I. Yamaka Vagga - Syair Berpasangan
(9) Barang siapa yang belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin,
yang tidak memiliki pengendalian diri, serta tidak mengerti kebenaran,
sesungguhnya tidak patut, ia mengenakan jubah kuning.
(10) Tetapi ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri, serta mengerti kebenaran,
maka sesungguhnya ia patut, mengenakan jubah kuning.
(9) Barang siapa yang belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin,
yang tidak memiliki pengendalian diri, serta tidak mengerti kebenaran,
sesungguhnya tidak patut, ia mengenakan jubah kuning.
(10) Tetapi ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri, serta mengerti kebenaran,
maka sesungguhnya ia patut, mengenakan jubah kuning.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu ketika kedua murid utama Sang Buddha; Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Maha Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana, orang-orang Rajagaha mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.
Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengatakan jika ada kekurangan dana untuk upacara, kain itu dapat dijual dan uang hasil penjualan dapat digunakan. Atau, jika tidak ada kekurangan dana, kain itu dapat dipersembahkan kepada bhikkhu yang dianggap pantas. Ternyata kain itu tidak perlu dijual dan akhirnya diberikan kepada anggota sangha. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta yang tinggal menetap di Rajagaha.
Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha, datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.
Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian menghubungkannya dengan kisah berikut ini.
Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam suatu hutan, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari, si pemburu memperhatikan bahwa begitu melihat Paccekabuddha, gajah-gajah itu segera berlutut. Setelah mengamatinya hal ini, si pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah kuning, untuk menutupi badan dan tangannya. Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati. Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Pacekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat.
Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. Ia bunuh gajah pada barisan terakhir satu per satu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga berhari-hari.
Sang Bodhisatta (calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga, dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Sang gajah hendak menangkap si pemburu, tetapi si pemburu berlari bersembunyi di balik pohon. Sang gajah hendak menangkapnya dan berniat membantingnya ke tanah, ketika si pemburu melepas jubah kuningnya dan melambaikannya kepada sang gajah. Melihat jubah kuning itu, sang gajah membatalkan niatnya, dan bertanya kepada si pemburu, apakah ia yang membunuh kawan-kawannya. Ketika si pemburu mengiyakan, sang gajah mencela tindakan si pemburu yang melakukan tindakan jahat, serta membunuh dengan menyamar menggunakan jubah kuning, dan bahwa si pemburu tidak pantas memakai jubah kuning.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
"Anikkasāvo kāsāvaṃ yo vatthaṃ paridahessati
apeto damasaccena na so kāsāvam arahati.
Yo ca vantakasāv'assa sīlesu susamāhito
upeto damasaccena sa ve kāsāvam arahati."
Barang siapa yang belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin,
yang tidak memiliki pengendalian diri, serta tidak mengerti kebenaran,
sesungguhnya tidak patut, ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri,serta mengerti kebenaran,
maka sesungguhnya ia patut, mengenakan jubah kuning.
Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti.
----------------
Notes :
*Paccekabuddha : mencapai penerangan atas usahanya sendiri tanpa guru, di jaman dimana tidak ada Buddha dan ajaranNya, tetapi Paccekabuddha tidak memiliki kemampuan mengajar.
Ada 3 penggolongan jenis kebuddhaan:
Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengatakan jika ada kekurangan dana untuk upacara, kain itu dapat dijual dan uang hasil penjualan dapat digunakan. Atau, jika tidak ada kekurangan dana, kain itu dapat dipersembahkan kepada bhikkhu yang dianggap pantas. Ternyata kain itu tidak perlu dijual dan akhirnya diberikan kepada anggota sangha. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta yang tinggal menetap di Rajagaha.
Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha, datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.
Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian menghubungkannya dengan kisah berikut ini.
Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam suatu hutan, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari, si pemburu memperhatikan bahwa begitu melihat Paccekabuddha, gajah-gajah itu segera berlutut. Setelah mengamatinya hal ini, si pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah kuning, untuk menutupi badan dan tangannya. Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati. Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Pacekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat.
Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. Ia bunuh gajah pada barisan terakhir satu per satu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga berhari-hari.
Sang Bodhisatta (calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga, dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Sang gajah hendak menangkap si pemburu, tetapi si pemburu berlari bersembunyi di balik pohon. Sang gajah hendak menangkapnya dan berniat membantingnya ke tanah, ketika si pemburu melepas jubah kuningnya dan melambaikannya kepada sang gajah. Melihat jubah kuning itu, sang gajah membatalkan niatnya, dan bertanya kepada si pemburu, apakah ia yang membunuh kawan-kawannya. Ketika si pemburu mengiyakan, sang gajah mencela tindakan si pemburu yang melakukan tindakan jahat, serta membunuh dengan menyamar menggunakan jubah kuning, dan bahwa si pemburu tidak pantas memakai jubah kuning.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
"Anikkasāvo kāsāvaṃ yo vatthaṃ paridahessati
apeto damasaccena na so kāsāvam arahati.
Yo ca vantakasāv'assa sīlesu susamāhito
upeto damasaccena sa ve kāsāvam arahati."
Barang siapa yang belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin,
yang tidak memiliki pengendalian diri, serta tidak mengerti kebenaran,
sesungguhnya tidak patut, ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri,serta mengerti kebenaran,
maka sesungguhnya ia patut, mengenakan jubah kuning.
Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti.
----------------
Notes :
*Paccekabuddha : mencapai penerangan atas usahanya sendiri tanpa guru, di jaman dimana tidak ada Buddha dan ajaranNya, tetapi Paccekabuddha tidak memiliki kemampuan mengajar.
Ada 3 penggolongan jenis kebuddhaan:
1. Sammasambuddha / Samyaksambuddha : mencapai penerangan atas usaha sendiri tanpa guru, dan memiliki kemampuan mengajar. Sakyamuni Buddha adalah seorang Samma Sambuddha.
2. Paccekabuddha.*
3. Savakabuddha : mencapai penerangan karena dibimbing oleh Sammasambuddha (misalnya Arahat).