Monday, 29 March 2010

Kisah Seorang Brahmana Penipu (Dhammapada 26 : 394)

XXVI. Brahmana Vagga - Brahmana

(394) O, orang bodoh, apa gunanya engkau menjalin rambutmu 
serta mengenakan pakaian kulit menjangan? 
Engkau hanya membersihkan bagian luarmu, 
tetapi hatimu masih penuh dengan kekotoran
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika, seorang brahmana penipu memanjat sebatang pohon dekat batas kota Vesali dan membiarkan dirinya tergantung terbalik seperti seekor kelelawar pada salah satu cabang/ranting pohon tersebut. Dari posisi yang sangat aneh ini, ia terus berkomat-kamit, "O, manusia! Bawakan aku seratus kepala sapi, banyak keping perak dan sejumlah budak. Jika kamu tidak membawakannya untukku, dan jika aku jatuh dari pohon ini dan meninggal dunia, maka kotamu ini pasti akan hancur." Orang-orang kota tersebut berpikir, “Orang itu telah bergelantungan di pohon sejak pagi tadi;” dan karena takut bahwa kotanya akan hancur jika brahmana tersebut jatuh dan meninggal dunia, membawakan semua yang dimintanya dan memohon dengan sangat padanya untuk turun.

Para bhikkhu yang mendengar kejadian ini memberitahu Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab bahwa seorang penipu hanya dapat memperdayai orang-orang bodoh tetapi bukan orang-orang yang bijaksana. “Bhikkhu, ini bukan yang pertama kalinya Brahmana itu menipu orang, ia juga menjadi penipu dalam kehidupan sebelumnya juga. Kali ini ia menipu orang yang pikirannya sederhana, tapi dalam kehidupan sebelumnya ia gagal memperdaya yang bijaksana.”

Meluluskan permintaan para bhikkhu untuk menceritakan kisah masa lalu tersebut, Sang Buddha menceritakan tentang petapa palsu dan raja kadal.

Dahulu kala seorang petapa tinggal di dekat satu desa petani, dan petapa ini adalah seorang munafik. Waktu itu ada satu keluarga yang selalu melayani kebutuhan petapa itu: siang hari baik makanan keras maupun lunak, mereka selalu memberi satu porsi untuk petapa itu seperti mereka memberikannya juga kepada anak mereka sendiri; dan malam hari mereka akan menyisihkan satu porsi makan malam mereka untuk diberikan kepada petapa itu di pagi hari berikutnya.

Suatu hari menjelang malam, mereka memperoleh daging kadal, dan setelah memasaknya dengan baik, menyisihkan satu porsi dan memberikannya kepada petapa itu keesokan harinya.

Petapa itu mencium harumnya bau daging itu, dan secepat ia menghirup bau itu iapun terikat dengan nafsu terhadap rasanya. “Daging apa itu?”, dia bertanya. “Daging kadal,” jawab mereka. Setelah selesai mengumpulkan dana makanan, ia pun kembali ke gubuknya yang terbuat dari daun-daun dan rerumputan.

Tidak jauh dari gubuk daunnya, ada gundukan tanah dekat sarang semut, tinggallah seekor raja kadal. Merupakan kebiasaan bagi raja kadal itu untuk mengunjungi petapa itu dari waktu ke waktu untuk memberi hormat. Tetapi hari itu, petapa itu berpikir, “Akan kubunuh kadal itu,” dan menyembunyikan tongkat dalam lipatan jubahnya, ia berbaring dekat gundukan tanah itu dan pura-pura tidur. Ketika si raja kadal keluar dari gundukannya, dan mendekati petapa itu, memperhatikan keanehan kelakuan petapa yg berbaring disana, ia berkata pada dirinya sendiri, “Aku tak suka cara guruku bertingkah laku hari ini,“ maka berbaliklah ia, kembali ke gundukannya. Petapa itu mengetahui si kadal berbalik arah, melemparkan tongkatnya ke kadal itu, bermaksud membunuhnya, tetapi tongkat itu meleset jauh dari sasaran.

Raja kadal itu masuk kembali ke dalam liangnya, dan melongokkan kepalanya keluar berkata pada petapa itu, “Selama ini dengan sia-sia aku menganggapmu sebagai seorang petapa, ketika baru saja kau melempar tongkat itu padaku, berniat membunuhku, pada saat itu kau tidak lagi menjadi petapa. Apalah gunanya rambut dijalin untuk orang seperti kamu, yang sungguh kurang kebijaksanaannya. Apalah gunanya kulit menjangan yg dihiasi dengan cakar. Ada hutan (kekotoran batin) dalam dirimu; hanya bagian luar yang kau bersihkan dan poles.”

Setelah menceritakan kisah jataka tersebut, Sang Buddha berkata, “Waktu itu, brahmana penipu ini adalah si petapa, dan raja kadal itu adalah aku sendiri.” Mengukuhkan pernyataan kadal yang bijaksana itu, Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Kin te jaṭāhi dummedha, kin te ajinasāṭiyā
abbhantaran te gahanaṃ, bāhiraṃ parimajjasi."

O, orang bodoh, apa gunanya engkau menjalin rambutmu serta
mengenakan pakaian kulit menjangan?
Engkau hanya membersihkan bagian luarmu,
tetapi hatimu masih penuh dengan kotoran.

-------------------

Notes :

Kisah Jataka adalah kisah-kisah dimana Sang Bodhisatta (calon Buddha) sewaktu masih melatih diri menyempurnakan Paramita.