul, eternal inner core).
Tetapi Buddhisme menyatakan bahwa sabbe dhamma anatta : tiada inti/jiwa yang kekal.
Kemelekatan terhadap konsep ‘inti diri yang kekal’ adalah salah satu kategori kemelekatan yang dijelaskan dalam Paticca Samuppada (Paticca Samuppada Vibhanga Sutta). Sang Buddha mengajarkan bahwa pandangan salah tentang aku yang kekal menyebabkan adanya pikiran negatif ‘milik saya’, nafsu keinginan, kemelekatan, kebencian dan kekotoran batin yang lain.
Untuk menghindari kebingungan, perlu dipahami bahwa ada dua kategori ‘kebenaran/truth’: kebenaran berdasarkan konvensi, persetujuan atau pandangan umum (sammuti sacca) dan kebenaran yang tertinggi/sesungguhnya berdasarkan realitas (paramattha sacca).
Di tataran ‘konvensi/pemahaman umum’, untuk memudahkan berkomunikasi, kita menyebut ‘aku’, ‘saya’, kita menempelkan label di Nama & Rupa kita. Misalnya, saya sedang makan, saya merasa sedih dll. Bisa dibayangkan betapa ruwet dan makan waktu kalo kita bilang ‘kumpulan khanda’ lagi makan. Tetapi, sebagai paramattha sacca tidak ada inti/aku/jiwa yang kekal.
Karena sejak bayi kita sudah diajarkan berbicara, ini aku, ini kamu, ini meja, ini mata, ini telinga, ini kucing, ini sendok, konsep ini sudah masuk ke otak kita. Kita tidak lagi mempertanyakannya. Kita lupa bahwa ini hanya konsep, kesepakatan bersama untuk melabel suatu benda untuk memudahkan berkomunikasi. Kita berpikir jiwa kita adalah nyata dan real, dan dari sanalah dukkha timbul, dari pengertian yang salah, kita berpikir ada aku/jiwa/roh yang kekal, yang real. Biasanya, orang-orang mengira jiwa/roh/akunya adalah yang berpikir/yang melakukan pemikiran di otaknya atau yang merasa dihatinya, atau yang mengingat, atau yang menyadari sesuatu. Sebagian besar orang malah tidak pernah memikirkan sebenarnya yang mana sih yang dia anggap ‘aku’? Aku yah aku.. gitu jawabnya.. hehe..
Mereka tidak pernah memperhatikan bahwa perasaan, pencerapan, pemikiran, dan kesadarannya bukanlah sesuatu yang kekal atau jiwa/roh yang kekal. Bahwa perasaan, pemikiran, pencerapan, dan kesadaran yang timbul tidak perlu diidentifikasikan sebagai aku.
Lalu, apa manfaat yang dapat kita petik atas pengertian anatta ini?
Jelas, untuk tingkat tingginya, jika kita dapat menembus anatta, berarti kita telah menembus pandangan salah, dan sudah dijalur yang benar menuju kesucian.
Untuk tingkat sederhana, penerapan sehari-harinya, tidak perlu jauh-jauh bicara kesucian; pemahaman tentang anatta sangat berguna untuk transformasi atau mengubah diri kita ke arah yang jauh lebih positif. Sifat-sifat pemarah, tidak sabaran, penakut, kejam, suka berbohong, malas, iri hati, phobia, sering panik, dll, masih dapat diubah dan diperbaiki, jika kita berusaha. Ini juga berarti, jika ada trauma masa lalu, entah di masa kecil ataupun di masa remaja / sekolah, kita tidak perlu mengidentifikasi diri dengan masalah itu, tidak perlu membawa masalah itu terus sampai kita dewasa dan tua.
Ini berarti, setiap manusia memiliki potensi untuk berubah ke arah yang lebih positif. Berhasil atau tidaknya tergantung seberapa pengertian dan usaha kita.
Dari kontak antara Rupa (yaitu lewat panca indera; mata, telinga, dll) dengan kesadaran, kita dapat mencerap hal-hal yang kita dengar, lihat, cium, rasa, sentuh. Dari pencerapan ini langsung timbul bentuk-bentuk pikiran karena bercampur dengan hal-hal yang pernah kita alami, lalu timbullah perasaan (suka/tidak suka, sedih/gembira, marah/takut, netral dll).
Dari sini berputar lagi kembali memberi masukan kepada kesadaran. Demikian berulang-ulang. Proses ini sangat cepat dalam hitungan sepersekian detik.
(**perlu diperhatikan, ada banyak ulasan mengenai pancakhanda dan hubungannya satu sama lain, disini saya hanya mengambil sebagian saja**)
Dengan mengerti cara kerja Panca Khanda, kita dapat melihat bahwa apapun pikiran / perasaan / pencerapan / kesadaran yang timbul, sesungguhnya bersifat sementara, tidak ada jiwa/aku yang kekal, dan kita tidak perlu memegangnya erat-erat. Let go. Ya, ada perasaan negatif timbul, sadari itu timbul, dan cukup sampai disana saja, kita tidak perlu membawa dan mengingatnya terus-menerus.
Sesungguhnya, selain sedikit bawaan karma dari kehidupan lalu, kita yang sekarang ini adalah adonan dari berbagai informasi dan input yang kita terima dari 5 panca indera kita sejak kecil hingga sekarang. Dan adonan ini masih dapat terus kita tambah dan modifikasi menuju ke arah yang lebih baik.
Sekadar menggugah pemikiran anda :
Tahukah anda, bahwa banyak kasus orang yang mendapat cangkok jantung dari donor manusia, dapat berubah sedikit ‘kepribadiannya’, dalam artian dia bisa menyukai hal-hal yang tadinya dia tidak sukai, dan sebagian/sedikit ingatan mengenai kehidupan si donor yang telah meninggal, padahal siapa donor/keluarga donornya dirahasiakan oleh pihak rumah sakit sehingga si penerima jantung sama sekali tidak tahu menahu mengenai kehidupan si donor.
Para ilmuwan masih terus menyelidiki, sejauh ini dikatakan bahwa ternyata fungsi jantung bukan hanya untuk memompa darah, tetapi juga mempunyai sel-sel syaraf/neuron, dengan kata lain, jantung memiliki sel-sel otak, dimana menyimpan sedikit memori, karena itulah penerima donor tsb seperti mendapat ‘kepribadian’ baru.
Semoga setelah membaca dan merenungkan notes diatas, kita tidak lagi terjebak dalam konsep pemikiran mengenai Atta dan dapat memahami ANATTA.