BAB XXVI. Brahmana Vagga – Brahmana
(414) Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor,
berbahaya dan bersifat maya;
yang telah menyeberang dan mencapai 'Pantai
Seberang' (nibbana);
yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari
keragu-raguan;
yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai
nibbana,
maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan
kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan
anaknya. Ia terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan
Sangha. Ia menyuruh suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan
penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingannya dan untuk
memberitahu Beliau tentang keadaannya.
Ketika diberitahu mengenai keadaan putri tersebut, Sang Buddha
berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan; semoga ia
melahirkan anak yang sehat dan mulia dengan selamat." Ketika kata-kata
ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan anak di rumahnya. Pada hari
itu juga, segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang Buddha beserta
beberapa bhikkhu diundang untuk datang ke rumahnya. Dana makanan
diberikan di sana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air sudah
disaring kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Untuk merayakan kelahiran
bayi tersebut, orang tuanya mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke
rumah mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.
Ketika anaknya tumbuh dewasa, ia diterima dalam pasamuan dan sebagai
bhikkhu ia dikenal dengan nama Sivali. Ia mencapai tingkat kesucian
arahat segera setelah kepalanya dicukur. Kemudian, ia menjadi terkenal
sebagai seorang bhikkhu yang dengan mudah selalu menerima pemberian
berjumlah besar. Sebagai bhikkhu penerima dana, ia tidak terbandingkan.
Pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha,
mengapa Sivali, yang memiliki kemampuan menjadi seorang arahat,
terkungkung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Kepada mereka Sang
Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Dalam salah satu kelahirannya yang
terdahulu, Sivali adalah anak dari raja yang kehilangan kerajaannya
karena direbut oleh raja lain. Dalam usahanya untuk memperoleh kembali
kerajaan mereka, ia (Sivali) telah mengepung kota kerajaan atas nasihat
ibunya. Sebagai akibatnya, orang-orang di dalam kota itu tanpa makanan
dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali
terkurung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali
telah sampai pada akhir dari semua dukkha/ penderitaan; ia telah
merealisasi nibbana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
“Yo imaṃ palipathaṃ duggaṃ
saṃsāraṃ moham accagā
tiṇṇo pāragato jhāyi
anejo akathaṃkathī
anupādāya nibbuto
tam ahaṃ brūmi brāhmaṇaṃ.”
Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor,
berbahaya dan bersifat maya; yang telah menyeberang dan mencapai 'Pantai
Seberang' (nibbana); yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari
keragu-raguan; yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai
nibbana, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
-----------
Notes :
Para bhikkhu dengan segera menyadari keanehan yang terjadi jika
mereka bersama dengan Sivali, Sivali selalu memperoleh banyak sekali
makanan yang lezat dan harum serta kebutuhan-kebutuhan lainnya (jubah,
tempat berteduh, dan obat-obatan). Bhikkhu-bhikkhu yang bersamanya juga
mendapat kelebihan dari pemberian-pemberian itu. Kemanapun Sivali pergi,
orang-orang berkerumun untuk menyiapkan makanan untuknya.
Donatur-donatur juga mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan bhikkhu tiap
kali beliau berpindapatta.
Kemanapun Sivali pergi, manusia dan dewa-dewa selalu menyokongnya.
Suatu waktu Sivali Thera dan 500 bhikkhu berada di hutan yang tak
berpenghuni, mereka tidaklah kekurangan makan. Para dewa memastikan
semua kebutuhan mereka terpenuhi. Demikian juga ketika bepergian di
gurun. Sang Buddha, melihat bahwa Sivali telah memenuhi tekad aditthana
yang dibuat di masa lalu, menyatakan bahwa Sivali adalah yang terkemuka
dalam penerimaan dana kebutuhan pokok. Sang Buddha juga menginstruksikan
bhikkhu-bhikkhu yang melakukan perjalanan jauh dan berat melalui daerah
tak berpenghuni agar ditemani oleh Sivali, karena dengan bersama Sivali
kebutuhan mereka akan terpenuhi juga. Bahkan, ketika satu saat Sang
Buddha dan rombongan 30,000 bhikkhu pergi mengunjungi Khadiravaniya
Revata Thera (adik Sariputta Thera, lihat juga kisah no 98), mereka
harus melalui hutan yang tak berpenghuni. Ananda Thera, kuatir bagaimana
memperoleh kebutuhan untuk jumlah bhikkhu sedemikian besar selama
perjalanan di hutan itu, bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha
menenangkan Ananda agar tidak perlu kuatir karena Sivali akan pergi
bersama mereka. Dimanapun Sivali berada, tidak akan kekurangan dana
makanan karena para dewa pun akan menyokong kebutuhan Sivali.
Untuk mengetahui sebab dari kejadian aneh ini, kita harus melihat
kembali ke masa Buddha Padumuttara. Sivali, waktu itu terlahir sebagai
orang miskin, berkesempatan melihat Buddha Padumuttara sedang menyatakan
seorang bhikkhu sebagai yang terkemuka dalam penerimaan dana kebutuhan
pokok. Terpesona melihat cara orang berbondong-bondong memberi dana
kebutuhan pokok kepada bhikkhu tersebut, Sivali memutuskan untuk
memperoleh posisi seperti itu di kehidupan selanjutnya. Kemudian ia
melakukan banyak kemurahan hati kepada Buddha Padumuttara beserta
rombongan bhikkhu Sangha, serta menyatakan tekad aditthana untuk menjadi
seperti itu. Buddha Padumuttara, melihat bahwa tekad Sivali tersebut
dapat terpenuhi, meramalkan Sivali akan memenuhi aditthananya dimasa
Buddha Gotama. Sejak saat itu, Sivali bekerja keras untuk mewujudkan
aditthananya.
Pada masa Buddha Vipasi, Sivali lahir sebagai pedagang di kota
Bandhumati. Penduduk kota sedang mempersiapkan dana besar kepada Buddha
Vipassi beserta rombongan bhikkhu Sangha ketika mereka menyadari bahwa
mereka tidak memiliki cukup dadih dan madu. Maka dikirimlah pesan ke
seluruh penjuru kota untuk mendapatkan benda tersebut. Karena tidak
dapat memperoleh jumlah yang diinginkan, akhirnya pesuruh raja menaikkan
harga dadih dan madu dari satu koin emas menjadi 100 koin emas.
Sementara itu mereka mendatangi Sivali yang menjual dadih dan madu dan
menawarkan 100 koin emas untuk dagangannya. Sivali sangat terkejut atas
penawaran dengan harga yang sangat tinggi itu, dan ia bertanya siapakah
yang akan memakan dadih dan madu itu? “Untuk Buddha Vipassi dan
rombongan bhikkhu Sangha,” jawab mereka. Kemudian Sivali mendanakan
barang dagangannya itu kepada Buddha Vipassi dan memperbarui
aditthananya. Buddha Vipasi, melihat bahwa aditthana itu akan tercapai,
memberkatinya dengan berkata, “Semoga keinginanmu terpenuhi”. Sivali
kemudian menjadi pengikut Buddha Vipasi dan mempraktekkan ajaranNya.
Berikut ini cuplikan dari ceramah Ajahn Lee Dhammadharo menceritakan
kepada murid-muridnya, berkenaan dengan makan secara sederhana sebagai
bhikkhu :
Ambillah contoh dari Sivali Thera. Beliau makan dengan sederhana.
Bagaimana beliau makan dengan sederhana? Kebanyakan yang kita tahu
mengenai Sivali Thera adalah ia sangat banyak menerima kekayaan dana
persembahan. Tetapi, sebenarnya, darimanakah kekayaan itu berasal? Itu
berasal dari makan dengan sederhana, Apa yang telah dilakukan Sivali
Thera adalah begini : ketika ia menerima kain, ia tidak akan memakai apa
yang diterimanya sebelum ia memberikan dana kain kepada orang lain.
Ketika ia menerima makanan, ia tidak akan memakannya sebelum membaginya
dengan orang lain. Apapun yang kebutuhan pokok yang diterimanya,
makanan, pakaian, tempat berteduh, ataupun obat-obatan, baik sedikit
maupun banyak, ia tidak akan menggunakannya sebelum berbagi dengan orang
lain. Ketika ia mendapat banyak, ia akan membagi banyak demi manfaat
untuk banyak orang. Ketika ia mnerima sedikit, ia pun tetap mencoba
memberi manfaat untuk orang lain. Ini merupakan sumber dari berbagai
macam hal yang baik. Demikian yang dilakukan oleh Sivali Thera. Ketika
ia meninggal dari masa kehidupan itu dan terlahir kembali di
kehidupannya yang terakhir, ia memperoleh kekayaan dan tidak pernah
kelaparan. Bahkan walaupun ia pergi ke tempat dimana makanan sulit
didapat, ia tidak pernah menjumpai kelangkaan, tidak pernah kekurangan.
Dalam Itivuttaka 26, Buddha mengatakan : “Wahai para bhikkhu,
seandainya para makhluk tahu, seperti yang Tathagatha tahu, buah dari
perbuatan memberi serta berbagi, mereka tidak akan makan sebelum
memberi; mereka tidak akan membiarkan noda kekikiran menguasai mereka
dan mengakar di dalam pikiran. Bahkan seandainya itu adalah makanan
terakhir, suapan terakhir, mereka tidak akan menikmatinya tanpa
membaginya seandainya ada orang yang dapat diajak berbagi.”