Wednesday 11 August 2010

Kisah Angulimala Thera (Dhammapada 13 : 173)

XIII. Loka Vagga – Dunia

(173) Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat
yang pernah dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.
-------------------------------------------------------------------------------------------

Angulimala adalah putra seorang kepala pendeta di istana Raja Pasenadi dari Kosala. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Ketika dia sudah cukup umur, ia dikirim ke Taxila, sebuah universitas besar yang terkenal. Ahimsaka sangat pandai dan juga patuh kepada gurunya. Oleh karena itu ia di senangi oleh guru maupun isteri gurunya. Murid-murid yang lain menjadi iri hati kepadanya. Mereka pergi kepada gurunya dan dengan berbohong melaporkan bahwa Ahimsaka terlibat hubungan gelap dengan isteri gurunya. Mulanya, sang guru tidak mempercayai mereka, tetapi setelah di sampaikan beberapa kali dia mempercayai mereka. Dia bersumpah untuk membalas dendam kepada Ahimsaka. Jika ia membunuh Ahimsaka, akan merusak reputasinya,  karenanya ia memikirkan sebuah rencana yang lebih buruk daripada pembunuhan. Ia mengatakan kepada Ahimsaka untuk membunuh seribu orang laki-laki maupun perempuan dan dia berjanji untuk memberikan kepada Ahimsaka pengetahuan yang tak ternilai. Anak itu ingin memiliki pengetahuan ini, tetapi sangat segan untuk membunuh. Terpaksa dia menyetujui dan melaksanakan apa yang dikatakan gurunya.

Ahimsaka lalu membunuh banyak orang, dan agar ia tidak lalai menghitung, ia merangkai jari dari setiap orang yang dibunuhnya, dan mengalungkan kalung jari itu di lehernya. Oleh karena itu dia terkenal dengan nama Angulimala (anguli = jari, mala = kalung), dan menjadi pengacau daerah itu. Raja mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala, mendengar maksud raja. Karena cinta pada anaknya, ia memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapai sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.

Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya. Karena itu, Angulimala akan menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana Angulimala berada.

Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam, sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat tidak sabar untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Dia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya hari itu. Ketika sedang menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan mengejar-Nya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar sehingga dirinya sangat lelah.

Sambil melihat Sang Buddha, dia berteriak, "O bhikkhu, berhenti, berhenti!" , dan Sang Buddha menjawab, "Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti".

Angulimala tidak mengerti arti kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya, "O bhikkhu! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti?"

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, "Aku berkata bahwa aku telah berhenti, karena aku telah berhenti membunuh semua makhluk, aku telah berhenti menyiksa semua makhluk, dan karena aku telah mengembangkan diriku dalam cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan yang tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa makhluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah yang belum berhenti".

Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha, Angulimala berpikir, "Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana. Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu, dia pasti adalah Sang Buddha sendiri! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar".

Dengan berpikir demikian, dia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.

Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.

Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat di mana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka saling melemparkan batu-batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan ia terluka berat.

Dia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, "Angulimala anakKu! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya)".

Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana).

Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha dimanakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha menjawab, "Anak-Ku telah merealisasi kebebasan akhir (parinibbana)".

Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai parinibbana.

Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga)".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yassa pāpaṃ kataṃ kammaṃkusalena pithīyati
so `maṃ lokaṃ pabhāseti abbhā mutto va candimā."

Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan
dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.
-----------

Notes :

Suatu waktu Angulimala berkata kepada Sang Buddha: "Bhante, ketika pagi hari menjelang, saya mengenakan jubah dan, setelah mengambil mangkuk dan jubah luar, saya pergi ke Savatthi untuk pindapata. Ketika saya berjalan dari rumah ke rumah untuk pindapata, saya melihat seorang wanita dalam kesulitan untuk melahirkan anak. Ketika melihat hal itu, saya berpikir: 'Betapa menderita makhluk ini; makhluk hidup benar-benar menderita!'

 'Jika begitu, Angulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada wanita itu: "Saudari, sejak dilahirkan tak pernah aku membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau dan bayi dalam kandunganmu selamat.'

'Bhante, tidaklah saya berbohong secara sadar dengan berkata begitu? Sudah banyak makhluk hidup saya bunuh dengan sengaja.'

'Jika demikian Angulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada wanita itu: "Saudari, sejak aku dilahirkan sebagai seorang ariya, tak pernah aku dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau dan bayi dalam kandunganmu selamat.

Maka pergilah Angulimala ke sana dan mengucapkan pernyataan kebenaran (sacca-kiriya) tsb, dan wanita itu beserta bayinya selamat dan sehat. Syair ini dikenal sebagai Angulimala Paritta.

Di sini ‘Lahir sebagai ariya’ maksudnya adalah sejak menjadi bhikkhu. Pada waktu itu Angulimala merasakan penyesalan yang amat sangat dalam atas perbuatan jahatnya sebelum menjadi bhikkhu, sedemikian besarnya hingga malah mengganggu dan merupakan penghalang baginya untuk bermeditasi dengan baik. Ia juga selalu terbayang-bayang hutan tempat ia membunuh banyak orang.

Nampaknya, Sang Buddha menggunakan kesempatan ini untuk mengajar Angulimala dan menenangkan hati Angulimala.

Setelah keberhasilannya menolong wanita itu dengan mengucapkan pernyataan kebenaran tsb, Angulimala dapat memfokuskan pikirannya untuk bermeditasi. Dan tak lama kemudian berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat.