Friday 5 November 2010

Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga (Dhammapada 5 : 73-74)

V. Bala Vagga - Orang Bodoh

(73) Seorang bhikkhu yang bodoh,
menginginkan ketenaran yang keliru,
ingin didahulukan di antara para bhikkhu,
ingin berkuasa dalam vihara-vihara,
dan penghormatan dari perumahtangga.

(74) "Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini dilakukan olehku,
dan mematuhiku dalam semua hal, besar atau kecil"
demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu,
keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Citta, seorang perumah tangga, suatu hari berjumpa dengan Mahanama Thera, salah seorang dari lima bhikkhu pertama (pancavaggiya), yang sedang berpindapatta, dan mengundang thera tersebut ke rumahnya.

Di sana, ia mendanakan makanan kepada thera tersebut dan setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Mahanama Thera, Citta mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian, Citta membangun sebuah vihara di kebun mangganya. Di sana, ia memenuhi kebutuhan semua bhikkhu yang datang ke viharanya dan bhikkhu Sudhamma tinggal di tempat itu.

Suatu hari, dua orang murid utama Sang Buddha, Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana, datang ke vihara tersebut. Setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Y.A. Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian anagami.

Kemudian, ia mengundang dua murid utama sang Buddha tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makan esok hari. Ia juga mengundang bhikkhu Sudhamma, tetapi beliau menolak dengan marah dan berkata, "Kamu mengundangku setelah mengundang dua bhikkhu tersebut."

Citta mengulang kembali undangannya, tetapi undangan tersebut ditolak. Walaupun demikian bhikkhu Sudhamma pergi ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya. Ketika dipersilahkan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan duduk karena dia sedang berpindapatta.

Ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada dua orang murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya. Dia mencaci Citta dan berkata, "Aku tidak ingin tinggal di viharamu lagi!" dan meninggalkan rumah tersebut dengan penuh kemarahan.

Dari sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang telah terjadi. Kepadanya, Sang Buddha berkata, "Kamu telah menghina seorang umat awam yang berdana dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke sana dan mengakui kesalahanmu." Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, tetapi Citta belum mau memaafkannya. maka dia kembali menghadap Sang Buddha untuk ke dua kalinya. Sang Buddha, mengetahui bahwa kesombongan Sudhamma telah berkurang pada waktu itu. Kemudian Beliau berkata, "Anakku, seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, "ini adalah viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku," dan sebagainya, dengan berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan bertambah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Asataṃ bhāvanam iccheyya
Purekkhārañ ca bhikkhusu
āvāsesu ca issariyaṃ
pūjā parakulesu ca.

“Mam’ eva kata maññantu gihī pabbajitā ubho
Mam’ evātivasā assu kiccākiccesu kismici”
iti bālassa saṃkappo, icchā māno ca vaḍḍhati."

Seorang bhikkhu yang bodoh,
menginginkan ketenaran yang keliru,
ingin didahulukan di antara para bhikkhu,
ingin berkuasa dalam vihara-vihara,
dan penghormatan dari perumahtangga.

"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini dilakukan olehku,
dan mematuhiku dalam semua hal, besar atau kecil"
demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu,
keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.

Setelah khotbah dhamma itu berakhir, Sudhamma pergi ke rumah Citta, dan pada saat itu mereka dapat berdamai. Dalam waktu tidak beberapa lama, Sudhamma mencapai tingkat kesucian arahat.
----------

Notes :

* Biasanya, sebelum mengundang bhikkhu lain, Citta akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan bhikkhu Sudhamma, kali ini tidak, bahkan bhikkhu Sudhamma diundang setelah mengundang kedua siswa utama tsb.

**Citta belum mau memaafkan karena Citta merasa bahwa bhikkhu Sudhamma masih belum menyadari penuh apa kesalahannya.

Tetapi, dalam komentar yang lain, penjelasannya sedikit berbeda: bhikkhu Sudhamma sudah mendekati tempat tinggal Citta, ia merasa sangat malu dan akhirnya berbalik pulang tanpa menemui Citta. Bhikkhu-bhikkhu yang lain bertanya kepadanya apakah ia telah meminta maaf, setelah mengetahui bahwa ternyata ia belum meminta maaf, melaporkannya kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menyarankan agar seorang bikkhu lain menemani bikkhu Sudhamma meminta maaf. Akhirnya bhikkhu Sudhamma meminta maaf kepada Citta dan Citta memaafkannya. (Cv 1:18-24).