Tuesday, 23 November 2010

Kisah Visakha (Dhammapada 4 : 53)

 IV. Puppha Vagga - Bunga-bunga

(53) Seperti dari tumpukan bunga-bunga
dapat dibuat banyak karangan bunga;
demikian pula banyak kebajikan
hendaknya dilakukan oleh manusia
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Danancaya, dari istrinya Sumanadevi mempunyai puteri yang dinamai Visakha. Visakha juga merupakan cucu dari Mendaka, salah satu dari lima hartawan yang ada di wilayah kerajaan Raja Bimbisara. Ketika Visakha berusia tujuh tahun, Sang Buddha berkunjung ke Bhaddiya.

Pada suatu kesempatan hartawan Mendaka mengajak Visakha dan lima ratus pengiringnya untuk memberikan penghormatan pada Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Visakha, kakeknya dan semua lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Ketika Visakha dewasa, dia menikah dengan Punnavaddhana, putera Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Suatu hari, ketika Migara sedang makan siang, seorang bhikkhu berhenti untuk berpindapatta di rumah orang tersebut; tetapi Migara tidak menghiraukan bhikkhu tersebut.

Visakha melihat hal ini, kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut: "Maafkan saya, teruslah berjalan bhante, ayah mertua saya hanya makan makanan basi."

Mendengar hal itu Migara menjadi sangat marah dan menyuruhnya untuk pergi. Tetapi Visakha mengatakan bahwa ia tidak akan pergi, dan dia akan memanggil delapan wali yang dikirim oleh ayahnya untuk menemaninya dan menasehatinya. Wali-wali tersebut akan memutuskan apakah Visakha bersalah atau tidak bersalah.

Ketika para wali telah berkumpul, Migara berkata : "Ketika saya sedang makan nasi dan susu dengan mangkuk emas, Visakha mengatakan bahwa saya hanya makan makanan kotor dan basi. Untuk kesalahan itu saya akan mengirimnya pulang."

Kemudian Visakha menjelaskan sebagai berikut: "Ketika saya melihat ayah mertua saya tidak menghiraukan seorang bhikkhu yang berdiri berpindapatta, saya berpikir bahwa ayah mertua saya tidak melakukan perbuatan baik pada kehidupan saat ini, beliau hanya makan dari hasil perbuatan baiknya yang lampau. Maka, saya mengatakan, ayah mertua saya hanya makan makanan basi. Sekarang tuan-tuan, apa pendapat anda, apakah saya bersalah?" Para wali memutuskan bahwa Visakha tidak bersalah.

Visakha kemudian mengatakan bahwa dia adalah seseorang yang memiliki keyakinan yang mutlak dan tak tergoyahkan dalam ajaran Sang Buddha, dan tak bisa tinggal di rumah dimana kehadiran para bhikkhus tidak disambut dengan baik. Juga, apabila dia tidak diizinkan untuk mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan dan persembahan lainnya, dia akan meninggalkan rumah. Akhirnya Visakha memperoleh izin untuk mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk ke rumahnya.

Keesokan harinya Sang Buddha dan murid-muridNya diundang ke rumah Visakha. Ketika dana makanan telah disajikan, Visakha mengundang ayah mertuanya untuk bersama-sama mendanakan makanan tersebut. Tetapi ayah mertuanya tidak mau datang. Setelah makan siang berakhir, sekali lagi dia mengundang ayah mertuanya, kali ini dengan pesan agar ayah mertuanya untuk datang ikut mendengarkan yang akan segera diberikan oleh Sang Buddha. Ayah mertuanya merasa bahwa tidak seharusnya dia menolak untuk kedua kalinya. Tetapi, gurunya, pertapa Nigantha, tidak mengizinkan dia pergi, namun akhirnya mengijinkan ia untuk mendengarkan dari balik tirai. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dia sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan juga menantunya.

Sebagai bentuk rasa terima kasihnya, dia menyatakan bahwa mulai sekarang Visakha akan menjadi ibunya, dan Visakha kemudian dikenal sebagai Migaramata.

Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan, dan masing-masing anak mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.

Visakha memiliki sebuah perhiasan yang dihiasi dengan permata-permata yang mahal harganya, pemberian ayahnya pada hari pernikahannya. Suatu hari Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama para pengikutnya. Saat tiba di vihara, dia merasa bahwa perhiasannya sangat berat. Maka, ia melepaskan perhiasannya dan membungkusnya dengan selendang, memberikan kepada pelayannya untuk dibawa dan dijaganya. Ternyata pelayan tersebut lupa ketika mereka meninggalkan vihara. Sudah menjadi kebiasaan Y.A. Ananda menyimpan barang-barang yang ditinggalkan umat.

Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara: "Pergi dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Y.A. Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Y.A. Ananda." Tetapi Y.A. Ananda tidak mau menerima dana tersebut.
Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan score dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota: Vihara ini dikenal dengan nama Pubbarama.

Setelah upacara pelimpahan jasa ia mengundang seluruh keluarganya dan mengatakan kepada mereka bahwa semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi mempunyai keinginan. Kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar mengelilingi vihara.

Beberapa bhikkhu mendengarnya. Mereka berpikir bahwa kelakuan Visakha sangat berlebihan. Maka mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa Visakha tidak seperti sebelumnya berkeliling vihara sambil menyanyi. Para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: "Apakah itu berarti Visakha kehilangan akal sehatnya?"

Sang Buddha menjawab, "Hari ini, Visakha telah memenuhi keinginan masa lampau dan masa saat ini, dan karena keberhasilan tersebut, ia merasa gembira dan puas. Visakha hanya melantunkan syair-syair kegembiraan, yang pasti ia tidak kehilangan akal sehatnya. Visakha, pada kehidupan lampau selalu menjadi seorang donatur yang murah hati dan bersemangat mendukung ajaran-ajaran para Buddha. Ia juga berkecenderungan kuat melakukan perbuatan-perbuatan baik dan telah melakukan banyak kebajikan pada kehidupan lampaunya, seperti seorang perangkai bunga yang telah banyak membuat rangkaian bunga dari tumpukan bunga-bunga.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"yathāpi puppharāsimhā kayirā mālāguṇe bahū
evaṃ jātena maccena kattabbaṃ kusalaṃ bahuṃ."

Seperti dari tumpukan bunga-bunga
dapat dibuat banyak karangan bunga;
demikian pula banyak kebajikan
hendaknya dilakukan oleh manusia.