Tuesday, 8 June 2010

Kisah Yang Berhubungan Dengan Dukkha (Dhammapada 20 : 278)

XX. Magga Vagga - Jalan

(278) Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Kisahnya sama dengan kisah Anicca. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu yang lain, dahulu telah bermeditasi dengan objek dukkha. Beliau berkata, "Bhikkhu, kumpulan khanda (kelompok kehidupan; jasmani dan batin (perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran) adalah berat, sulit untuk dipikul, dan tidak memuaskan, maka segala kelompok kehidupan (khandha) adalah dukkha."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

”Sabbe saṃkhārā dukkhā” ti yadā paññāya passati
atha nibbindatī dukkhe, esa maggo visuddhiyā

Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
--------


Notes :

Dukkha (pali) = duhkha (sanskrit).

Tidak ada satu kata dari bahasa Inggris yang dapat mencakup keseluruhan maksud dari kata dukkha. Beberapa penterjemah mencoba menggunakan kata suffering (penderitaan), unsatisfactoriness (ketidakpuasan), stress, dll. Tiap kata ini terkadang cocok dalam suatu konteks yang tertentu, tetapi kadang tidak cocok dalam konteks yang berbeda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, karena kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia diambil dari buku-buku bahasa Inggris maka hal yang sama juga terjadi. Pada umumnya dukkha diterjemahkan sebagai penderitaan, tetapi sesungguhnya kurang tepat karena kata dukkha mencakup hal yang lebih luas daripada satu kata penderitaan saja.

Apa sih sebenarnya arti kata dukkha?

Berdasarkan etimologi (asal usul kata), dalam bukunya The Bhagavad Gita, Winthrop Sargeant mengulas asal kata sukha dan duhkha :


Suku bangsa Arya dijaman kuno dulu yang membawa bahasa Sanskrit ke India, adalah bangsa pengembara, yang mengembangbiakkan kuda dan ternak, yang bepergian dengan kereta yang ditarik kuda ataupun lembu. ‘Su’ dan ‘dus’ adalah awalan kata yang menunjukkan baik, dan buruk. Kata ‘kha’, dalam perkembangan bahasa Sanskrit belakangan diartikan sebagai ‘langit’, ‘ether/udara/yang mengisi ruang’, atau ‘ruang’. Tetapi sebenarnya pada awalnya ‘kha’ berarti ‘lubang’, khususnya lubang poros roda kereta suku bangsa Arya tersebut.  Jadi, sukha, tadinya berarti, ‘memiliki poros roda yang baik’, dan duhkha berarti ‘memiliki poros roda yang buruk’ dimana tentu saja membawa ketidaknyamanan dalam berkendara.

Dalam Sanskrit klasik, kata duhkha sering dibandingkan dengan alat pembuat pot tanah liat (pernah menonton film Ghost-nya Demi Moore?) dimana putaran rodanya  berkerinyit dan tidak berputar dengan halus. 


Tentunya hasil pot nya jadi tidak rata dan jelek.

Lawan kata dari duhkha adalah sukha, yang membuat kita membayangkan alat si pembuat tanah liat berputar dengan halus, rata, konsisten dan tidak berisik.

Di China, penggambaran yang serupa juga ditemukan dalam penjelasan mengenai dukkha, yaitu kereta yang salah satu rodanya sedikit rusak, sehingga sais/penumpangnya terlempar-lempar tiap kali bagian yang rusak itu kena tanah.

Dalam bahasa Indonesia, kita menemui kata ‘suka’ dan ‘duka’ yang tentu saja adalah berasal dari bahasa sanskrit (mengingat eratnya sejarah hubungan antara nusantara dengan India di jaman Hindu Buddha). Namun seiring dengan berjalannya waktu, hilangnya pengaruh Buddhisme di Nusantara, dan jarang digunakan, kata suka dan duka telah bergeser dari aslinya seperti dalam konteks Dukkha dalam Kebenaran Mulia yang pertama.

Secara teori, lawan kata suka adalah duka, tetapi kenyataannya kita lebih sering mengatakan ‘suka’ dan ‘tidak suka’. Dan kita cenderung menggunakan kata duka dalam lingkup yang lebih sempit seperti berduka cita (ketika orang meninggal).

Jadi sesungguhnya, dukkha tidak selalu tepat jika diterjemahkan sebagai ‘penderitaan’. Dukkha mencakup hal yang lebih luas dan tidak melulu penderitaan yang terlalu sempit lingkupnya. Apakah si pembuat pot tanah liat ‘menderita’ jika  alatnya berisik dan hasilnya tidak rata?

Tentunya tidak; hanya tidak memuaskan, tidak sempurna, tidak ideal, terganggu, tidak suka, mungkin kesal karena harus mengulang, tetapi saya rasa tidak menderita seperti pengertian penderitaan pada umumnya. Kamu suka, naik kereta yang rodanya rusak sedikit ? Tentu tidak suka kan? Duka kan? :) Dari cuma awalnya terganggu sedikit, hingga bisa meledak emosinya kalau harus naik kereta itu sampai 12 jam.


Kata ‘penderitaan’ memberi kesan emosi yang negatif, yang pada akhirnya memberi kesan bahwa Buddhisme itu adalah pesimis (terutama bagi orang-orang non-Buddhist atau pemula). Sesungguhnya ajaran Sang  Buddha bukanlah pesimistik ataupun optimistik, tetapi realistik.


Beberapa penterjemah bahasa Inggris sebagian tetap menggunakan kata ‘dukkha’ dan tidak menterjemahkannya untuk menghindari penyempitan arti dari kata dukkha itu sendiri.

Dalam kotbah pertama Sang Buddha, yaitu dalam Dhammacakkappavattana Sutta, Samyutta Nikaya 56.11, Sang Buddha mengatakan,


“O bhikkhu, inilah kebenaran mulia tentang Dukkha : kelahiran adalah dukkha, menjadi tua adalah dukkha, kematian adalah dukkha; kesedihan, ratapan, kesakitan, kepedihan, kekecewaan adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha; berpisah dengan yang disenangi adalah dukkha; tidak mendapat apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya, Panca Khanda adalah dukkha.”

Ingat lho, Sang Buddha TIDAK pernah mengatakan HIDUP INI adalah dukkha, dan juga tidak menyimpulkan bahwa hidup adalah dukkha.


Masih banyak sekali orang yang tergesa-gesa mengambil kesimpulan keliru dengan mengatakan hidup ini adalah dukkha.


Hal ini sama gegabahnya dengan menyatakan semua yang berkaki dua adalah manusia, berdasarkan fakta bahwa manusia kakinya dua.

Dengan memahami adanya dukkha, kita kemudian dapat menuju langkah berikutnya, yaitu mengerti sebab-sebab dukkha, lalu mengetahui bahwa dukkha tersebut dapat dilenyapkan, dan kemudian menerapkan cara melenyapkan dukkha tersebut; yaitu Jalan Utama Beruas 8 :


Panna/kebijaksanaan :
1. Pengertian Benar (samma-ditthi)
2. Pikiran Benar (samma-sankappa)


Sila :
3. Ucapan Benar (samma-vaca)
4. Perbuatan Benar (samma-kammanta)
5. Pencaharian Benar (samma-ajiva)


Samadhi :
6. Daya-upaya Benar (samma-vayama)
7. Perhatian Benar (samma-sati)
8. Konsentrasi Benar (samma-samadhi)

Non-buddhist mungkin akan berpikir : oh agama buddha itu pesimis, sedikit-sedikit bicara dukkha. Apakah betul kita pesimis? Orang pesimis akan berhenti di kesimpulan hidup ini adalah dukkha (padahal kesimpulan yg salah) dan menjadi depresi.


Tetapi seorang buddhist yang benar, mengetahui fakta bahwa ada dukkha adalah baru step 1, baru langkah pertama, ia akan maju menuju langkah-langkah selanjutnya dan melenyapkan dukkha tersebut.

Ibaratnya seperti manusia yang pertama-tama haruslah mengetahui dan mengakui bahwa ada hukum gravitasi sebelum mereka memikirkan dan akhirnya menemukan cara untuk menciptakan pesawat terbang melawan gravitasi, bahkan menciptakan ruang tanpa gravitasi.