Tuesday 11 May 2010

Kisah Menaklukkan Diri Sendiri (Dhammapada 23 : 320-322)

XXIII. Naga Vagga - Gajah

(320) Seperti seekor gajah di medan perang
dapat menahan serangan panah yang dilepaskan dari busur,
begitu pula Tathagata tetap bersabar terhadap cacian;
sesungguhnya, sebagian besar orang mempunyai kelakuan rendah.

(321) Hanya gajah atau kuda terlatih yang dibawa ke hadapan orang banyak. 

Raja hanya menunggangi yang terlatih. 
Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri 
dan dapat bersabar terhadap cacian.

(322) Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih, 

begitu juga kuda-kuda Sindhu dan gajah-gajah perang milik para bangsawan; 
tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu 
adalah orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu saat ayah Magandiya, karena sangat tertarik dengan kepribadian dan penampilan Sang Buddha, telah mempersembahkan anak perempuannya yang sangat cantik untuk dijadikan istri Sang Buddha Gotama. Tetapi Sang Buddha menolak persembahan itu dan berkata bahwa Beliau tidak akan mau menyentuh hal itu yang penuh dengan kotoran, sekalipun dengan kakinya. Ketika mendengar kata-kata ini kedua ayah dan ibu Magandiya melihat kebenaran dalam kata-kata tersebut dan mencapai tingkat kesucian anagami. Tetapi Magandiya menganggap Sang Buddha sebagai musuh dan bertekad untuk membalas dendam kepada Beliau.

Kemudian ia menjadi salah satu dari tiga istri Raja Udena. Ketika Magandiya mendengar kabar bahwa Sang Buddha telah datang ke Kosambi, ia menyewa beberapa penduduk dan pelayan-pelayannya untuk mencaci maki Sang Buddha saat Beliau memasuki kota untuk berpindapatta. Orang-orang sewaan tersebut mengikuti Sang Buddha dan mencaci maki dengan menggunakan kata-kata yang kasar seperti `pencuri, bodoh, unta, keledai, yang pasti ke neraka`, dan sebagainya. Mendengar kata-kata yang kasar tersebut, Y.A.Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk meninggalkan kota dan pergi ke tempat lain.

Tetapi Sang Buddha menolak dan berkata, "Di kota lain, kita juga mungkin dicaci maki dan tidak mungkin untuk selalu berpindah tempat setiap kali seseorang dicaci maki. Lebih baik menyelesaikan masalah di tempat terjadinya masalah. Tathagata seperti seekor gajah di medan perang; yang menahan panah-panah yang datang dari semua penjuru. Tathagata juga akan menahan dengan sabar caci maki yang datang dari orang-orang yang tidak memiliki moral."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Ahaṃ nāgo va saṃgāme cāpāto patitaṃ saraṃ
ativākyaṃ titikkhissaṃ dussīlo hi bahujjano.

Dantaṃ nayanti samitiṃ dantaṃ rājābhirūhati
danto seṭṭho manussesu yo ‘tivākyaṃ titikkhati.

Varam assatarā dantā ājānīyā ca sindhavā
kuñjarā ca mahānāgā, attadanto tato varaṃ."

Seperti seekor gajah di medan perang dapat menahan serangan panah
yang dilepaskan dari busur,
begitu pula Tathagata tetap bersabar terhadap cacian;
sesungguhnya, sebagian besar orang mempunyai kelakuan rendah.

Hanya gajah atau kuda terlatih yang dibawa ke hadapan orang banyak. Raja hanya menunggangi yang terlatih. Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri dan dapat bersabar terhadap cacian.

Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih, begitu juga kuda-kuda Sindhu
dan gajah-gajah perang milik para bangsawan;
tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu
adalah orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.

Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, mereka yang telah mencaci maki Sang Buddha menyadari kesalahannya yang datang untuk menghormat Beliau, beberapa di antara mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.