Friday 31 December 2010

Kisah Cakkhupala Thera (Dhammapada 1 : 1)

I. Yamaka Vagga - Syair Berpasangan

(1) Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan paginya, sekelompok bhikkhu yang mengunjungi sang thera menemukan banyak serangga yang mati terinjak itu. Mereka berpikir buruk terhadap sang thera dan melaporkan kejadian ini kepada Sang Buddha.

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhikkhu, apakah kalian melihat sendiri pembunuhan itu?"
"Tidak bhante," jawab mereka serempak.
Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian Arahat. Seorang Arahat tidak lagi mempunyai kehendak untuk membunuh."

"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu.

Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:

Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan", pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.

Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Karenanya wanita itu berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya karena tidak tidak ingin memenuhi janji pembayaran pengobatan itu. Sang tabib berniat membutakan mata wanita itu sebagai balasan. Lalu ia membuat obat lain dan memberikannya kepada wanita itu untuk dioleskan. Ketika obat itu dioleskan, wanita itupun menjadi buta. Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.

Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:

"Manopubbaṅgamā dhammā manoseṭṭhā manomayā
manasā ce paduṭṭhena bhāsati vī karoti vā
tato naṃ dukkham anveti cakkaṃ va vahato padaṃ."

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis "Pandangan Terang" (pati-sambhida).
---------------------

Notes :

Ada 4 macam tingkat kesucian :
1. sotapatti (pemasuk arus - hanya akan ada 7 kelahiran lagi baginya, orangnya disebut sotapanna, seorang sotapanna tidak akan jatuh ke alam rendah),
2. sakadagami (hanya akan ada 1 kelahiran lagi baginya sebagai manusia),
3. anagami (tidak akan lahir kembali menjadi manusia, tetapi di alam Suddhavasa), dan
4. arahat (tiada kelahiran lagi baginya di manapun juga).

Sumber : Dhammapada Atthakattha sehari 1 kisah grup 2 (facebook account).