Wednesday 2 June 2010

Kisah Seorang Thera yang Pernah Terlahir sebagai Pandai Emas (Dhammapada 20 : 285)

XX. Magga Vagga - Jalan

(285) Patahkanlah rasa cinta terhadap ‘diri’,
seperti memetik bunga teratai putih di musim gugur.
Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana yang telah diajarkan oleh Sang Sugata
(Beliau yang telah berlalu dengan baik, Buddha).
---------------------------------------------------------------------------------------------

Ada seorang pemuda tampan, anak seorang pandai emas, ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sariputta Thera. Sariputta Thera memberikan perwujudan mayat yang menjijikkan sebagai obyek meditasi bagi bhikkhu baru itu. Setelah menerima petunjuk meditasi, ia pergi ke sebuah hutan dan berlatih meditasi di sana; namun dia hanya mencapai sedikit kemajuan. Akhirnya ia kembali kepada Sariputta Thera dua kali untuk memohon petunjuk lebih lanjut. Meskipun demikian, ia masih saja belum mencapai kemajuan. Kemudian Sariputta Thera membawa bhikkhu muda itu menghadap Sang Buddha dan menceritakan semuanya tentang bhikkhu muda itu.

Sang Buddha mengetahui bahwa bhikkhu muda itu adalah anak seorang pandai emas, dan juga ia pernah terlahir di keluarga pandai emas selama 500 kali kehidupannya yang lampau. Kemudian Sang Buddha mengganti obyek meditasinya dari mayat yang menjijikkan menjadi obyek kesenangan. Dengan kekuatan batin Beliau, Sang Buddha menciptakan sekuntum bunga teratai yang sangat indah sebesar roda kereta dan meminta bhikkhu muda itu untuk menancapkannya pada gundukan tanah di luar vihara.

Bhikkhu muda tersebut memusatkan perhatian pada bunga teratai yang besar, indah dan harum, akhirnya dapat menyingkirkan segala rintangan. Ia dipenuhi dengan kepuasan yang menggembirakan (piti), dan selangkah demi selangkah ia mengalami perkembangan hingga mencapai pencerapan batin (jhana) keempat.

Sang Buddha melihatnya dari kuti harum Beliau dan dengan kekuatan batin Beliau membuat bunga itu layu seketika. Melihat bunga itu layu dan berubah warna, bhikkhu tersebut memahami ketidakkekalan alamiah bunga tersebut juga segala sesuatu termasuk semua mahluk. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa inti dari semua hal yang berkondisi. Saat itu juga, Sang Buddha memancarkan sinar dan menampakkan diri di hadapan bhikkhu tersebut dan memberinya petunjuk agar segera memusnahkan nafsu keinginan (tanha).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Ucchinda sineham attano
kumudaṃ sāradikaṃ va pāṇinā,
santimaggam eva brūhaya
Nibbānaṃ sugatena desitaṃ."

Patahkanlah rasa cinta terhadap ‘diri’,
seperti memetik bunga teratai putih di musim gugur.
Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana
yang telah diajarkan oleh Sang Sugata

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------

Notes :

 
Sugata adalah sebutan lain Sang Buddha.

Ucchinda sineham attano = patahkanlah rasa cinta terhadap ‘diri’ / atta, lihat penjelasan mengenai anatta di kisah 279.